Naya terbangun dalam keadaan canak-acakan juga sebuah tangan yang mendekap perut ratanya. Mata gadis cantik itu melotot menyadari apa yang bisa dicerna otaknya. Semalam demamnya makin parah dan selebihnya tak ada yang bisa diingatnya termasuk siapa pemilik tangan yang kini memeluknya posesif. Seluruh tubuhnya meremang merasakan dadaa telanjang seseorang pada kulit punggungnya.
Saat membalik badannyan Naya menemukan wajah tidur kakak sepupunya, Rama Dirga Padmaja. Bagaimana mungkin cowok dengan akal sehat dan memiliki seorang tunangan yang sangat dicintainya melakukan hal keji ini padanya? Terlebih lagi saat dirinya sakit? Begitu batin Naya. Gadis itu tak kuasa bersuara apalagi berteriak. Melilitkan selimut pada tubuhnya, Naya berjalan terseok-seok menuju kamar mandi di kamar lainnyanya di rumah Rama. Meninggalkan Rama yang dalam keadaan tanpa busana, sama seperti dirinya.
Gadis itu diam dan tidak bergerak sama sekali, hanya tarikan napas berat dan gerakan bola mata yang meneliti keadaan tubuhnya di balik pantulan cermin yang membuktikan bahwa dia masih hidup. Setelah memastikan wajahnya tidak seperti wajah korban pelecehan, Naya meninggalkan rumah itu dipagi buta. Gadis itu mengurung diri di rumah neneknya yang sudah tak berpenghuni bahkan melewatkan acara wisudanya. Menangis seorang diri.
…
Naya menyerngitkan hidungnya karena aroma menyengat rumah sakit. Ia ditemukan pingsan oleh Rama dua hari yang lalu. Wajah pertama yang dilihat Naya adalah wajah kakak sepupunya yang tampak sangat khawatir. Gadis, oke wanita itu membuang tatapannya begitu saja. Sejak dulu, ia memang tak terbiasa bicara banyak dengan sepupu sialannya itu dan mulai sekarang ia jadi tidak ingin lagi bicara dengannya. Naya murka karena cowok itu masih berada di ruangannya tanpa sepatah kata maaf ataupun penjelasan. Dia hanya duduk disana, mungkin masih memperhatikannya, entahlah Naya tidak tau karena sekarang ia memunggungi Rama.
“Kamu sudah sadar?” Mendengar Nada berbahaya papanya, Naya langsung duduk. Tubuhnya kaku, tidak mungkin papa mengetahui apa yang terjadi padanya bukan? Naya tidak berencana menjadi korban pelecehan dari sepupunya sendiri dan membiarkan semua orang menatapnya iba. Ia hanya menyendiri sementara waktu untuk kembali seperti dirinya yang biasa tetapi tiba-tiba saja Naya terbangun di sini, di rumah sakit dan dengan Rama yang menungguinya.
PLAKK. Pipi gadis itu memerah karena tamparan yang didapatnya sepersekian detik yang lalu. Naya tidak berani menatap sang Papa terlebih kata tajam papanya mulai keluar. Ia hanya memberikan tatapan ‘lihat apa yang kau perbuat.. aku hanya demam lalu jadilah aku yang disalahkan semua orang’ pada Rama.
Takut? Tentu Naya takut. Kemarahan Papa adalah satu hal yang sangat ia hindari. Karena kalau tidak, Naya akan menghadapi pukulan seperti yang barusan ia terima. Mungkin bagi kamu yang melihatnya akan menganggap bahwa didikan Papa keras tapi bagi Naya, ia justru lebih merasa seperti anak tiri atau anak pungut. Padahal Naya ingat sekali bagaimana almarhum nenek dan kakeknya sama sekali tidak memperlakukan papanya dan juga papanya Rama berbeda sekalipun papanya Rama hanyalah anak angkat mereka.
“Om, udah, Om!” ucap Rama yang langsung menahan tangan papanya Naya yang berniat untuk kembali memberikan tamparan. “Kami salah, kam-”
“Kami???? Kenapa kami?” teriak Naya pada Rama. Demi tuhan dia hanya demam, bahkan ia tidak tau Rama masuk kekamarnya. Kesalahannya adalah tidur di kamarnya di rumah Rama. Tidak, tidak, pria ini yang salah. Dan kalau dikaji lagi lebih jauh, sejak awal kesalahan ada pada papanya Naya. Kalau dari dulu Papa tidak membuat peraturan dimana dirinya harus menginap di rumah Rama saat beliau tidak bisa pulang, maka semua ini tidak akan pernah terjadi. untuk Lalu sekarang semua ini salah mereka berdua? Dimana otak laki-laki itu??
“Memang kalian yang salah! Buat malu! Kau menghamili sepupumu sendiri,” ucap papa Rama yang dari tadi diam saja. Ia sudah memukul bahkan menghantam putranya sendiri di depan mata kepala sang adik berharap Naya tidak perlu mendapatkan yang serupa. Tapi adiknya tetaplah adiknya. Ia selalu mendidik putrinya dengan kekerasan sejak sang istri meninggal.
Naya tergugu mendengar ucapan Om-nya. Tanpa sadar tangan kanannya langsung meraba perut datarnya dengan gemetar. Ia besar tanpa ibu dan apa yang harus ia lakukan jika anak ini lahir? Apa yang harus dilakukannya sekarang? Apalagi ia tidak pernah bercita-cita untuk memiliki anak karena Naya tidak ingin siapapun merasakan hal yang sama seperti yang selama ini ia rasakan.