"Arumi, besok ikut piknik apa tidak?"
"Loh, bukannya masih Minggu depan?"
"Gak jadi Minggu depan soalnya pihak rumah sakit ada acara. Jadinya piknik di majukan Minggu besok."
"Kalau Minggu besok sepertinya tidak bisa ikut. Aku sudah janji sama Ibuk buat anter jenguk Kakak."
"Gak asik dong kalau Rumi gak ikut. Jenguk Kakak kamu 'kan bisa hari Jumat."
"Gak bisa dong Jumat masih kerja."
Rahma tersenyum, ternyata sahabatnya belum membuka group. "Rumi ngak baca pengumuman di group ya? Bu Sandra sudah mengumumkan kalau hari Jumat kita hanya masuk setengah hari."
"Oh, iya kah?" Arumi mengambil ponselnya dari dalam tas. "Kalau begitu aku bicarakan dulu sama Ibuk. Semoga saja bisa ikut piknik. Soalnya, aku belum pernah ke Jakarta."
Kedua sahabat itu berjalan ke arah pintu keluar rumah sakit. Rahma akan mengantar Arumi pulang ke rumah menggunakan motor maticnya.
Hari ini Arumi tidak mendapat gangguan dari Pria yang sangat menyebalkan. Mungkin saja Elang sudah lelah karena selalu mendapatkan penolakan. Bisa juga sedang merancang strategi baru.
Sesampainya di rumah, Arumi langsung masuk ke dalam rumah setelah mengucapkan salam.
Ibu Cantiknya sedang berada di dapur menyiapkan makan malam untuknya dan Bapaknya.
"Eh, Anak cantik sudah pulang. Ganti baju dulu, Nak. Sekalian mandi nanti shalat berjamaah sama Ibuk."
"Siap, Ibuk," jawabnya dengan mencium pipi Ibunya.
Arumi bergegas masuk ke dalam kamar, dia akan melakukan apa yang Ibunya perintahkan. Memang anak yang sangat manis dan penurut.
Biasanya Bapaknya akan pulang sebelum magrib untuk shalat berjamaah dengan anak dan istrinya. Namun, hari ini Hasyim tidak bisa pulang.
"Bapak tumben belum pulang, Buk? Biasanya kalau habis magrib pulang sebentar makan malam bareng."
Annisa memberikan piring pada putrinya. Dia lembut sekali mirip seperti Arumi. "Bapak kirim pesan, katanya sedang bertemu dengan temannya jadi gak bisa makan malam bareng kita."
"Teman siapa, Buk?"
"Ibuk ngak tahu, Sayang. Bapak hanya bilang begitu."
Arumi menyantap makan malam buatan Ibunya yang tidak pernah gagal rasanya. Selalu enak meskipun hanya masakan sederhana.
Bakat memasak Annisa menurun pada Putri keduanya. Membuat Arumi di terima di rumah sakit besar tanpa lewat orang dalam. Murni hasil kerja kerasnya sendiri yang mengikuti beberapa rangkaian tes.
Selesai makan malam, Arumi duduk santai di ruang TV sekaligus ruang tamu. Dia tengah asik membaca n****+ online yang dia sukainya.
Burung Elang
"Menemani Bapak makan malam."
"Picture"
Dia baru saja membaca pesan yang dikirimkan oleh Elang.
Kedua alisnya menyatu memastikan foto yang dikirim sepupu Nala itu nyata bukan hasil editan.
Elang tidak muncul di hadapan Arumi ternyata sedang berada di pangkalan Ojol. Entah apa yang dipikirkan olehnya bisa-bisanya sampai ikut nongkrong di sana.
"Kok bisa sih Kak Elang bareng sama Bapak? Aku kira tuh orang sedang pergi keluar angkasa ternyata masih di Jogja," gumamnya.
Arumi menaruh ponselnya pada meja tidak berniat untuk membalas lalu melanjutkan kegiatannya yang tertunda.
Namun, saat baru saja membuka Ipad nya ponsel Arumi berdering ada nama Elang yang tertera di layar.
