Pintu Perghibahan

1129 Kata
Melihat ketiga temanku, Arif cengengesan. “Aku ‘kan sudah dititipkan ke Rayya sama ibuku,” kilah Arif enteng. “Hah?!” seru ketiga temanku serempak. Salwa menoleh ke arahku dengan cepat. “Kamu udah mulai buka jasa penitipan?” celoteh Salwa dengan mata melotot. “Nggak masuk akal banget!” komentar Imla dengan nada pedas manis. “Ini patut ada yang harus dicurigai,” sahut Arofah bernada asam pedas. Ketiganya menoleh ke arahku sambil bersedekap ala preman lagi malak orang lewat. Aku mengembuskan napas panjang, berakting bagai orang yang sabar. “Kalian nggak tahu ya? Emakku dan Ibu Arif sudah menjalin persatuan dan kesatuan sejak sebelum kemerdekaan ini diproklamirkan,” jawabku sembarangan. “Dan ... yang lebih melekatkan hubungan mereka berdua adalah, sekarang mereka membentuk ikatan emak-emak single parent. Tuh ... kebayang nggak gimana mereka berdua tak terpisahkan dan solid,” tambahku menggambarkan gimana hubungan antara kedua ibu-ibu kami. Arofah dan Imla mlongo murni, mlongo tanpa berusaha kelihatan manis dalam kemlongoannya itu, sedangkan Arofah tetap berusaha anggun dengan hanya mengerjapkan matanya dengan bulu mata yang terlihat bervolume. “Tapi, kalian berdua benar-benar nggak ada apa-apa ‘kan?” tanya Arofah berusaha menelisik. Dari kami berempat yang sama-sama berumur tujuh belas tahun ini, memang Arofah selalu bersikap lebih dewasa. Mungkin karena ia adalah anak tertua. Aku mengangguk cepat, tanpa ragu, malu ataupun sungkan. “Absolutely yes!” seruku bersemangat kayak juri-juri lomba nyanyi di TV. Ketiga teman perempuanku mengangguk tanpa bertanya lagi. Kami keluar dari toko kosmetik setelah Salwa dan kedua temanku membayar belanjaan. Kami berempat berjalan di belakang Arif yang mengayuh sepedaku. “Hei ukhti-ukhti, hem... begitu ‘kan aku manggil perempuan?” ucap Arif setelah melambatkan sepeda dan mengayuh dengan pelan di sampingku. Untung saja jalanan ini cukup lebar dan sepi. Kami berempat mengangguk menjawab pertanyaan Arif. “He he, aku tadi dipanggil akhi, aneh sih tapi seru juga, aku berharap panggilan itu nggak meleset jadi aki, soalnya jika diulang aku akan mendadak jadi akhi-akhi mirip kakek-kakek,” lanjut Arif sambil terkekeh riang. Aku tertawa melihat eskpresi wajahnya. Aku tahu sekali rasanya, beberapa bulan lalu ketika aku mulai mengikuti kajian-kajian di masjid, aku juga merasakan hal yang sama. Imla sekilas melirik ke arah Arif, tapi kemudian kembali menatap lurus ke depan. “Jadi, Kamu manggil kami ukhti hanya untuk pemberitahuan info itu? Kayaknya nggak penting deh!” sindir Imla dengan bersungut-sungut. Aku melirik dan melihat kepala Arif menggeleng. “Nggak. Aku mau cerita tentang Ustaz Hamzah,” ucap Arif pelan. Aku yakin bukan hanya aku saja yang tersentak, ketiga teman perempuan yang berjalan di sebelahku pasti melakukan hal yang sama. Nama ustaz ganteng itu seolah menjadi kata kunci yang membuka gerbang kekepoan yang akan menjurus pada perghibahan. Dengan otomatis, tanpa dikomando, kami berempat saling merapat. Arif sejenak melihat perubahan gerak kami dengan heran. “Terus?” tanya Salwa yang tak dapat menahan rasa penasaran. “Ustaz Hamzah baik banget, bener deh, padahal baru pertama kali ketemu. Em ... aku nggak tahu jika laki-laki itu punya aurat juga, em ... dan juga, pasti bajuku ini tak pantas dipakai untuk menyambangi masjid. Tapi, tak sedikit pun ia berkomentar apalagi menghakimi. Tidak! Kalian tahu nggak apa yang diucapkan oleh Ustaz Hamzah?” tanya Arif sambil menoleh ke arah kami. Serempak kepala kami menggeleng. Arif mengangguk-angguk puas karena pertanyaannya tak tertebak. “Ustaz Hamzah bilang, ‘Arif, aku punya gamis, baju koko dan celana dan beberapa baju lain yang nggak muat ketika beli, emm ... Kamu mau nggak memakainya? Em ... aku nggak tahu mau kukasih siapa, sayang ‘kan, belum dipakai dan hanya bertumpuk di lemari.’ hebat sekali bukan?” ucap Arif. Kami berseru rame-rame. “Bayangkan! Alih-alih mengatakan apa yang kupakai nggak benar, terbuka, tak menjaga aurat dan t***k bengek lainnya, Ustaz Hamzah langsung menawarkan solusi, aku benar-benar tersentuh pada pertemuan pertama tadi,” ucap Arif dengan pandangan terkagum-kagum. Woi! Gimana lagi dengan kami berempat, ck ... ck ... ck .... decak kagum mode cicak auto mengudara. Tiba-tiba Salwa menepukkan kedua telapak tangannya sekali hingga terdengar bunyi nyaring. “Tak sia-sia aku berhenti dari fandom artis luar negeri, tak percuma aku sekarang memutuskan hanya akan menjadi fandom Ustaz Hamzah!” seru Salwa bersemangat seolah di jalan itu baru saja menemukan segepok uang ratusan ribu. “Hem ... padal ustaz ganteng itu belum memproklamirkan diri menjadi artis atau penyanyi, sudah berderet yang akan menjadi fandomnya,” sindir Imla dengan gayanya yang khas. “Hem ... anak-anak muda seperti kita memang butuh panutan seperti itu, tak sia-sia juga keputusanku bertekad menjadikan dia calon imam,” ucap Arofah lirih. “Ha?!” seru Arif sambl mencondongkan kupingnya ke samping. “Em ... dia cocok jadi imam masjid kita,” ulang Arofah sambil pura-pura keceplosan. Aku tertawa dalam hati. Dari arah masjid, rumah papan emakku paling dulu dicapai. Arif meletakkan sepedaku di halaman rumah yang hanya selebar dua langkah ini, kemudian berjalan mendahului ketiga temanku. Setelah mengucapkan salam pada mereka dan mengucapkan salam pada Emak, aku masuk ke rumah. “Istirahat dulu, Ra, makan lagi kalau lapar, sore nanti banyak pesanan yang harus di antar,” sambut Emak begitu aku masuk. “Siap, Sultan Agung!” balasku sambil mencium tangannya dan sedikit memeluk-meluknya. Beberapa saat kemudian, setelah Ashar aku keluar dengan sepeda yang penuh muatan depan dan belakang. Kue-kue ini harus diantarkan ke warung yang terletak beberapa rumah dari rumahku. Aku harus mengayuh sepeda ini ke RT sebelah yang beda lorong dengan jalan yang biasa digunakan ke masjid. “Ini uangnya, Ra. Lunas ya, bilang ibumu!” ujar tante pemilik warung setelah serah terima kue-kue pesanan itu. Aku memasukkan uang itu sambil keluar dari warung itu. “Eits! Eits! Eits, kok kayaknya ada yang nyebut-nyebut my beloved ustad ganteng sih!” seruku dalam hati. Benar saja, aku melihat teman-teman yang sama-sama mengaji di masjid itu sedang berkumpul. Empat orang gadis yang mungkin umurnya hanya satu dua tahun di atasku itu dengan asik seolah sedang mengadakan talk show tingkat depan warung, menyebut-nyebut nama my bias. Selangkah demi selangkah aku makin mendekati sekumpulan ukhti itu. Telinga ini makin tajam dan makin bereaksi ketika nama Ustaz Hamzah terus disebut. Tiba-tiba, tak terasa, aku sudah menjadi gadis kelima dalam kumpulan itu. “Luar biasa lo Ustaz Hamzah, dia itu ternyata cerdas banget. Beliau menyelesaikan pendidikan tsanawiyah dan aliyah lebih cepat dari teman-temannya, dan dia juga baru saja pulang dari Mesir. Mesir lo, Al Azhar ... Al Azhar, yang universitas itu,” ucap seorang gadis yang mengenakan jilbab pink dengan pinggiran bergambar bunga-bunga. “Eh! Bukan itu saja, sebelum ke Mesir itu, dia juga belajar di mana itu, di ... yang khusus pengembangan bahasa Arab itu lo, yang di ibukota?” sahut gadis lain yang mengenakan jilbab instan warna biru navy. “Duh ... orang lain yang dipuji, aku yang kebat-kebit, gimana ini?” seruku dalam hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN