Gadis itu tak peduli bagaimana caranya tiba di rumah. Ia hanya meninggalkan pesan pada Parmi kalau dirinya ada kepentingan yang sangat penting. Bahkan minta tolong pada wanita yang sudah ia anggap sebagai kakak perempuannya ini, untuk menyampaikan izinnya karena sungguh, Lia dalam keadaan yang genting.
Wajah-wajah sangar, tubuh tegap bertato, belum lagi suaranya yang menggelegar mirip petir. Belum lagi tetangganya yang bisa dipastikan sudah berkumpul di depan rumahnya. Semuanya terlintas gantian di kepalanya. Membuat Fitri makin kalut.
Air matanya sudah menemani dirinya sepanjang jalan ke rumah. Tak ia hiraukan betapa banyak suara klakson yang terdengar juga sumpah serapah karena ia seenaknya menekan gas, ngerem mendadak, atau berbelok tanpa sein.
Pikirannya penuh dengan nasib sang adik. Jangan sampai ia terlambat datang. Juga berpikir dari mana dapat uang segitu banyak untuk melunasi hutang? Ditambah ayahnya yang tak ada kabar sama sekali. Tadi di parkiran ia coba telepon ponsel ayahnya tapi tak terhubung. Tak kurang akal, ia hubungi poul taksi tempat ayahnya bekerja. Katanya sudah dua hari Pak Amir tak pulang.
Begitu sampai di depan rumah, seperti bayangannya, rumahnya mendadak ramai. Bahkan ada ketua RT yang ia kenal baik. Bu RT sering datang ke rumah memberi beberapa lauk terutama saat ibunya sakit dulu.
Fitri tak peduli dengan semuanya. Ia hanya memanggil satu nama, Lia, adiknya. Tak akan tenang hatinya kalau belum bertemu dengan Lia. begitu matanya menangkap sosok Lia yang duduk sembari dirangkul bahunya, juga isakan kecil keluar dari bibir gadis itu, kelegaan luar biasa Fitri dapati. Rasa mencekik yang sejak tadi ada di lehernya, sesak di dadanya perlahan menguap.
“Nah, itu Fitri datang, Lia,” kata si ibu yang merangkul Lia. Bu Arum namanya. Fitri langsung berhambur memeluk adiknya. Menangis bersama. Masa bodo kalau mereka jadi tontonan tapi sepertinya semuanya menatap dua kakak beradik ini dengan pandangan prihatin.
“Aku takut, Kak,” lirih Lia di sela tangisnya. Fitri hanya mengangguk pelan sembari mengusap rambut Lia yang tampak berantakan.
“Ada Kakak, Lia. Ada Kakak.”
Mereka kembali berpelukan. Fitri mendengar satu per satu orang pamit dari rumahnya. Meninggalkan Bu Arum juga Pak RT yang masih duduk di seberang mereka. Mungkin menunggu untuk dua gadis ini agar lebih tenang.
Setelah menguasai keadaan, Fitri sambil menghapus air matanya juga berusaha menahan isaknya menyampaikan banyak terima kasih pada Bu Arum. Juga ingin mendengarkan cerita hari ini. Karena tak mungkin bertanya pada Lia yang terlihat masih ketakutan.
“Iya, tadi ada beberapa orang yang Ibu rasa kayak preman gitu, ya, Pak”
Pak Yono, nama Pak RT, mengangguk cepat. “Ada tiga atau empat orang gitu, Fit. Nagih utang. Kamu punya utang, Nak?” tanya Pak Yono hati-hati.
Fitri segera menggeleng. “Enggak, Pak.”
“Mereka bilang keluarga ini punya hutang dengan mereka totalnya 80 juta.”
“80 juta?” pekik Fitri. “Saat mereka datang itu katanya 75 juta, Pak. Itu penipuan namanya, Pak!” Fitri benar-benar tak habis pikir dengan mereka semua. Bagaimana bisa hutang itu cepat sekali berlipat padahal jaraknya juga tak terlalu lama? Apa ayahnya memiliki hutang lagi?
“Memang hutang apa, Fit?” tanya Bu Arum pelan.
“Fitri juga enggak tau, Bu,” bahu Fitri terkulai lemah. “Yang Fitri tau waktu itu ada yang datang, empat orang, badannya gede-gede gitu banyak tatonya. Hampir tengah malam pas itu. katanya utang Ayah. Tapi nominalnya enggak segitu.”
“Banyak tapi?”
Fitri mengangguk. “Tetap banyak, sih, Bu. 75 juta. Enggak tau FItri untuk apa uang sebanyak itu Ayah pinjam.”
“Buat judi kali, Fit, Fit. Bapakmu itu ya Allah, enggak mikir banget apa, ya?” sungut Bu Arum dengan geramnya. Yang segera saja ditanggapi Pak Yono dengan delikan tajam. “Ih, Pak. Biar aja. Aku enggak marah sama Fitri dan Lia. Malah jadi makin kasihan. Sudah saat ibunya sakit si Amir itu enggak ada pedulinya. Sekarang ninggalin utang banyak. Coba, Pak, kalau tadi kita terlambat datang. Jadi apa si Lia ini.”
Fitri segera meraih tangan Bu Arum, dikecupinya berulang kali. “Makasih, ya, Bu. Makasih.”
“Iya, lho, Fit. Bapak ngeri banget sama ucapan mereka. Masa iya Lia dijadikan jaminan untuk bayar utang? Bapakmu sudah bisa dihubungi belum?” tanya Pak Yono.
Fitri menggeleng lesu. “Sejak tadi Fitri telepon enggak diangkat malah teleponnya dimatiin kayaknya. Di pool taksi tadi Fitri coba tanya, sudah enggak pulang dua hari.”
“Ya Allah, dia ini hatinya dari apa, sih? Batu mungkin!” dumel Bu Arum lagi. “Ini enggak bisa dibiarkan, Pak. Lia sama Fitri ini terancam, lho.”
“Iya, Bu. Tapi kalau melihat ancaman mereka, kayaknya mereka benar-benar enggak takut sama warga. Buktinya salah satu dari mereka, yang botak itu, bilang mau datang lagi dan bakalan maksa. Kalau sampai terjadi hal-hal buruk di sini, gimana, Bu?”
Fitri mendadak teringat dengan pria bertato yang botak itu. Yang ucapannya paling lantang serta matanya yang tajam memburu baik dirinya juga Lia. Ya Allah, entah apa yang akan terjadi nanti kalau sampai Lia benar-benar dijadikan jaminan untuk melunasi utang.
“Sudah, sudah. Jangan dipikirkan dulu. Sementara Bapak dan Ibu di sini sampai keadaan aman, ya, Nak.”
Fitri menangis terharu atas kebaikan mereka berdua.
“Oiya, Fit. Ibu bukan lagi memberi saran yang jelek, tapi tentang rumah ini.”
“Rumah ini, Bu? Maksudnya?”
Fitri bisa melihat jelas antara Pak Yono juga Bu Arum ini saling lihat-lihatan. Tapi setelahnya menunduk, juga seperti orang ragu mau bicara. Hal ini membuat Fitri makin curiga tapi kepalanya juga mengingat-ingat mengenai surat kepemilikan rumah. Kalau tidak salah ada di lemari kamar ibunya. tersimpan rapi yang mana saat itu Fitri masih melihatnya.
Akan tetapi ia sudah lama memang tak mengecek keberadaan surat rumah ini. Membuatnya mendadak bangun dan cukup penasaran. nantinya ia akan berterima kasih pada BU Arum karena mengingatkannya pada surat rumah peninggalan ibunya ini.
Dulu Kinan Anggraeni, ibunda Fitri juga Lia pernah menceritakan asal mula rumah sederhana ini. Rumah peninggalan kakek dan nenek dari pihak Kinan dulu sebagai bekal selama merantau di Jakarta. Tadinya hanya petakan kecil tapi seiring berjalannya waktu, Amir memiliki cukup uang untuk terus membangun rumah hingga memiliki tiga kamar ini. Cukup luas dan termasuk terawat hingga saat ini.
Fitri juga masih ingat, dulunya sang ayah tak berulah seperti ini. Sosok ayah yang baik, panutan bagi dirinya yang menjadi seorang anak pertama. Kalau libur di hari kerja, ayahnya sering menjemput dirinya di sekolah dulu. Bekerjanya giat karena sering kali pulang larut. Kadang pula Fitri ikut menungguinya pulang sama seperti sang ibu. Sembari menemani ibunya menjahit sprei pesanan.
Hidup masa kecil Fitri menyenangkan. Bayang itu lah yang selalu ia pegang sampai sekarang. Ia pun tak mengerti kenapa ayahnya bisa berubah sedrastis ini. Yang ia tau, saat ibunya hamil Lia, semuanya mulai berubah. Lia kecil yang ia sayang, tak mendapatkan banyak kasih sayang dari ayahnya.
Setiap kali ditanya, ayahnya selalu melontarkan makian. Setiap kali Lia kecil berbuat salah, emosi ayahnya memuncak. Lia kecil sering mendapatkan pukulan dari sang ayah. Lalu perlahan ekonomi keluarga Fitri mulai terpuruk. Membuat Kinan memutuskan untuk bekerja.
“Jual aja rumah ini. Untuk kita modal usaha, Nan.”
“Jangan, Mas. Ini rumah peninggalan Bapak. Aku kerja sekarang, kok. Aku bantu-bantu nanti dari gaji, ya, Mas.”
“Alah! Kamu itu susah banget kalau diminta jual rumah ini. Sejak adanya Lia, rumah ini bawa sial. Kawanku bilang begitu, Nan. Sudah lah, aku yakin banget dia ini benar ucapannya.”
Fitri mengintip dari kamarnya. Pertengkaran perkara rumah ini sering terjadi di larut malam di mana dirinya juga sang adik sudah tertidur. Tapi malam itu, Fitri terbangun karena ingin buang air kecil.
“Enggak, Mas. Enggak ada hal seperti itu. rezeki anak milik masing-masing. Kalau kita lagi diuji seperti ini, kita harusnya sabar. Aku juga enggak ebrhenti usaha, Mas.”
“Alah! Kamu itu dikasih tau ngeyel aja! ada uang aku di rumah ini, Kinan. Bukan uang kamu aja.”
Dan pertengkaran it uterus saja terjadi hari ke hari. Bahkan sampai Kinan sakit pun, Fitri masih sering mendengar bagaimana mereka saling mempertahankan rumah ini. Sampai akhirnya Fitri tau, di hari-hari terakhir ibunya masih bisa bernapas walau terasa kesulitan saat itu.
“Rumah ini khusus untuk kalian berdua. Enggak usah kalian pedulikan perawatan Ibu. Ibu sudah enggak kuat lagi. ibu juga sudah ingin bertemu Kakek dan Nenek. Pergunakan rumah ini untuk masa depan kalian berdua, ya. Ibu percaya sama kamu, Fit.”
Kata-kata itu kembali terngiang seiring dengan gerak Fitri membongkar satu amplop yang terselip di antara tumpukan baju. Semua berkas-berkas penting mengenai keluarga ini ada di dalamnya. Bolak balik ia periksa tapi …
Nihil.
Surat rumah ini tidak ada.
Belum sampai di situ rasa terkejut yang Fitri punya.
“Fit, ada yang cari.” Bu Arum sudah ada di ambang pintu kamarnya. Matanya menatap Fitri dengan nelangsa.
“Siapa, Bu?”
“Orang Bank. Tagih cicilan rumah, Fit. Katanya sudah tunggak delapan bulan. Kalau sampai enggak dilunasi, rumah ini mau disita.”