07. Tekad Bulat

1775 Kata
Ahmad kembali ke kamar usai shalat malam. Sementara Sari terlihat sudah kembali terlelap. Ahmad menarik selimut lalu menutupi sebagian tubuh istrinya dari ujung kaki hingga bagian perutnya. Ahmad pun kembali naik ke ranjang tempat tidur. Ahmad melanjutkan kembali tidur malamnya yang tertunda. Sebelum suara azan Subuh tiba, Ahmad sudah terbangun. Begitulah Ahmad yang selalu punya tekad bulat jika sudah punya keinginan. Ahmad akan berusaha keras agar keinginanya bisa tercapai. Seperti saat ini, mesti istri dan beberapa orang tetangganya sudah melarang Ahmad untuk mencari penghidupan di sungai. Ahmad tetap saja nekat ingin mencari penghidupan di sungai. Selagi itu bisa dinilai dengan akal pikiran, Ahmad akan berusaha untuk mewujudkan keinginannya. Apalagi jika keinginannya itu untuk kebaikan banyak orang. Ahmad akan terus berusaha untuk mewujudkannya. Ahmad bukan orang yang gampang putus asa hanya karena sedikit penghalang. “Bu, Ibu... bangun Bu! Sebentar lagi Subuh, nanti Bapak kesiangan!” Ucap Ahmad sembari menggerakkan lengan Sari berulang. “Hem... iya Pak.” Sari berusaha membuka kedua bola matanya yang masih terasa lengket. “Jam berapa ini Pak? Ibu kok masih ngantuk eh.” Tanya Sari lagi sembari kedua tangan mengucek kedua bola mata agar mau terbuka sempurna. “Hampir Subuh Bu, jam 4 lewatan. Ibu cuci muka dulu biar ndak ngantuk! Bapak mau bikin kopi dulu!” Ahmad menepuk-tepuk punggung istrinya yang saat ini masih terduduk lemas di ranjang tempat tidur. “Iya Pak.” Sari menarik selimut yang masih menutupi bagian perut dan kakinya. Lalu melipat rapi sebelum dia turun dari ranjang. Sari membatasi Ifah dengan bantal-bantal di sekelingnya agar tak berguling ke mana-mana. Karena posisi tidur Ifah yang tak bisa diam. Hal itu juga untuk menjaga agar tak sampai terjatuh dari ranjang. Sari berjalan ke dapur dengan kedua kaki terseok-seok. Rasa kantuk masih menyelimuti kedua bola mata Sari. Selain itu rasa berat hati juga terus mengitari hati Sari. Sampai di dapur, Ahmad tengah merebus air untuk membuat kopi. Ahmad memang bukan laki-laki manja yang semua kebutuhannya harus dipenuhi Sari. Ahmad sudah terbiasa menyeduh kopi sendiri tiap pagi sebelum istrinya bangun. Dan kopi Hitam menjadi pilihan Ahmad sebelum memulai aktivitas paginya. “Bapak mau dimasakan opo?” Tanya Sari sembari membuka lemari pendingin. “Opo wae Bu! Bapak manut yang penting sudah tersedia di kulkas. Jadi Ibu ndak usah repot-repot nyari ke warung.” Jawab Ahmad tak menuntut. Sari senang karena suaminya tak pernah menuntut harus dimasakkan apa hari ini, besok dan seterusnya. Apa pun yang istrinya masak, Ahmad selalu menikmatinya dengan lahap. Kecuali Ahmad sedang menginginkan masakan sesuatu, sesekali Ahmad baru mau meminta pada Sari. “Bu, Bapak ke musala sek yo?” Ahmad berpamitan pada Sari. “Iya Pak.” Sari sembari meracik sayuran yang akan dia masak pagi ini. “Bapak beneran jadi mau ikut mencari kerang ke sungai?” Tanya Sari memastikan. “Iya Bu, beneran! Ibu ini nyopo to ndadak teko neh! Makanya Bapak banguni Ibu biar bangun pagi, terus masak cepat buat bekal Bapak! Yo wis Bu, Bapak mangkat ke musala!” Ahmad mengulurkan tangan kanannya pada Sari. ( Ibu ini kenapa sih, pakai tanya lagi! ) Sari berharap suaminya bisa berubah pikiran. Ahmad mau mengurungkan niatnya untuk mengais rezeki di sungai. Itulah mengapa Sari beberapa kali bertanya tentang kepastian suaminya. Memang Ahmad mencari rezeki untuk Sari dan juga Ifah. Tak ada istri juga yang menolak dicarikan rezeki oleh suaminya. Tapi kenapa harus di sungai? Sari juga mau dengan sabar menunggu Ahmad hingga dia dapat pekerjaan yang tepat, apa pun itu asal jangan di sungai. Dan yang pasti pekerjaan itu halal. *** Ahmad kembali tiba di rumah usai dari musala. Ahmad menyiapkan peralatan yang akan dibawa untuk mencari kerang. Ahmad menyiapkan waring serta karung sebagai tempat membawa kerang saat pulang. Yang terpenting ada sebilah bambu panjang yang sudah ditempel potongan besi sebagai tancapan ke dasar sungai. Alat ini paling penting saat mencari kerang di musim kemarau seperti saat ini. “Ibu sudah shalat Subuh? Sini biar Bapak teruskan, Ibu shalat dulu nanti ketinggalan!” Tanya Ahmad pada Sari. “Belum, ya Pak. Ini sebentar lagi mateng kok, tunggu 5 menit baru Bapak matikan kompornya. Bapak ganti pakai wajan kecil, untuk menggoreng ikan!” Sari menunjuk wajan kecil yang digantung di atas meja dapur sederhana mereka. “Ibu tinggal dulu sebentar ya Pak!” Sari melanjutkan ucapannya. “Yo ndang Bu!” Ahmad mengusir istrinya agar cepat-cepat melaksanakan kewajibannya. Masakan pun sudah siap dihidangkan di atas meja makan. Sebelum berangkat, Sari meminta Ahmad untuk mengisi perutnya dengan sarapan pagi. Sementara Sari menyiapkan bekal untuk siang nanti di sungai. “Ifah belum bangun Bu?” Tanya Ahmad yang tak melihat Ifah. “Sudah tadi Ibu banguni. Tapi ndak tahu ke mana anaknya? Nonton kartun paling di depan TV!” Jawab Sari sembari membungkus makanan yang akan dibawa Ahmad. “Ini bekalnya sudah siap Pak! Bapak masukan ember saja, sekalian air putih sama air panasnya! Jangan lupa kopinya nanti ketinggalan! Piring sama sendok sudah Ibu masukan satu kantong sama bekal Bapak!” Ucap Sari mengingatkan. Meskipun dengan perasaan berat, sebagai istri Sari tetap mempersiapkan bekal suaminya dengan baik. “Iya Bu, makasih.” Ahmad mengambil bekal yang sudah disiapkan Sari. Sesuai pesan Sari Ahmad memasukkan semua bekalnya ke dalam ember bekas cat tembok yang sudah dicuci bersih. Ahmad memilih ember bekas cat karena ada penutupnya. “Bapak hati-hati, jangan jauh-jauh sama temannya! Bapak kan belum tahu keadaan sungai bagaimana! Pokoknya, Bapak hati-hati saja!” Pesan Sari pada suaminya. Sari tak berhenti menasihati Ahmad. “Iya Bu, Bapak akan selalu ingat pesan Ibu! Ibu tenang saja, Bapak ndak akan kenapa-kenapa! Ibu buang jauh-jauh pikirannya yang buruk! Pikiran tentang peraturan atau apalah yang bisa mengganggu pikiran Ibu! Insya Allah, Bapak ndak papa! Kita kan niat baik, mencari rezeki halal untuk keluarga, Allah pasti akan meridhai Bu.” Ahmad terus menenangkan hati Sari. Ahmad paham dengan istrinya yang memang asli kampung. Sari sudah paham, dan sudah sering mendengar kejadian buruk yang terjadi di sungai. Khususnya kejadian yang menimpa para pendatang. “Yo wis, Bapak mau nunggu di teras saja! Kalau yang lain lewat kan bisa lihat. Kang Tarno juga kan lewat depan rumah.” Ucap Ahmad lagi pada Sari. Sembari membawa ember tempat bekal, Ahmad berjalan ke luar rumah. Ahmad memilih menunggu teman ataupun Kang Tarno di teras depan rumahnya. Tak butuh lama, Tarno melintas. Di belakang Tarno ada dua orang warga yang akan ke sungai juga. “Kang, aku melu ya?” Tanya Ahmad pada Tarno. ( Mas, aku ikut ya? ) “Melu? Memang Sari mengizinkan?” Jawab Tarno cukup kaget. “Sudah. Sebentar aku pamit sama istriku Kang!” Ahmad masuk ke dalam rumah untuk berpamitan pada Sari, istrinya. Tak lama Ahmad kembali ke luar rumah berdua dengan Sari. “Kang, nitip ya? Maaf ngerepoti?” Ucap Sari pada Tarno. “Iya De Sari, ora papa!” Jawab Tarno menggunakan logat Cilacap. ( Iya De Sari, gak papa! ) “Ayuh mangkat!” Tarno mengajak Ahmad untuk berangkat sekarang agar tak kesiangan. Ahmad mengulurkan punggung tangan kanannya pada Sari. Sari mencium punggung tangan kanan suaminya. “Hati-hati Pak!” Sari kembali berpesan pada Ahmad. “Iya, kamu tenang to Bu!” Ahmad memastikan kalau dirinya akan baik-baik saja. Sari terus memandang keberangkatan suaminya dipenuhi satu harapan. Harapan agar suaminya selamat dan bisa berkumpul lagi dengan dirinya dan juga Ifah. Hingga di ujung jalan sudah tak tampak lagi punggung suaminya. “Sari, koe kok ra ngelarang bojomu! Koe mbok wong kene, ngerti peraturan kene! Mengko ger ana apa-apa karo bojomu priwe?” Ucap salah satu tetangga yang melintas di depan rumah Sari. Kebetulan warga tadi melihat saat Ahmad berpamitan pada Sari. ( Sari, kamu kok gak ngelarang suamimu! Kamu kan orang sini, tahu peraturan sini! Nanti kalau ada apa-apa sama suamimu gimana? ) “Iya Wa, Sari ya wis ngomongi! Tapi genah bojoku ngeyel, priwe maning! Semoga bae ra nana apa-apa.” Jawab Sari menggunakan bahasa Cilacap juga. ( Iya Pak De, Sari ya sudah bilangi! Tapi suamiku tetap ngeyel, mau gimana lagi! Semoga saja tidak ada apa-apa ) Bapak setengah baya itu pun geleng-geleng kepala sembari melanjutkan perjalanannya. Bapak tadi menyayangkan dengan kenekatan Ahmad. Ucapan tetangga barusan menambah kekhawatiran Sari dengan nasib suaminya. Pikiran Sari semakin tak menentu. Ini hari pertama suaminya mencari penghidupan di sungai. Sementara sungai yang akan menjadi sumber penghasilan suaminya memiliki peraturan larangan bagi pendatang baru. Dan Ahmad adalah warga baru yang belum lama pindah ke kampung sini. Sari juga dengar bahkan tak jarang juga dia melihat korban berjatuhan akibat melewati peraturan yang sudah lama di kampung kelahirannya. Dan dari sekian banyak korban, mereka berasal dari kampung lain ataupun orang jauh. *** Ahmad dan Tarno telah tiba di pinggiran sungai. Sebagian pencari kerang sudah berada di pinggiran sungai. Sebagian dari mereka juga seperti terlonjak melihat kehadiran Ahmad. “Kang, Mas Ahmad apa arep melu?” Tanya salah satu warga pada Tarno. ( Mas Ahmad apa mau ikut? ) “Iya.” Tarno mengangguk. “Loh, Masnya apa ndak tahu peraturan sini?” Tanya bapak tadi sama Ahmad. “Iya bener Mas, akeh sing ketilem loh! Akeh sing ora selamet, rata-rata wong anyar.” Pencari kerang lain menimpali dengan logat Cilacap. “Saya tahu Pak, sudah banyak yang bilang! Tapi maaf, saya kurang setuju sama peraturan di sini. Hidup dan mati seseorang itu Tuhan yang tentukan, bukan peraturan. Saya hanya ingin mencari rezeki saja. Maaf bukannya saya tidak menghormati peraturan di sini?” Jawab Ahmad pada bapak pertama. “Maaf Bapak ngomong apa, saya kurang paham bahasa sini?” Ahmad balik bertanya pada bapak kedua. “Oh, ndak bisa Jawa? Maksudku, omongane tadi itu benar! Banyak yang tenggelam, banyak yang ndak selamat, dan rata-rata orang baru! Dan kami ndak ingin kembali ada korban lagi Mas!” Bapak kedua menunjuk bapak pertama sembari menjelaskan maksud ucapannya. “Iya Pak, saya sudah siap dengan semua risikonya! Tapi saya hanya percaya pada Tuhan, apa pun yang terjadi dengan saya karena ketentuan Tuhan, bukan peraturan! Semoga saja saya bisa kembali dengan selamat dengan membawa rezeki yang berkah buat keluarga saya.” Ahmad kembali menegaskan. “Ya wis Mas, terserah! Sudah dibilangi ngeyel! Kalau ada apa-apa biar saja, tanggung sendiri!” Bapak pertama sedikit kesal karena Ahmad tak percaya dengan peraturan yang sudah lama ada di kampung mereka. “Ya wis ben, sing penting dewek wis ngomongi! Urusane kae nek ra percaya!” Bapak kedua menimpali ucapan bapak pertama. ( Ya sudah biarkan saja, yang penting kita sudah bilangi! Urusannya dia sendiri kalau tidak percaya! ) Ahmad hanya tersenyum menanggapi ucapan kedua warga tadi. Ahmad berusaha sabar agar tak terpancing dengan ucapan warga. Ahmad harus bisa meyakinkan warga, bahwa semua yang terjadi atas kehendak Tuhan. Mendengar beberapa warga yang begitu percaya peraturan, Ahmad justru semakin nekat. Ahmad bertekad untuk membuktikan bahwa semua kejadian bukan karena melewati peraturan yang ada. Dan dengan kepercayaannya Ahmad akan berusaha melewati halangan ini dengan terus meningkatkan keimanannya pada Tuhan. Ahmad akan terus mengingat Tuhan. Karena hanya Tuhan yang bisa melindungi hidupnya saat dirinya berada di tengah sungai. Hanya Tuhan penentu segalanya. Yang penting Ahmad tetap waspada dan hati-hati dalam mengarungi sungai yang akan menjadi sumber kehidupan keluarganya. Selanjutnya, keselamatan Ahmad serahkan pada yang Kuasa. Segala pencipta dan penentu di dunia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN