Marvis POV
Aku frustasi, patah hati.. tidak tahu kenapa uke sadis itu meninggalkanku. Aku tidak selingkuh tahu! Tiba-tiba saja Elanor marah-marah dan menuduhku menghianatinya.
Memangnya kapan aku selingkuh? Sejak beberapa tahun ini aku tidak pernah lagi mencicipi manisnya tubuh uke manis, gara-gara Marvella yang selalu mengusir mereka, muncul mendadak seperti penguntit terlatih. Siapa lagi yang melatih princess kecilku, kalau bukan Elanor?
Baru sampai tahap peluk-peluk dan cium-cium saja tahu! Marvella sudah keburu muncul dan menganggu. Ini si setan malah membuangku, si anak setan yang sadis itu juga meninggalkanku. Dia pergi ke tempat bunda kesayangannya, meninggalkanku melangsa sendirian.
Aku tidak terima!! Aku tidak salah tahu! Memangnya kapan aku bawa uke manis ke rumah? Kalau mau main serong mah, aku bakal bawa jauh-jauh, pokoknya biar Elanor tidak tahu! Aku kan tidak bodoh!? Sial! Elanor kenapa sih?
Sementara otakku sibuk memikirkan alasan kenapa uke sadisku menuntut cerai, tanganku refleks meraih botol bir ke enam untuk hari ini, meneguknya sampai habis. Menatap surat pengajuan cerai yang dikirimkan oleh Elanor, meraih dan memasukannya ke sakuku. Memberanikan diri pergi menemui Elanor setelah kami saling diam selama dua minggu ini.
Begitu sampai di rumah Elanor, aku langsung membanting pintu, menerobos masuk mengabaikan Yuri yang mencoba menahanku.
"Elanor! Kita perlu bicara!" Pekikku saat menemukan uke sadis itu tengah duduk di meja tamannya dengan tatapan dingin dan angkuh. Ekspresi wajah yang paling aku benci.
"Tidak ada yang perlu kita bicarakan. Sekarang cepat pergi dan tanda tangani surat yang aku kirimkan itu!" Acuhnya.
BRAK!
Aku langsung mengebrak meja, membuat teh Elanor tumpah, tapi aku acuhkan. Kukeluarkan surat cerai itu, menyobeknya tepat di wajah Si Setan.
"Aku tidak merasa pernah menghianatimu akhir-akhir ini, apa lagi membawa pria lain ke rumah kita. Jadi aku tidak terima kau ceraikan!!" Bentak ku frustasi.
"JANGAN BEROMONG-KOSONG MARV! LALU MARCO ITU SIAPA, HAH? KAU SENGAJA MENGAJAKNYA KE RUMAH SAAT AKU DAN MARVELLA PERGI MENGUNJUNGI DEAN!!" Bentak Elanor lebih ganas.
EH? Tunggu dulu..
"Siapa kau bilang tadi?" Tanyaku memastikan.
"MARCO, JALANG! TAPI PERCUMA AKU SEBUT JUGA, KAU TIDAK AKAN MENGINGAT NAMANYA." Ah! Ternyata itu masalahnya?
"Aku ingat tahu! Marco itu seorang desainer interior kenalan Si Uke Denial! Kan gara-gara kau sendiri yang ngamuk-ngamuk karena dapurmu di rusak sama Vance, makanya Si Uke Denial kirimkan Marco buat memperbaiki dapurmu selama kalian mengunjunginya. Aku cuma menyambut kedatangannya sebagai tuan rumah yang baik tahu! Mana ada aku mengodanya!?" Jelasku membela diri, itu benar ya..!
Aku tidak sedang berbohong pada Elanor, lagi pula Marco itu bukan tipeku sama sekali.. dia kan badannya penuh tato gitu, ngeri tahu! Aku mana doyan! Orang suruhan Dean mah tidak pernah ada yang benar.. selalu yang bikin aku ngeri.
Elanor terdiam, tuh.. rasakan! Suka nuduh-nuduh aku sih. "Telpon saja Si Uke Denial! Tanya sendiri! Aku mau mencari princessku dulu! Dia ada di kamarnya kan?" Sambungku lagi, memanasinya.
Lalu langsung pergi mencari princess sadisku di kamar tamu rumah Elanor tanpa menunggu jawaban Si Setan, meninggalkan Si Setan yang merasa bersalah dan menghubungi Uke Denial.
Aku kan kangen Marvella!
"Princess!! Yuhu~ di mana kamu Marvella!!" Seruku seraya membuka pintu demi pintu, tapi setelah semua ruangan di rumah Elanor aku periksa.. Marvella tidak ada?
"Elanor!! Princess ke mana? Kau kirim ke rumah My Queen ya?" Tanyaku sambil lari kembali ke taman.
Elanor menatapku heran, kemarahan sudah tidak lagi terlihat di wajah mulai keriput tapi masih cantik itu. "Apa maksudmu, Marv? Vella tidak aku bawa, dia kan bersama denganmu? Ngomong-ngomong.. aku minta maaf, sudah menuduhmu seenaknya." Sesal Elanor.
Aku langsung panik! "Itu tidak penting lagi! Yang penting itu princessku! Yakin dia tidak menemuimu?" Elanor mengeleng.
"Tidak Marv, waktu aku pergi.. Vella tidak ikut, dia memilihmu Marv. Dibandingkan berkata ingin ikut denganku, Vella lebih memilih memohon agar aku memaafkanmu. Dari dulu memang hanya kau yang ada di pikirannya, padahal kau sama sekali tidak pernah menjaganya dengan benar." Keluh Elanor.
Aku mulai gila sekarang, di mana Marvella!?
"Apa yang terjadi, Marv?" Tanya Elanor lembut seraya mengusap lenganku agar tenang, tapi aku tidak tenang.
"Marvella tidak pulang ke rumah sejak kau tidak ada.." Lirihku, kecemasan mulai menghantuiku, rasa takut akan kehilangan Marvella membuatku sesak.
"Apa yang terjadi? Bagaimana mungkin? Kenapa kau tidak mencarinya t***l! Kau kan tahu Vella sering tersesat di jalan!" Elanor ikut panik.
Akhirnya aku pun menjelaskan soal pertengkaran kecil kami setelah Elanor pergi meninggalkan rumah. Menceritakan bagaimana aku berkata kasar padanya, menyuruhnya pergi ke tempat Si Setan. Elanor melotot marah dan menamparku lagi, mendengus kasar dan mengumpat.
Setelah merasa cukup tenang, dia mengambil ponselnya, menghubungi Yuri. Meminta asisten garang itu untuk melacak keberadaan Marvella lewat pelacak yang dia pasang di pakaian dan accesories my princess. Sementara kami berdua menghubungi keluarga besarku, bertanya apa Marvella ada kabur ke tempat mereka atau tidak.
Tapi hasilnya nihil!
Pelacak di badan Marvella rusak semua, My Queen dan Vian mengamuk-gamuk di telepon. Mereka langsung meninggalkan pekerjaannya dan datang ke mari dengan jet pribadi Vian.
"Bagaimana ini Elanor? Ini salahku, harusnya aku tidak mengusir Marvella.." Lirihku, aku menyesal.
Mengingat kembali kata-kata terakhir yang Marvella ucapkan. Aku mohon jangan.. jangan pergi selamanya dari hidupku, Princess. Aku menyayanginya.. walaupun dia sadis dan tsundere kayak Elanor.
"Mana aku tahu! Kau t***l Marv! Dan aku lebih t***l lagi karena meninggalkannya bersama dengan orang tidak bertanggung jawab sepertimu!" Bentak Elanor frustasi dan mulai menangis.
