5. Rambut Pirang Menjuntai

2094 Kata
Angin berembus dari celah jendela kali ini tidak dapat dirasakan dengan baik ketika suhu di tubuhnya terasa begitu panas. Bukan mengenai sistem imun turun, Frada memegang karangan bunga sebagai hiasan pengantin. Tetapi, dia kembali meletakkan benda ke dalam kotak dan memilih untuk membiarkan rambut pengantin wanita bernama Gisha Handoko, calon istri kedua Xander. Sisi lain, kesibukan itu terus diamati oleh sepasang mata yang terus menatap tajam ke setiap arah. Meski Tristan tetap bekerja secara profesional, terkadang dia selalu mencuri pandangan ke arah Frada. Bahkan kali ini, dia melihat jelas wajah sedih itu terlindungi akan kencantikan yang takkan pernah menggantikan siapa pun di hati Tristan. Hari pernikahan orang lain, seakan mengingatkan kembali. Malam di mana Tristan berperang melawan batinnya. Namun, dia telah kalah dalam mempertahankan semuanya dan justru dia pergi meninggalkan Rusia. Pelan, Tristan berjalan melingkari Frada dan Gisha yang tengah bersiap-siap. Sebuah senjata api pun telah menyertai selalu di dalam saku. Kemudian Tristan mengamati semua orang yang ada di luar dari jendela. Aman. Dia menganggap demikian, kemudian berbalik arah ke Frada dan pengantin. Tidak lama, alat di telinga Tristan mendapat sebuah respon kecil. Dia menekan tombol kecil yang terpasang di tengah-tengah. "Ya, semuanya siap?" "Siap, Pak. Di sini aman, dan pengantin bisa turun sekarang!" salah seorang penjaga lain memberitahu. Kemudian Tristan memberi kode kepada dua orang penjaga yang ada di depan pintu, sementara dia menarik tangan Frada untuk berada di belakangnya. "Jangan pergi ke mana-mana, Nona!" Frada enggan mendengarkan, dia memalingkan wajah dan sibuk memegang ekor gaun Gisha. Bagi Frada tidak ada hal yang perlu ditakuti, ini bukan negara yang berbahaya dan dia bisa hidup damai di Indonesia. Meski tidak dengan perasaannya. Secara perlahan, pengantin wanita berjalan keluar. Sementara Tristan membawa Frada ke lain pintu. Namun, usahanya segera ditampik oleh Frada. Tidak ada perlawanan, Tristan tahu hanya akan membuang waktu dan menyakiti Frada. "Aku bisa jalan sendiri! Enggak usah dituntun juga nyampe!" ucap Frada berjalan lebih dulu. Lorong di gedung hotel itu membingungkan Frada. Dia berjalan mencari pintu keluar menuju aula utama pernikahan. Ke mana? Frada bingung, dia mencari lagi dan kini berada di pertigaan. Antara tiga lorong membuat Frada lelah. "Untuk sebelah kanan, sekitar 50 meter menuju aula. Kiri, 40 meter dan barusan yang dilalui mempunyai jarak 100 meter dari aula pernikahan." jawab Tristan yang masih di belakang Frada. Wajah itu terlihat kesal, Frada mengepalkan tangan dan ingin sekali rasanya menghantam mulut Tristan. Dia pun memilih sisi kiri, berjalan cepat saat terdengar musik khas sang pengantin sudah tiba di altar. Dan apa yang dikatakan orang Tristan benar, Frada sudah berada di area mengelilingi sepasang pengantin mengucap sebuah janji suci. Kata demi kata itu terdengar langsung, Frada berjalan di antara orang-orang yang sedang melihat X Xander dan Gisha menikah. Sebuah ayat suci meresap dengan pasti di hati Frada, tiba saja mempelai wanita di depannya seolah menjadi dirinya. Tanpa sadar Frada menangis. Tetapi, segera air matanya dihapus dengan telunjuk. Hentikan. Frada tertunduk sambil memejamkan mata. Tepat di sisi kiri, Tristan menghadap ke wajah itu. Bahkan dia juga merasa sengsara, meski tugas mengharuskan dia di dekat Frada tetap saja ini akan menjadi sebuah senjata yang siap mematikan. Ya, memburu kesakitan di setiap malam Tristan sendiri. Ingin rasanya dia membelai rambut panjang