"Assalamualaikum, Humaira."
"Waalaikumsalam, salah sambung nih kayaknya?"
"Enggak, kok. Benar aku sedang menelepon Humaira ku."
"Namaku Arumi, bukan Humaira!"
"Iya, Arumi Humaira. Benarkan?"
"Salah! Kaka ngapain telepon?"
"Kenapa pesanku nggak dibalas?"
"Lagi sibuk."
"Aku masih sama Bapak, lagi ngopi di pangkalan. Ternyata seru juga ikut mangkal."
Arumi menghela nafas, sampai segitunya usaha Elang untuk mendapatkan hati orang tuanya.
"Kakak lagi gak ada kegiatan sampai ikut mangkal di tempat Ojol?"
"Ikut mangkal bukan karena tidak ada kegiatan, Rumi. Ini bentuk usaha ku untuk mempercepat mendapatkan restu dari Bapak Mertua."
Arumi langsung mengucapkan salam lalu mematikan sambungan telepon.
Setiap kali berbicara dengan Elang, Arumi sering melupakan tata krama yang diajarkan oleh kedua orang tuanya.
Dia yang selalu bersikap manis dan lembut berubah menjadi ketus hanya pada Elang.
Jika, Ibu atau Bapaknya sampai tahu pasti dia akan mendapatkan teguran dari kedua orang tuanya.
Mereka selalu menekankan pada anak-anaknya harus bersikap sopan pada semua orang. Sekalipun, orang itu jahat dan menyebalkan.
"Bebal banget sih! Sudah di tolak puluhan kali masih saja keras kepala."
***
"Jadinya hari Jumat siang ya, Buk. Kita akan jenguk Kakak di lapas?"
"Iya, Nak. Nanti Ibuk tungguin di halte depan rumah sakit. Kita bertemu disana saja."
"Bulan kemarin Kakak minta di bawakan apa, Buk?"
"Makanan kesukaan Kak Amira. Selain itu tidak ada."
"Masih lama ya, Buk. Kakak ditahan di penjara?"
"Iya, Sayang. 20 tahun bukan waktu yang sebentar. Apalagi, baru dijalani selama 4 tahun. Semoga saja waktu Kak Mira keluar, Ibu dan Bapak masih sehat."
Arumi memeluk Ibunya, meskipun kelakuan Kakaknya sebelum masuk penjara tidak ada baik-baiknya Arumi tetap sayang dengan saudara kandungnya.
"Sudah gak boleh nangis masih pagi, Sayang. Nanti kalau Bapak bangun ikutan sedih."
Annisa membantu membersihkan air mata yang ikut mengalir di kedua pipi Putrinya. Mereka melanjutkan memasak sarapan dan pesanan makanan dari pemesan misterius.
"Sebenarnya siapa sih yang pesan makanan ini? Sudah kayak restoran saja kita, Buk. Mulai dari sarapan sampai makan malam pesan sama Ibuk."
"Ngak tahu, Nak. Kata Bapak sih temannya sebatang kara di Jogja jadinya pesan makan biar nggak kelaparan."
"Aduh ... Aduh lebay sekali. Padahal loh di Jogja itu penjual makanan banyak sekali. Masak iya takut kelaparan. Lagipula, apa gunanya penjual makanan online. Tinggal klik aplikasi langsung datang."
"Iya, gak papa juga, Sayang. Selera orang 'kan beda-beda. Siapa tahu teman Bapak sudah cocok dengan masakan kita. Itung-itung buat jadi pelanggan tetap lumayan buat tambahan tabungan."
Arumi mengangguk, dia menyelesaikan bagian memasaknya. Setelah itu, dia akan mandi dan bersiap untuk berangkat bekerja.
"Rum ..."
"Iya, Buk. Ada apa?"
Arumi melihat Ibunya keluar dengan membawa kotak bekal makanan yang dipesan pelanggan barunya.
"Ini di bawa sekalian," ucap Annisa memberikan bekal pada anaknya.
"Bekal Rumi sudah di dalam tas, Buk."
"Bukan buat kamu tapi ini pesanan temannya Bapak."
Arumi merasa ada yang aneh dengan si pemesan makanan. Firasatnya mengatakan ada sesuatu hal buruk yang sebentar lagi akan terjadi.
"Kenapa bukan Bapak saja yang bawa? Rumi 'kan gak kenal. Nanti kalau kelamaan nunggu takut telat kerja juga, Buk."
"Gak, akan telat. Orangnya sudah menunggu di depan gang masuk kampung kita, Nak. Bapak sedang di kamar mandi jadi tidak bisa mengantar pesanan. Gak enak kalau ditungguin lama soalnya sudah dibayar lunas sampai bulan depan."
Arumi menerima bekal makanan yang diberikan oleh Ibunya lalu pamit berangkat ke rumah sakit. Kali ini dia berangkat lebih pagi karena akan melakukan COD dengan si pemesan makanan.
Langkah Arumi melambat saat sudah sampai di gang masuk kampung. Dia duduk di kursi yang disediakan di trotoar sembari menunggu si pemesan makanan menghampirinya.
"Assalamualaikum, selamat pagi Humaira."
Arumi melebarkan kedua matanya. Dugaannya tidak salah, pagi ini dia mendapatkan kejutan dari si burung Elang.
Dalam hatinya merutuki keputusannya yang bersedia mengantarkan pesanan. "Jadi Kak Elang yang pesan makanan sehari tiga kali?"
"Ya, Humaira. Jawab dulu salamnya."
"Waalaikumsalam, kenapa Kakak melakukan itu? Memangnya di rumah Nala gak ada makanan? Terus, alasan Kakak yang bilang hanya sebatang kara tinggal di Jogja, maksudnya apa? Lagian Kak Elang di Jogja selalu bersama sekretaris. Kenapa juga harus minta tolong sama Bapak?!" Omel Arumi tanpa melihat ke arah Elang.
"Memang kenyataannya aku tinggal di Jogja sebatang kara. Orang tua dan saudara semuanya ada di Jakarta."
"Tapi di sini ada keluarga Nala."
Elang tersenyum. Memang benar dia itu terlalu mengada-ada. Ya, sudahlah. Paling penting sekarang dia bisa makan makanan hasil masakan Arumi sehari 3 kali.
"Ini pesanan Kakak." Arumi memberikan bekal pada Elang.
Elang menerima kotak bekal sarapan sekaligus makan siangnya. Kotak bekal yang dibawa Arumi bisa membuat makanan tahan panas.
Jadi, tidak akan khawatir basi atau dingin saat Elang memakannya waktu siang hari.
"Terima kasih. Ini kamu yang masak?"
"Berdua sama Ibuk."
"Yang penting ada campur tangan calon istri."
Arumi mencebikkan bibir, Elang terus saja mengatakan jika dirinya adalah calon istrinya. Padahal, sudah jelas-jelas Arumi kemarin menolaknya.
"Jangan suka sembarangan kalau bicara, Kak. Nanti ada yang dengar bahaya. Akan menjadi gosip yang tidak benar."
"Bagian tidak benar itu di mana, Rumi? Semua yang aku katakan benar asalkan kamu berkata 'Iya' untuk pertanyaanku kemarin."
"Kak Elang ini susah sekali kalau di bilangin!"
"Maka dari itu, bimbinglah aku menuju ke jalan yang lebih benar. Jadilah pelengkap hidupku Arumi," ucapnya.
Kedua pipi Arumi tiba-tiba memanas. Namun dia tidak membiarkan itu terjadi dalam waktu yang lama.
"Memangnya selama ini hidup Kak Elang kurang lengkap?"
Elang mengangguk dengan sangat cepat. Dia merasa Arumi memberikan sedikit celah untuknya. "Sangat kurang, bahkan sering kosong."
"Kak Elang pergi saja ke restoran all you can eat, di sana menyediakan banyak menu paket lengkap. Kakak bisa memilih salah satu dari mereka untuk melengkapi hidup Kak Elang yang sering kosong."