Aku langsung menariknya kepelukanku, berusaha menenangkannya, padahal pikiranku sendiri tidak bisa tenang. Aku hanya bisa berharap Marvella baik-baik saja selama dua minggu ini, di mana pun dia berada.
∞
BRUAG! PLAK! PLAK!
"MAMPUS AJA LO MARV!! PADAHAL GUE PALING PERCAYA KE ELO!! KENAPA MENJAGA MARVELLA SENDIRI AJA GAK BISA!!" Malam harinya, begitu My Queen tiba, dia langsung menendang perutku, menamparku bolak-balik dan membentakku kasar. Pertama kali dalam hidupnya, dia bersikap kasar padaku. Biasanya hanya Dean dan Vian yang dia kasari, sedangkan aku selalu dipeluknya dengan sayang.
Perasaanku terasa seperti diremukkan, terlebih My Queen mulai menangis histeris, terduduk di lantai dengan air mata yang membasahi wajahnya.
"Maafkan aku My Queen, aku menyesal.. waktu itu aku sedang emosi dan mabuk. Aku tidak bermaksud menyakitinya." Sesalku.
Namun berikutnya aku dilempar dengan sandalnya. "GUE GAK PEDULI!! LO UDAH TUA MARV!! KENAPA GAK BISA BERSIKAP DEWASA DIKIT!? MARVELLA MASIH KECIL BEGO! GIMANA KALAU DIA DICULIK? DIJUAL? DIBUNUH? HUAAAAAA!!"
Aku terdiam, tidak bisa berkata-kata lagi.. detik berikutnya Vian menarik kerahku memukul wajahku berkali-kali tanpa berbicara sedikit pun. Di lanjutkan dengan memukuli Elanor, tidak kalah kejam dari memukulku. Setelah selesai dengan pukulan kejamnya.. Vian menarik My Queen hingga berdiri tegak, menamparnya sekali.
"Diam Alexandra! Berhenti menangis!" Perintahnya dingin, sepupuku itu langsung terdiam dengan tatapan mata kosong. Terlihat amat menyedihkan, membuatku merasakan retak di hatiku.
Kemudian Vian menghampiriku dan Elanor, "kalian mengerti kenapa aku memukul kalian?" dia bertanya dengan dinginnya. Aku maupun Elanor menundukan kepala, tidak berani menatap wajah Vian yang mulai dihiasi urat-urat yang timbul dan aura-aura murkanya.
"JAWAB MARVIS! ELANOR JUGA! KALIAN PIKIR ANAK ITU APA? KALIAN AKU PERCAYAKAN MENGADOPSI MARVELLA AGAR ADA YANG MELINDUNGINYA, BUKAN UNTUK DISIA-SIAKAN! BUKAN UNTUK MELIBATKANNYA DALAM PERTENGKARAN KALIAN! JIKA TIDAK SANGGUP MENGURUSNYA, HARUSNYA KALIAN MENGIRIMKANNYA PADAKU! SETELAH MARVELLA KETEMU, AKAN AKU AMBIL HAK ASUHNYA! KALIAN TIDAK BECUS SEBAGAI ORANG TUA!" Bentaknya marah.
Refleks aku langsung memeluk kakinya, menatapnya memelas. "Jangan Vian.. aku sayang padanya, dia putriku Vian. Aku janji akan berubah, jangan ambil Marvella dariku." Mohonku sungguh-sungguh.
Jika aku masih diberi kesempatan untuk bertemu dengan Marvella, aku akan berubah. Menjadi orang tua yang lebih baik dan bertanggung jawab. Tidak akan menjalang lagi.
"NGGAK!! MARVELLA ANAK GUE!! GUE GAK BAKAL KASIH KE ELO LAGI!" Pekik My Queen kasar.
Vian menatap adiknya dingin, menyuruhnya diam seraya menyingkirkan tubuhku dari kakinya. "Aku setuju dengan adikku, Marv. Hak asuh Marvella kami ambil kembali. Daripada kamu terus merengek dan menangis seperti perempuan.. lebih baik mulailah bekerja melacak keberadaan Marvella. Dua minggu bukan waktu yang singkat, semakin ditunda, jejaknya semakin samar." Perintah Vian.
Dengan pasrah aku pun mulai menghubungin kenalanku, memesan peralatan hacking paling canggih. Sementara Elanor mulai menghubungi para informannya, meminta bantuan mereka mencari Marvella.
Begitu juga dengan My Queen yang sudah sibuk dengan super komputernya dengan wajah dingin dan keras. Menolak menatapku, Vian juga menghubungi Dean dan mengatur agar keluarga kami berkumpul di sini.
Memulai pencarian Marvella, berharap dia bisa ditemukan dalam keadaan hidup.
Seumur hidupku, baru kali ini aku merasa begitu tidak berguna, begitu bodoh dan gagal menjadi manusia.
Aku pun berjalan dengan gontai, membuka kamar Marvella yang sudah tidak pernah aku masuki sejak tujuh tahun yang lalu, karena dia tidak pernah mengizinkanku memasuki kamarnya. Air mataku langsung tumpah, melihat kamar tidur yang tidak ada manis-manisnya sama sekali itu, lemari pajangannya dipenuhi oleh foto-foto kami berdua, foto yang aku ambil secara paksa sementara Marvella mengumpat dan terus berkata 'hapus Jalang! Aku tidak sudi berfoto denganmu!' itu.. bahkan puluhan boneka pemberianku yang dia bilang 'tidak butuh!'.. bertumpuk di sudut kamar.
Hanya ada sedikit foto Elanor dan My queen, sisanya foto bersama denganku yang dipajang di kamarnya, juga ada boneka miniaturku yang aku berikan ke Elanor waktu kecil. Tertata rapi di atas kasurnya, padahal barang-barangnya yang lain begitu berantakan dan kacau. Juga sebuah kertas yang tertempel di atas meja belajar yang tidak pernah dia gunakan. Tertulis.. 'rencana menghilangkan kejalangan Ayah'.
Jantungku berasa ditikam saat itu juga. Terlebih ketika ingatan saat aku berkata kalau dia bukan anakku kembali menyusup ke dalam otak yang tidak pernah aku gunakan itu. Aku menyesal..
"Marv.. " Panggil Elanor, memelukku yang sudah menangis sesunggukan dari belakang.
"Elanor.. kau tahu? Kesalahan terbesarku seumur hidup adalah karena tidak pernah menyadari kasih sayang Marvella untukku, juga karena selalu berpikir dia membenciku, bahkan aku mengusirnya dan mengatakan kalau dia bukan anakku. Kenapa aku begitu bodoh? Kenapa Elanor?"
"Mana aku tahu! Dari dulu juga kau sudah t***l!" Umpat Elanor, tubuhnya bergetar menahan tangis. "Ini salahku, karena selalu menikmati melihat Vella menindasmu, karena selalu merasa iri padamu yang lebih dicintai olehnya. Karena melepaskan tangannya saat dia memohon dan mengengam tanganku erat-erat.. bukan salahmu sepenuhnya Marv. Aku juga salah, kita gagal menjadi orang tua." Lanjutnya.
Ya, kami telah gagal menjadi orang tua, mungkin ini jawabannya. Hukuman yang mengingatkan kami agar tidak terlalu egois, memikirkan diri sendiri.
Aku terima dihukum seperti apapun, dipukuli oleh Vian lagi juga tidak apa-apa. Asalkan Marvella bisa kembali dalam keadaan baik-baik saja. Aku mohon Tuhan, pemintaan pertama dan terakhirku, aku hanya mohon agar Marvella bisa kami temukan dalam keadaan baik-baik saja.
Sekali pun, jika dia pulang dengan membawa kebencian padaku, aku akan menerima. Asalkan Marvellaku baik-baik saja, asalkan aku bisa melihat wajah tersenyum bahagianya lagi.