menjuntai hingga batas pinggang, Tristan masih ingat tentang hal yang disukai setiap berada di dekat Frada. Dia akan sibuk menata rambut panjang itu, menghisap pelan aroma yang mampu membuatnya mabuk. Kini dia hanya bisa memandang dari jarak dekat, tidak ada lagi perlakuan yang membantunya tenang kembali. Semua janji suci telah diucapkan. Kini Xander dan Gisha telah menjadi pasangan yang sah. Senyum Frada pun muncul, dia mendoakan dalam diam agar saudaranya diberi kesempatan untuk menjadi yang lebih baik. Lalu Frada menyingkir dari kerumunan, dia juga berusaha lari dari Tristan di antara orang-orang yang sedang berdiri memberikan tepuk tangan. Usaha Frada telah berhasil, dia bersembunyi di antara pelayan yang sedang sibuk menyiapkan menu. Sedang Tristan, tampak dari kejauhan berusaha menghubungi beberapa penjaga lain untuk mencari Frada. Kini dia bisa tersenyum puas. Namun, bukan berarti Frada meninggalkan acara pesta. Dia hanya duduk di antara anak tangga darurat untuk menghisap rokok. Aroma tembakau telah menjadi teman Frada beberapa bulan lalu sejak dia sering mengunjungi klub lagi. Namun, sudah hampir satu minggu ini dia tidak bisa menikmati rokok karena Tristan terus bersamanya. Termasuk ketika Frada berada di kamar, Tristan hanya akan keluar saat dia benar-benar tidur. Hal yang selalu membuat Frada ingin mengamuk, meski tidak jarang tentang memori dulu terulang kembali. "Karbon monoksida, nikotin, tar, hidrogen sianida, benzena, dan arsenik. Semua bahan itu ada pada benda yang Anda miliki dan nikmati saat ini!" Suara dari belakang tidak dihiraukan Frada, dia justru mengambil satu batang rokok lagi yang tersimpan, membakar ujungnya lalu menghisap dalam-dalam. "Lagian ini bukan masuk ke tubuhmu, enggak usah khawatir!" Tristan menuruni satu persatu anak tangga, ketika berada di dekat Frada tangannya merenggut dengan cepat benda panjang berasap tersebut. Lalu Tristan memasukkan rokok tersebut ke kantong jas. "Tuan besar sudah menunggu di meja makan!" Frada tidak melawan atau bahkan merebut rokok, dia hanya duduk tenang sambil membungkuk merasakan suasana pagi ini. "Nanti aku menyusul." "Acara sebentar lagi akan berlangsung, dan Anda harus berasa di …," "Bisakah kau diam? Kenapa kau tidak sibuk melakukan hal yang lebih bermanfaat, atau apa pun itu? Tidak perlu mengurusi aku," Frada mengubah bahasanya saat merasa kesal. "Aku bisa jalan sendiri, makan, minum dan melakukan banyak hal." "Anda penting bagi saya!" jawab Tristan tetap tidak melihat ke wajah Frada. Entah kata-kata itu mengurung batin dalam rasa sakit lagi. Namun, Frada tahu ini hanya mengenai tugas. Ya, semua mengenai minimal uang. Frada mengingat dengan baik. Kemudian Frada bangkit dari anak tangga, dia berjalan pelan turun dan terus turun hingga lantai dasar. Suasana begitu meriah. Namun, Frada merasakan kehampaan semakin nyata. Dia duduk di area VVIP, membiarkan kemeriahan itu berlalu karena Frada enggan bergabung dengan mereka. Tidak lama, ponsel di tangan bergetar kuat dan Frada melihat Nathan sedang menelponnya. Lama, Frada hanya melihat saja. Seketika Tristan langsung mengambil ponsel Frada, dia menjawab panggilan tersebut. "Kami akan segera ke sana." Frada tampak kesal, semua dilihat dari cara dia merebut ponselnya lagi. "Sopan dikit, bisa 'kan?" Tristan tersenyum tipis. "Maaf, mari saya antar ke meja makan keluarga." Sekali lagi, satu alasan untuk menikmati keadaan gagal. Frada menjaga jarak saat hampir mengenai tubuh itu, kedua tangannya terangkat seolah enggan menyentuh apa pun. Frada pun keluar dari tempat persembunyiannya, menuju tempat Nathan sedang menunggu. Pada meja berbentuk oval, keluarga besar Ivanska telah menunggu. Pertama mereka menyambut Frada, dan tiba saja mendadak sepi ketika melihat sosok Tristan ada di belakang. Semua mata tertuju, mereka saling menatap satu sama lain bahkan keponakan Nathan mendekat. "Kau … Kau …," "Ya, benar. Dia Tristan, penjagaku dulu!" ucap Nathan menyahut, dia tersenyum bangga bisa mempekerjakan Tristan kembali. "Woah," keponakan laki-laki Nathan itu memukul lengan Tristan. "Tuan, jagoan sudah kembali. Kenapa lama sekali kau pergi? Frada kehilanganmu." Frada terbujur kaku mendapati tatapan mereka beralih padanya, dia pun diam dan hanya mengambil posisi tempat duduk. Sekuat tenaga Frada berusaha untuk tetap berada di sana, dia tahu jika semua orang pasti sedang mempunyai nilai dan anggapan baru. Benar-benar mereka seperti menganggap bahwa kegagalan menikah bukan hal berat, tampak terkecuali Ayahnya. Apa yang dilihat hari ini tentu saja melukai perasaan, Xander pun segera mendekat dan mencoba untuk menguatkan Frada. Dia tahu kenapa adiknya saat menatap sayu, bahasa tanpa kata telah didapat dari cara Frada sendiri. "Inget, hubungan profesional! Seperti aku sama Gisha." Kemudian Frada melihat ke arah pengantin yang memiliki wajah sangat cantik. "Kalian bukan hubungan secara profesional lagi, kalian memang sudah berumah tangga." "Kamu bener Frada, tapi aku sama sekali enggak cinta sama dia, tapi sudahlah. Aku juga mana mungkin tetap keliatan t***l mencintai orang yang udah hilang." Xander menganggap mudah, meski ini berat untuknya. Perdebatan kecil ini berujung tawa kecil Frada yang dibuat-buat. Keduanya mengabaikan keadaan yang menimpa, semua akibat dari kekerasan cara berpikir seorang Ayah. Dan mereka menganggap bahwa Nathan kurang dalam memberi pengalaman, sehingga hidupnya dipenuhi oleh aturan dan prinsip salah. Entah, keakraban seperti apa yang dilihat oleh Frada. Dia melihat Tristan di antara keluarga besar Ivanska, mereka saling bergurau dan tidak jarang pertanyaan mengalir dari mereka tentang kehidupan Tristan tiga tahun lalu. Benar-benar gila, dan Frada mengabaikan itu. Waktu terus berlalu, diakhir pesta ini Frada mendapatkan satu keberuntungan menurut beberapa pihak. Dia berhasil menangkap buket bunga milik sang pengantin. Tetapi, bagi Frada ini hal menyakitkan, berulang kali dia harus menepis semua rasa itu. Frada pun memberikan bunga kepada salah satu tamu wanita, kemudian dia pergi meninggalkan area tersebut. Langkah Frada berhenti, dia melihat Tristan masih berada di belakangnya. Kemudian Frada berbalik dan berkata, "Berapa lama kamu disewa? Dan dihargai berapa per bulan?" Tristan tahu dari cara Frada menatap saja sudah kurang menyenangkan. Tetapi, dia sama sekali tidak akan terpancing oleh pertanyaan seperti itu. "Pesta belum selesai, sebaiknya Anda tetap di sini!" "Tugasku udah selesai," Frada tetap tegar menentang tatapan itu. "Apa lagi yang dibutuhkan? Lagipula aku ada urusan lain, dan kamu enggak perlu ikut campur! Tugasmu cuma sebatas melakukan apa kata Papi, bukan apa yang aku lakukan!" "Saya siap mengantar Anda ke mana pun." jawab Tristan dengan posisi yang benar-benar siap menghadapi apa pun, sebagai seorang Bodyguard profesional. Lagi-lagi Frada mendengus kesal, dia memalingkan wajah saat ingin menangis. Ya, benar-benar ini menekan hatinya. "Kenapa kamu itu sialan sekali jadi orang? b******n!" Saat Frada berbalik dan tidak menatapnya lagi, Tristan tersenyum kecil. b******n. Satu kata baru untuk menyebut dirinya, dan bagi Tristan itu bukan masalah. Sama sekali. Dia tahu dengan apa harus melakukan, hanya ini lain dari keadaan dulu. Tristan pun harus berkali-kali kecewa saat mengingat isi surat kontrak tersebut. [...] Hawa dingin menusuk hingga ke dalam d**a, langkahnya berat melalui jalan setapak menuju rumah. Tanah dipijakan terasa basah akibat hujan beberapa jam lalu. Area yang selalu ditinggalkan hingga beberapa bulan, kini Tristan kembali kepada istri dan anaknya. Namun, saat melihat pintu rumah dari kayu kokoh itu dia berhenti. Selalu saja seperti itu, karena rumah itu bukan merupakan tumpuan jiwa yang sebenarnya. Identitas pernikahan dan anak bukanlah hal benar, semua hanya alibi semata. Malam yang damai, kemudian membawa Tristan duduk di bangku terbuat dari bekas pohon yang telah ditebang, di sana merupakan taman kecil yang sengaja dibuat sebagai tempat berkumpul. Berat. Semua begitu membebani ketika Nathan muncul di depannya beberapa bulan lalu, dalam keadaan yang menuntut Tristan untuk berbuat sesuatu karena orang asing berusaha membunuh pria itu. Hubungan kembali dekat, Nathan bukan Timika orang mempunyai hutang baik secara personal. Entah, Tristan tak kuasa jika mengingat semua hingga membuatnya benar-benar berada di depan Frada lagi. Lamunan Tristan pun berhenti saat mendengar suara pintu depan dibuka. Dia menoleh, mendapati Feodora membawakan sesuatu untuknya. "Hei, aku pasti sudah membangunkanmu." Feodora meletakkan mug berisi minuman hangat sebagai penambah stamina. "Tidak, aku mendengar suara mobilmu. Lalu keluar dan membuat minuman jahe, seperti apa yang kau … Suka." Dari ekspresi Feodora, seperti orang jijik melihat isi di dalam gelas. Tristan menenggak hingga setengah. "Kenapa? Kau masih tidak suka jahe?" "Hm … Kau tahu aku ini omnivora, tapi aku rasa jahe di Indonesia membuatku mual." jawab Feodora tidak tahan melihat Tristan menikmati minuman yang menurutnya aneh. Lalu Tristan menenggak lagi sisanya. "Fredi sudah tidur?" Feodora menoleh ke jendela kamar Fredi yang tampak dari halaman. "Sudah, dia tumbuh sebagai anak yang pintar. Aku sangat berterima kasih padamu." "Kenapa harus begitu? Dia anak kita." ucap Tristan santai. Mendengar hal itu, Feodora tahu jika pria yang merupakan teman sesama tentara hebat sedang frustasi. Kemudian Feodora memegang tangan Tristan, seperti apa yang biasa dilakukan agar saling menguatkan saat dulu mereka berperang. "Ada apa? Bagaimana pekerjaanmu, di minggu pertama? Pasti lebih berat daripada kau menjaga putri keturunan Spanyol dulu 'kan?" Tristan menarik napas, melepas semuanya dengan menundukkan kepala. "Aku berusaha menolak, tapi pikiranku terlalu dangkal hingga memilih untuk menandatangani, benar-benar konyol." "Kau tidak salah, Tristan! Ini adalah kesempatan, apalagi kau tahu bahwa Frada dalam bahaya. Aku juga yakin bahwa Nathan melakukan ini tidak main-main, dia menyerahkan semua harga dirinya dengan memohon lagi padamu. Hal ini tidak bisa kau abaikan." ucap Feodora berusaha menguatkan sahabatnya. Lalu Tristan mengangkat wajahnya, dia melihat secara jeli Feodora. "Aku tidak tahu siapa yang Nathan maksud, dan apa aku siap untuk semua ini?" "Tentu bisa,"Feodora tidak akan membiarkan semuanya berlalu seperti dulu. "Ini kesempatan agar kau bisa menebus semuanya, memberi keyakinan pada Nathan, bahwa kau memang pantas." Sepi. Seolah semua perbincangan telah usai. Tristan mencoba untuk meluangkan waktu sejenak bagi otaknya untuk dua hari ini diberi kesempatan cuti. "Aku masuk dulu, rasanya sudah ingin memeluk Fredi." "Baiklah, biar aku yang di sini untuk beberapa menit sampai mengantuk." ucap Feodora tersenyum melihat usaha Tristan kali ini, akhirnya pria itu tidak lagi terpuruk dan hancur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN