bc

Duda Keren Papa Muridku

book_age18+
236
IKUTI
3.2K
BACA
billionaire
HE
second chance
drama
bxg
office/work place
like
intro-logo
Uraian

Sally dijodohkan dengan seorang duda berwajah menyeramkan bernama Ben yang ternyata papa dari murid les nya sendiri. Namun yang tidak ia ketahui kalau calon suaminya itu sebenarnya adalah Sean, pria yang pernah membuatnya patah hati sepuluh tahun lalu.

Satu per satu fakta terkuak di balik rasa benci Sean pada Sally.

Sean menyesal dan mencoba menggapai hati Sally yang sudah dikecewakan oleh ucapan menusuknya sejak mereka bertemu lagi.

Semakin mengenal Sally, Sean semakin paham penderitaan Sally dan merasa bodoh karena tidak mencoba mencari tahu tentang keluarga Sally.

Saat hidup Sally dibuat hancur, seseorang dari masa lalunya muncul dan merubah dunianya.

Mungkinkah Sally akan menerima Ben yang adalah Sean setelah tahu identitas Sean yang sebenarnya sedangkan hatinya sudah terlanjur menyayangi Sion seperti putranya sendiri?

chap-preview
Pratinjau gratis
Bab 1. Perpisahan Yang Menyakitkan
Menikmati debaran karena ciuman pertama yang dirasakan Sally juga Sean merupakan pengalaman baru bagi mereka berdua berkutat dengan kegilaan yang memutari kepala mereka untuk tetap bersikap waras dan tidak terjerumus dalam hal-hal yang semakin dalam. Kejadian waktu itu nyatanya memberikan Sean pelajaran bahwa berduaan tanpa pengawasan orang dewasa dalam berpacaran di usia mereka nyatanya memang berbahaya. Jadi Sean sedikit menyenangkan hati dengan kepergiannya kali ini dengan alasan demi menghindari dosa kalau terus berdekatan dengan Sally. Ciuman pertama yang berakhir menjadi ciuman panas hanya dalam waktu satu jam itu nyatanya berhasil menuntun tangan Sean menyentuh benda kembar milik Sally meskipun dari sisi luarnya saja dan hal itu menjadi ultimatum keras bagi Sean mengutuki dirinya sendiri yang tidak mampu menjaga keliaran sisi laki-lakinya itu. Jadwal keberangkatan Sean dan Mark hari Minggu pagi. Dua hari sebelumnya Sean, Sally, Mark juga Ceri melakukan kencan ganda terakhir sebelum melakukan LDR. Perbedaan waktu dua negara yang terlampau jauh akan menyulitkan mereka berkomunikasi. Ceri dan Sally berjanji akan mengantarkan mereka ke bandara nanti. Tapi pagi ini keadaan justru berbeda dari apa yang diharapkan. Pagi itu Ceri pergi sendiri ke bandara dan hanya bertemu dengan Mark. Bahkan Sean juga tidak didapati bersama Mark membuat Ceri juga Mark sama-sama kebingungan. "Ceri, Sally mana? Dia ngak jadi datang?" Tanya Mark meyakini memang ada yang tidak beres dengan sahabatnya ini. "Aku juga bingung, Mark. Kemarin siang kita masih bercanda kan, trus pas pulang mereka berdua juga ngak berantem. Tapi kenapa sekarang jadi aneh gini, tadi pagi waktu aku ke rumah Sally dia bilang ngak jadi ke bandara, matanya juga bengkak. Kata Tante Carol dia habis nangis dan sepertinya belum tidur juga.” Tutur Ceri menjelaskan apa yang terjadi pada Sally. Kerutan di kening Mark semakin bertambah bingung apa yang terjadi dengan mereka berdua. "Iya, Sean juga sama. Aku sengaja menginap di rumah Sean, tapi pas bangun kata Om Sam dia sudah berangkat duluan, mukanya juga kelihatan kurang tidur. Aku sempat nelpon dia trus dia bilang kalau sekarang dia sudah cek in di dalam. Nada suara Sean juga datar banget.” “Duh, sebenarnya mereka berdua kenapa sih? Sally juga ngak bisa diajak cerita sekarang. Kalau aku tanya dia malah nangis lagi, karena buru-buru mau nganter kamu jadi aku berangkat dulu kemari." “Yah sudah, nanti aku coba ngomongin masalah ini sama Sean. Kamu juga ajak Sally bicara kalau dia sudah tenangan. Kalau memang mereka berantem pasti masih sama-sama panas. Biarkan saja mereka dulu nenangin diri.” Ceri mengangguk. “Sini peluk dulu, nanti pelukin aku lama lagi loh.” Canda Mark mencoba menenangkan pacarnya dan melupakan sejenak masalah sahabat mereka. Saat Mark sudah di dalam pesawat, akhirnya ia bertemu dengan Sean yang memang duduk bersebelahan dengannya di kelas bisnis. Pria itu memakai earphone menutup kedua matanya, terlihat jelas kantung mata Sean berwarna keabu-abuan tanda kurang tidur. Mark melepas earphone Sean membuat pria itu membuka matanya menoleh menatap tajam. Tatapan yang sudah lama tidak Mark lihat lagi dan kini muncul lagi saat melihat Sean jika sedang marah. "Sean sebenarnya loe kenapa sih sama Sally. Jujur sama gua, apa kalian berantem hebat sampai Sally juga nangis semalaman ngak tidur. Loe ngak kasihan sama dia apa!" Ucap Mark menekan suaranya sepelan mungkin meskipun nadanya terdengar marah. Sean masih dengan mode bungkamnya terlihat wajahnya begitu dingin membuat Mark mengerti dengan raut wajah Sean seperti ini, percuma diajak bicara karena ia tidak akan merespon jika moodnya seperti sekarang. Mark yang juga paham watak sahabatnya itu bisa menebak kalau masalah yang tengah dihadapi Sean dan Sally bukan hal biasa. Meskipun Sean terlihat cuek dan memilih tidur namun air mata yang mengalir dipipinya sudah menceritakan secara tidak langsung kalau sahabatnya ini juga sedang terluka tapi entah apa masalahnya. Akhirnya Mark membiarkan Sean dengan kebungkamannya sampai ia siap bercerita nanti. Sekarang dia hanya bisa menyemangati Sean dengan terus berada di sampingnya sesekali menepuk bahu sahabatnya itu. Sementara di Jakarta, Ceri langsung mengunjungi Sally setelah pulang dari bandara. Tentu saja ia khawatir karena baru pertama kalinya ia melihat wajah Sally seberantakan tadi. "Tante, Sally ada?" "Ada Cer ayo masuk, kamu langsung ke kamarnya saja. Tante juga ngak tahu ada apa sama dia dan Sean. Mungkin dia mau cerita ke kamu. Coba dihibur yah, Cer. Tante sedih lihat dia begitu." Ujar Carol mama Sally. “Iyah, Tan. Ceri masuk dulu ke kamar Sally.” Ceri mengetuk pintu kamar Sally kemudian membuka pintu perlahan. Pemandangan pertama yang dilihatnya adalah Sally yang menangis sambil melihat gelang juga cincin pemberian Sean ditangan kirinya itu. Sedang ponsel Sally berada disebelahnya. "Sal.." Sally mendongak menatap Ceri kemudian raut wajahnya kembali ditekuk sambil merentangkan kedua tangannya meminta pelukan sahabatnya itu. Ceri segera menghampiri duduk di sisi kasur dan memeluk Sally kemudian tangisannya pecah seketika terdengar lirih. Setelah puas mengeluarkan rasa sesak dan sedihnya, Sally terlihat lebih tenangan meski masih sesegukkan. "Sal, sebenarnya loe sama Sean kenapa sih?" "Andai gua juga dikasih kesempatan buat nanya sama Sean apa salah gua, Cer. Kemarin malam Sean nelpon. Gua pikir kayak biasanya aja dia nelpon buat ngucapin selamat malam, apalagi udah mau misah jauh kan. Tapi semalam dia malah... dia..." Sally menangis kembali seolah berat harus mereka ulang kejadian semalam. "Dia kenapa Sal? Sean memang ada ngomong apa?" Helaan nafas dalam sembari mengusap kasar air matanya Sally berusaha tabah dan kuat untuk melanjutkan ceritanya. "Sean bilang kalau selama ini gua udah bohong dan hanya memanfaatkan dia saja. Kemarin dia tuh marah banget, gua ngak pernah dengar Sean semarah itu.” Kening Ceri mengerut terkejut dengan tuduhan Sean pada sahabatnya namun berusaha diam mendengarkan curhatan Sally. “Terus dia bilang kalau dia menyesal dengan semua memori kita berdua. Bahkan dia ngelarang gua buat datang ke bandara. Belum juga gua nanya alasannya Sean keburu menutup telepon. Suaranya begitu menakutkan, Cer. Baru sekali ini gua dengar Sean marah banget. Tapi gua sendiri masih bingung sebenarnya salah gua tuh apa sama dia sampai dia tega nuduh gua kayak gitu." “Jadi dia ngak bilang kenapa marah banget ke loe?” Sally mengangguk membenarkan. "Gua sampai mikir berkali-kali, mengingat lagi apa pernah gua salah ngomong atau kelepasan bicara. Tapi kan dua hari lalu kita ketemuan aja, semua masih baik-baik. Gua benaran bingung, Cer. Salah gua apa sih, kenapa dia gini amat ke gua." “Trus status loe sama Sean sekarang masih pacaran apa kalian udah…” Mengendikkan bahunya Sally mendengus merasa Sean sudah menuduhnya seperti gadis picik dan jahat. "Gua juga ngak paham apa ini artinya kita sudah putus? Terakhir sebelum dia nutup ngak bilang kita putus tapi dia juga ngak jawab telepon atau balas pesan gua lagi. Gua mesti gimana dong, Cer? Sekarang dia pasti sudah berangkat kan? Tadinya gua mikir mau ke bandara saja biar sekalian dituntasin masalahnya tapi gua juga takut kalau sampai nanti Sean marahin gua di depan banyak orang. Tapi gua juga ngak mau putus dari dia. Gua ngak mau putus, Cer. Kenapa Sean jahat banget sih. Salah gua apa sama dia." Seru Sally menangis kembali padahal matanya sudah bengkak sekali. Ceri hanya bisa memeluk sahabatnya dan menenangkan Sally yang terus menangis terpukul, dia akan berencana menceritakan semuanya kepada Mark nanti sebenarnya apa yang sudah terjadi sampai Sean terkesan membenci Sally. Sean dan Mark akhirnya tiba Boston Airport setelah menempuh 25 jam perjalanan, disana sudah malam karena rentang perbedaan waktu 11 jam dengan Jakarta. Sepanjang perjalanan di pesawat yang dilakukan Sean hanya memejamkan mata, makan, ke kamar mandi kemudian tidur lagi disertai dengusan nafas kasar sebagai tanda sedang menyimpan sesaknya sendiri. Karena lelah keduanya langsung masuk ke dalam mobil jemputan yang memang sudah disediakan Samuel menuju rumah yang dibeli papa Sean. Orang tua Sean akan datang 2 hari kemudian untuk mengatur hal lainnya menyangkut persiapan kuliah mereka. Keesokkan pagi saat melihat Sean sudah terlihat normal kembali, Mark memberanikan diri kembali bertanya kepada sahabatnya. Perihal mereka sampai di Amerika sudah Mark sampaikan pada pacarnya sebelum mereka sampai di rumah. "Sean, Ceri cerita ke gua kalau loe tiba-tiba ngamuk ke Sally dan bilang ke dia jangan ke bandara kemarin. Sebenernya ada apa, Sean? Sally juga bingung dia punya salah apa sama loe, setidaknya angkat telepon dari Sally atau ngak kabarin dia loe udah sampai dan kasih nomor terbaru loe disini biar kalian tetap berkomunikasi. Kalau ada masalah loe bicarakan sama Sally baik-baik biar masalah jelas, mungkin aja kalian salah paham." Sambil menikmati sarapannya, Sean terlihat cuek seakan menanggapi Sally seperti menanggapi Mira. "Gua ngak butuh penjelasan dia, semua udah jelas selama sepuluh bulan ini dia udah bohong sengaja mainin perasaan gua. Yang cinta sama Sally itu gua doang, dia nyak kagak. Sama aja sama yang lain cuma memanfaatkan kekayaan bokap gua supaya hidupnya enak." Mendengar ucapan Sean yang menuding Sally tanpa alasan membuat emosi Mark naik. Bukan bermaksud ikut campur, bagaimanapun Mark juga sudah mengenal seperti apa Ceri juga Sally sebagai gadis terhormat. "Maksud loe ngomong gitu gimana? Loe bisa berpikir gitu dari mananya sih? Loe punya buktinya kalau Sally begitu?" Sean mendengus dengan kasar meletakkan sendok makannya. Mood untuk lanjut sarapan sudah hilang. "Gua ngak akan bertindak tanpa bukti, yang jelas gua punya buktinya. Justru karena masih menghormati Sally gua ngak mau cerita ke loe intinya dia ngak sepolos yang gua pikir.” Tadinya Mark ingin menonjok Sean siapa tahu kewarasannya balik karena menuduh Sally. Namun detik kemudian Mark tertegun menatap mata mengembun Sean disana mulai memukuli dadanya. “Disini sakit Mark, kayaknya gua ngak bisa suka sama cewe lain lagi. Cukup sekali ini saja." Sean akhirnya menangis lirih didepan Mark. Namun tidak lama kemudian Sean menyeka matanya berusaha menegarkan diri. "Jangan singgung tentang masalah Sally lagi, biarin gua fokus sama kuliah gua mulai sekarang." Pinta Sean pada sahabatnya itu dan Mark hanya bisa diam bercampur bingung bagaimana membantu temannya.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
172.3K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
152.6K
bc

Tentang Cinta Kita

read
214.5K
bc

My husband (Ex) bad boy (BAHASA INDONESIA)

read
295.5K
bc

Papa, Tolong Bawa Mama Pulang ke Rumah!

read
4.5K
bc

Ketika Istriku Berubah Dingin

read
3.6K
bc

TERNODA

read
193.3K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook