BAB. 8

1416 Kata
    “Kak, aku beneran dapat beasiswa gini?” Lia masih tak percaya dengan berita yang disampaikan bagian administrasi kampusnya. Lengkap dengan copy bukti pelunasan hingga dirinya lulus nanti. Semisal ada biaya yang kurang, pihak kampusnya tak akan menghubungi Lia atau pun Fitri.     Tapi pada donator utama; Andra Riyanto.     “Iya, Lia,” kata Fitri dengan senyum selebar mungkin padahal hatinya carut marut juga. Bagaimana bisa kunjungan ke kampus Lia malah diambil sebagai tindakan luar biasa oleh Dokter Andra. Fitri saat itu ditinggalkan di kantin katanya Dokter Andra ada urusan di gedung administrasi.     Fitri tak curiga perihal apa pun karena Andra sama sekali tak menyinggung mengenai bantuan yang akan dia berikan pada Lia. tau-tau Andra datang padanya dengan membawa kabar kalau biaya kuliah Lia tak perlu lagi ia pikirkan.     Mulut Fitri menganga lebar. mungkin kalau ada serangga yang terbang di dekatnya bisa masuk dan membuat tenggorokannya tersangkut serta tersedak. Saking terkejutnya juga heran, “Kenapa Dokter melakukan ini?”     “Bisa enggak panggil saya jangan Dokter? Ini di luar rumah sakit, kan? enggak usah terlalu formal.”     Fitri cemberut. “Anda memang dokter, kan?”     “Benar. tapi sekarang saya lagi enggak gunakan profesi tersebut.”     “Kenapa Bapak melakukan ini?” Fitri ambil cara teraman yang ia bisa. Memanggil dengan sebutan ‘Bapak’ walau Andra sedikit menatapnya dengan pandangan tak suka.     “Melakukan apa?”     “Bapak tau apa yang saya maksud.” Fitri benar-benar harus belajar bersabar dengan pria ini. Sebenarnya dengan nada bicaranya yang seperti ini saja, Fitri sudah sangat tak sopan. Andra Heriyanto berusia empat puluh sembilan tahun, pria dewasa yang matang, juga panutannya.     Tapi … pria ini memang membuat rasa sebalnya muncul begitu saja.     Malahan sekarang Andra tertawa. Meminta dibuatkan segelas teh hangat pada penjaga kantin, lalu menyindir Fitri yang terlihat mengabaikannya. Kalau bisa Fitri protes atas kelakukan aneh Andra, pasti sudah dilakukan.     Semua yang Andra lakukan terlihat penuh ledekan. Entah mana yang serius mana yang tidak. Tapi untuk masalah bantuan p********n kuliah Lia ini lah yang masih menjadi ganjalan besar untuk Fitri.     “Saya hanya melakukan tugas, Fit.”     “Tugas? Tugas apa, Pak?”     “Tugas kemanusiaan. Membantu seseorang yang butuh bantuan itu perlu, kan? apalagi kalian ini piatu. Biar bagaimana pun kehilangan sosok ibu itu ada rasa kehilangan tersendiri, kan?”     Lidah Fitri kelu.     “Saya bukan lagi melangkahi kamu, usaha kamu, cara kamu bekerja keras untuk membiayai adik kamu, enggak. Jangan tersinggung dengan tindakan saya ini, ya.”     Fitri makin tak berani menatap Andra yang malah terkekeh. “Lho, saya ini lagi bicara sama siapa, ya? Mana Fitri yang tadi terdengar merajuk?”     “Saya enggak merajuk, Pak.”     “Iya, cuma ngambek.”     Sabar, Fit, sabar. Menghadapi orang tua memang harus bersabar. Batin Fitri.     “Ada harga yang harus adik kamu bayar juga, kok.”     Kata-kata Andra tadi langsung membuat mata Fitri membola. Melotot tak percaya menatap Andra yang santai menikmati teh hangat serta beberapa roti di depannya. Entah ini kebiasaan Andra yang baru Fitri ketahui, caranya meminum teh sungguh unik di mata gadis itu. Menggunakan piring kecil, membiarkannya hangat agar bisa diseruput, atau mencelup roti sebagai cemilan.     Terlihat menikmati sekali dokter yang terbiasa Fitri lihat serius dalam memberi penjelasan tapi sedikit menyebalkan saat ia tengah banyak bicara. Seperti sekarang ini.     “Kamu … bisa membunuh saya, Fit, kalau saya dilihat seperti itu terus.”     “Bapak bercanda, kan?”     “Bercanda? Apa yang bercanda, Fit?”     “Adik saya. Apa yang harus dibayar adik saya, Pak.” Fitri tak peduli kalau suaranya ini sedikit banyak gemetaran karena di otaknya malah terbayang sosok bertubuh tegap bertato yang beberapa malam lalu mengunjungi rumah mereka. Di mana ancaman mereka berdua dijual oleh ayahnya terucap oleh salah satu dari mereka. Sebagai jaminan hutang sebesar 75 juta.     Mendadak Fitri ketakutan. Tangannya tremor parah.     “Eh? Fit? Kamu kenapa?” Andra sedikit terkejut melihat perubahan gadis di depannya ini. Tak biasa-biasanya Fitri ketakutan dengan candaannya.     “Bapak … Bapak …”     “Saya enggak mau ngapa-ngapain, Fit. Saya cuma mau bilang, kalau bayaran dari adik kamu itu, si Lia, nilainya harus bagus. Saya periksa setiap semesteran, Fit. Itu saja yang saya mau. Memangnya kamu berpikiran apa?”     Bukannya menjawab, gadis itu malah menangis. Membuat Andra kelimpungan sendiri. Biarpun dirinya memilki anak, tapi kedua anaknya semuanya lelaki. Tak ada yang cengeng juga selalu tegas berbicara. Didikan Andra memang seperti itu. suka, harus bicara. Keberatan, harus sampaikan alasan dan solusinya apa.     Tak bisa berdiam atau membisukan suara.     Dari pada membuat kantin ini ramai, Andra meminta Fitri untuk mengikutinya. Kembali ke mobil dan menunggu gadis itu kembali tenang. Sedikit memaksa Fitri untuk mengikutinya ternyata tak mudah. Gadis itu malah makin terisak. Andra jadi seperti orang tua yang memarahi anaknya di depan umum.     Melihat bagaimana pandangan yang tiba-tiba ia terima dari sekitar kampus, Andra tersenyum maklum saja sembari terus merangkul Fitri agar tetap di sampingnya. Sampai di mobil, Andra mendudukkan Fitri dan meminta gadis itu untuk lebih tenang.     “Saya beli minum dulu, ya. Kamu pasti capek nangis, kan?”     Fitri menggeleng tapi air matanya masih menetes.     “Sudah. Kamu di sini aja. nangis sampai puas. Atau mau nangis ditemani saya? Enggak masalah. Tapi tunggu saya kembali, ya.”     Rasanya Fitri ingin membantah, menolak, juga mendorong Andra untuk menjauhinya tapi mau bagaimana? Fitri sudah mempermalukan dirinya sendiri tadi. Rasa sesak juga bayang tak mengenakkan benar-benar melintas di kepalanya. Membuat dadanya seperti dihimpit beban yang makin berat dan membuatnya sesak.     Berhubung tak ada tanggapan dari gadis ini, Andra hanya tersenyum kecil. Diusapnya lembut kepala Fitri lalu bergegas pergi membeli apa yang ia butuhkan. Sebotol air minum yang untungnya, minimarket tak terlalu jauh dari lokasi parkir kampus.     Andra sebenarnya cukup penasaran karena Fitri yang tiba-tiba menangis ini. Mungkin nanti kalau gadis itu sudah jauh lebih tenang, Andra pasti akan mendesaknya untuk berkata jujur. Andra paling tak suka kalau siapa pun yang ia tanya, ia malah mendapatkan jawaban terserah atau enggak apa-apa.     Ia butuh jawaban bukan pernyataan yang abu-abu seperti itu.     “Minum dulu,” kata Andra sembari menyodorkan botol minum yang tadi dibelinya. Saat ia masuk mobil barusan, keadaan Fitri sudah lebih baik. Hanya ada isak kecil juga sisa air mata yang membuat pipinya lembab juga matanya yang memerah.     “Makasih, Pak.”     Andra mengangguk kecil. “Kamu mau cerita sekarang perihal tangis kamu atau besok?”     “Enggak, Pak. Maaf, tadi saya … saya … agak terharu.”     “Terharu?” ulang Andra.     Gadis itu cepat sekali memberi jawaban dengan anggukan. “Terharu karena Bapak mau membantu saya. Meminta Lia untuk makin semangat belajar karena ada pengawasnya lansgung. Saya … sungguh terharu akan hal itu, Pak.”     Entah kenapa, Andra merasa gadis ini berbohong. Matanya tak lagi menatap Andra seperti yang sudah-sudah.     “Saya sungguh berterima kasih atas semuanya, Pak. Saya doakan selalu untuk Bapak dilimpahi keberkahan tersendiri.”     Andra mengangguk saja. “Kita pulang sekarang.”     “Baik, Pak.”     Bahu Fitri ditepuk entah sudah berapa kali oleh Lia. gadis itu heran kenapa kakaknya malah melamun. senyum yang tadi ada di bibirnya saja sudah tak ada malah berganti dengan pandangan kosong. Seperti tengah berpikir sesuatu tapi apa?     “Kak?” panggil Lia lagi. “Kakak melamun? Ada apa, Kak? Jangan bikin Lia takut.”     Buru-buru Fitri mengerjap. Semua obrolan juga kejadian di kampus Lia bersama Andra segera ia singkirkan. “Enggak. Enggak ada apa-apa. Tadi kamu bicara apa?”     Lia bersungut kesal. “Aku tanya dan mastiin kalau aku ini benar dapat beasiswa atau gimana?”     “Iya, Lia. tapi ada syaratnya.”     Kening Lia berkerut. Matanya menatap Fitri dengan bingung. “Syarat? Aku lagi lomba?”     “Ish! Kamu ini! Bukan lah. Syarat kamu dibayari uang semesteran juga biaya lainnya yang mungkin ada di tahun-tahun depan.”     “Hah?”     Fitri mengajak Lia untuk duduk di ruang tamu rumahnya. Lia baru saja pulang sementara Fitri sudah sejak tadi. Menyampaikan banyak terima kasih pada Andra yang jauh lebih pendiam dari pada saat mereka berangkat tadi. Tapi Fitri sendiri bingung harus mengajak pria itu bicara dalam topik apa     “Kak? Aku jadi curiga maksudnya ini gimana, sih?” Lia sangat tak sabar dalam hal ini. Saat bagian administrasi memberitahunya, ia senang dan girang luar biasa. Tapi saat kakaknya mengatakan hal ini, entah kenapa ada kekhawatiran sendiri di hatinya.     “Beliau cuma minta kamu menjaga nilai akademis kamu.”     Kening Lia makin berkerut dalam. “Kak, ini sama aja bunuh diri. Nilai aku jauh dari Kakak!” erang Lia dengan sangat frustrasi. “Ini siapa donaturnya, ya Allah! Baik, sih, baik tapi bisa-bisa aku botak, Kak Fitri!!!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN