Tragedi

2165 Kata
Balinda mengusap mata dan menguap di waktu yang bersamaan kemudian dengan refleks ia memiringkan kepala ketika sadar bahwa Zen sedang tertidur di sisi ranjang rumah sakit. Tidak ingin mengganggu om-nya yang sedang tertidur pulas, tangan mungil Balinda mengusap rambut Zen. Namun, gerakan kecil tersebut malah membangunkan Zen. "Sudah bangun, Bal?" tanya Zen lembut, sambil mengusap rambut keponakannya. Balinda mengangguk dengan wajah pucat. "Celamat pagi, Om. Enggak cekolah?" Balinda menatap Zen bingung kemudian beranjak bangun ingin duduk di atas ranjang. "Om mau sama-sama Balinda, jagain Balinda, dan ada ...." "Enggak mau! Om halus cekolah temenin Kak Adit." Balinda mengembungkan pipi dan membuang pandangannya ke sisi lain. Zen mengernyit tipis lalu menggeleng pelan kembali mengusap kepala Balinda agar tidak melakukan hal demikian pada dirinya. "Balinda enggak mau ditemanin?" "Balbal cudah becal, Om Zen! Kak Adit 'kan temannya Om Zen jadi halus cama-cama. Balbal bica cama mama atau cama pelawat di cini." Balinda masih kekeuh dengan keinginan agar Zen segera pergi sekolah karena ia sudah paham betul bagaimana Ariska terkadang meminta Zen untuk ke sekolah yang ia tahu itu artinya Zen sedang malas sekolah dan itu tidak baik. Zen tidak menjawab dan memutuskan untuk bangkit dari tempatnya mengambil segelas air putih kemudian menyerahkannya pada Balinda. "Balinda harus banyak minum air putih dari sekarang dan jangan sampai kecapean." Wajah Balinda seketika murung ketika menyadari ada aura kesedihan di wajah Zen. Ia mengambil gelas berisi air putih di tangan Zen kemudian meminumnya. "Balbal cuma cakit, di cini, tapi mama bilang Balbal bakalan cembuh. Om jangan cedih, ya?" Balinda menunjuk bagian jantungnya. Hal yang membuat Zen menjadi semakin sedih. Namun, harus tetap tegar di hadapan gadis kecilnya. "Om ke kamar kecil dulu." Zen tersenyum tipis kemudian segera melangkah menuju toilet dan teringat dengan perkataan Ariska mengenai penyakit yang diderita Balinda. Hipertrofi kardiomiopati, penyakit yang ditandai dengan adanya penebalan otot jantung akibat kelainan genetik, suatu penyakit yang benar-benar tidak disangka oleh Ariska dan Zen karena mereka tahu di keluarga mereka tidak ada yang bermasalah dengan jantung. Zen mengusap wajah tepat di depan pintu toilet yang masih tertutup. Dalam diam ia berharap dan meminta jika keajaiban datang maka ia akan memohon untuk memindahkan penyakit Balinda kepada dirinya. "Zen!" Suara Ariska tiba-tiba terdengar di belakang Zen. "Buruan mandi. Nih, seragam lo sudah gue setrika enggak ada alasan bolos karena gue yang bakalan jaga Balbal." Ariska memberikan paper bag berisi seragam dan beberapa perlengkapan sekolah Zen tepat setelah pemuda itu memutar tubuh menghadapnya. "Lo pergi bareng Adit," katanya lagi, sambil mendorong tubuh Zen agar segera masuk toilet untuk membersihkan diri dan buru-buru menutup pintu. Beberapa saat kemudian sebuah tepukan terdengar seiring dengan suara riang Balinda yang menyambut kedatangan mamanya. "Kak Ariska memang hebat. Tahu, enggak, kak? Di sekolah enggak ada yang bersikap kayak gitu ke Zen soalnya itu anak masang tampang datar mulu, gue aja sampe heran liatnya," ujar Adit, sambil duduk di sofa tamu ruang rawat inap Balinda. Ariska yang memeluk Balinda hanya memutar mata. "Lo berdua masih sama-sama bocah di mata gue jadi buat apa segan lagian lo semua juga kudu dikerasin biar jadi orang bener dan itu tanda cinta gue ke ...." "Gue? Aa!!! Makasih banget, kak! Akhirya, Kak Ariska. Aww!" Ucapan Adit terhenti dan sambil meringis ia mengusap pinggang yang telah di cubit Ariska. "Lo rumpi banget, ini rumah sakit," bisik Ariska. Balinda tertawa dan tampak menggemaskan--Adit merasa ingin mencubit gemas pipi gadis kecil itu. Namun, rasa sakit akibat cubitan Ariska membuat Adit harus terus mengusap pinggangnya. *** Ran berdiri di depan gerbang, menoleh ke kanan dan ke kiri hanya sekadar mencari sosok Zen. Ia sudah siap untuk melakukan pengejaran yang telah dia pelajari di google semalam secara diam-diam. Ran menoleh ke arah pantulan dirinya di lemari kaca berisi jejeran piala dari para murid Dharma Bakti, merasa penasaran apakah penampilannya baik-baik saja. "Ini semua karena mama menggunting baju seragam yang kukecilkan dan menggantinya dengan seragam baru." Ran mengerucutkan bibir sambil memegang kerah baju seragam baru yang berukuran sedikit lebih besar dalam artian sopan seperti pada umumnya. Hal ini terjadi karena semalam Mama Ran mendapati anaknya yang sudah berpenampilan seperti badut setelah pulang dari Mall Senayan. Mendesah lesu, Ran bersandar di gerbang sekolah memainkan batu kerikil dengan kakinya. "Make up yang baru kubeli bahkan disita, gimana mau jadi populer?" Sebuah tepukan mendarat di bahu Ran dan terlihat Dea sudah berdiri di sisinya dengan tas ransel yang ia kenakan secara tidak sempurna. Ran berdecak kagum melihat penampilan Dea hari ini--dia tampak keren di mata Ran dengan beberapa helai rambut berwarna merah maroon dan perak yang diikat ponytail, serta beberapa tindik baru di hidung dan telinganya. "Lo enggak pake make up? Dan baju lo ... astaga cupu banget, sih?" Dea bertolak pinggang lalu segera membuka tindikan barunya saat melihat beberapa guru berjalan mendekat. "Mama nyita peralatan make up, menggunting seragam dan rok yang kukecilkan, D," ucap Ran lirih. Ia tidak ingin kehilangan kepopuleran yang hampir ia dapatkan karena sudah berhasil menarik perhatian para murid-murid cowok sekolahnya. "Keluarin baju lo, gulung lengannya, buka dua kancing, dan gerai rambut lo." Dea menunjuk seragam Ran dan gadis itu segera menurut. Seakan sedang berpikir, Dea mengusap dagu dengan jarinya kemudian kembali berujar, "Rok lo gulung dan naikin sampai tingginya kayak punya gue karena baju lo gede jadi enggak bakal mencolok." "Ciee!!! Yang lagi permak pakaian, ya. Tiba-tiba jadi panas gini, padahal masih pagi." Mendengar celetukan dari seorang cowok Dea dan Ran segera menoleh yang benar saja Rhoma serta Boim sudah berdiri tidak jauh dari mereka, sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Apaan lo? Suka, ya?" tanya Alice yang entah sejak kapan sudah berdiri di samping dua cowok itu, sambil memainkan ujung rambut dengan jari telunjuknya. "Iya, suka." Boim menatap Alice dengan pandangan berbinar. "Tapi gue lebih suka lo, El." Tin tin tin. Suara klakson mobil mengalihkan perhatian mereka dan di sana sudah ada Adit yang mengeluarkan kepala dari jendela mobil. "Ngapain lo pada ngumpul di depan gerbang sekolah? Mau janjian telat, ya?" tanya Adit asal lalu melirik ke arah Ran yang hari ini berpenampilan semi badass. "Pagi, Ran! Nungguin Bang Zen, ya? Noh, orangnya di samping gue." Dengan santainya, Adit menunjuk Zen yang duduk di samping kemudi mobil dengan dagunya. Zen tidak peduli dan hanya mendengarkan musik melalui earphone, sambil terus menatap ke depan tanpa melihat ke arah dua temannya dan tiga gadis yang berdiri di depan gerbang di antara banyak murid yang mulai berdatangan. "Lo mau di sini sampai ka ...." "Buruan kasih titipan Kak Ariska, ini amanat, loh." Adit memotong ucapan Zen lalu segera melepas sabuk pengaman Zen serta membuka pintu mobil kemudian mendorong bahu sahabatnya. Tidak ada respon atau perubahan ekspresi di wajah Zen terhadap tingkah laku Adit yang menyuruhnya untuk melakukan hal yang sebenarnya sudah ia tolak lebih awal saat berada di rumah sakit, yaitu titipan dari Ariska untuk Ran sebagai ucapan terima kasih. Merepotkan. Zen mengambil tas ranselnya lalu segera keluar dari mobil, masih mengenakan earphone kemudian melangkah mendekati gerbang tempat Ran, Dea, dan Alice berdiri. Namun, ia bisa melihat Rhoma serta Boim buru-buru menarik tangan dua gadis yang tidak dia kenal untuk menjauh, meninggalkan Ran sendiri, begitu pula dengan Adit meninggalkan mereka berdua di depan pintu gerbang. "Kak Zen, se-selamat pa-gi. Hari ini, cerah dan ... Kak Zen, tunggu!" Ran melangkah lebar ketika Zen hanya melewatinya tanpa melirik sedikit pun. Namun, tiba-tiba suara benda yang saling bertabrakan terdengar seiring dengan teriakan kecil Ran. Zen berhenti sejenak melihat ke belakang dan menemukan Ran yang terjatuh karena tertabrak sepeda gunung salah satu murid sekolah. "Enggak apa-apa, aku baik-baik aja, kok, Kak." Ran segera bangkit dengan wajah meringis tidak peduli dengan luka lecet di lutut dan murid yang menabraknya. Terpincang-pincang Ran menghampiri Zen, sambil berusaha tersenyum ditengah rasa perih. "Kakak enggak usah k-khawatir." Tinggal beberapa langkah sebelum Ran semakin dekat dengannya, Zen langsung memalingkan wajah kemudian melanjutkan langkah yang sempat terhambat. Ran mengembuskan napas tidak bisa mengejar Zen karena beberapa luka lecet akibat tertabrak sepeda gunung yang ia tahu melaju sangat cepat. Menoleh ke belakang, Ran menatap ke arah pengendara sepeda itu. Namun, seketika tatapannya berubah setelah tahu siapa yang menabraknya--dia Lea. Mengembuskan napas Ran memalingkan wajah, melangkah pelan menuju UKS, memutuskan izin satu mata pelajaran untuk mengobati lukanya. Ia teringat dengan kata-kata Alice bahwa biasanya anak populer akan membolos dan salah satu tempat favorite mereka adalah UKS atau rooftop. Namun, karena ia mengalami luka lecet ringan maka Ran akan memilih UKS lalu berpura-pura mengalami pusing. *** Tidak ada perawat di UKS bahkan anak-anak PMR yang bertugas untuk berjaga, sehingga tanpa permisi Ran masuk ke dalam ruang UKS, mengambil kotak P3K dan mengobati lukanya. Sudut mata Ran melihat Lea juga masuk ke dalam. Namun, ia memutuskan untuk tidak bersuara dan hanya tersenyum canggung. "Lo sudah kayak badut, Ran." Lea meninggalkan UKS setelah mengambil beberapa plester tanpa menatap lama ke arah Ran. Menggigit bibir sejenak, Ran berdiri dari kasur UKS lalu melangkah lebar keluar dan berkata dengan suara cukup keras, "Kamu enggak akan pernah paham, Lea!" Bruk. Ran terjatuh, kepalanya terasa pusing dengan pandangan yang tiba-tiba menjadi kabur hingga akhirnya ia tidak sadarkan diri dan hanya bisa merasakan bahwa seseorang mengangkat tubuhnya ke dalam UKS dan membaringkannya di atas kasur. Dalam keadaan setengah sadar Ran ingat bahwa dia belum ada makan sejak pertengkaran kecil dengan mamanya akibat permasalahan seragam dan peralatan make up. Sebuah sentuhan dan aroma minyak kayu putih dapat dirasakan oleh Ran di bagian pelipis. Hal yang membuat Ran ingin membuka mata lalu melihat siapa penolongnya. Namun, pandangan yang masih kabur sebab mata begitu enggan untuk terbuka membuat Ran hanya bisa mengetahui melalui indra perabanya. Kurang lebih semenit kesadaran Ran kembali, ia pun segara membuka mata. Namun, tidak menemukan tanda kehadiran seseorang di UKS. Perlahan, Ran turun dari kasur kembali menatap wajah polos tanpa make up dengan penampilan yang sudah hampir mirip dengan gaya fashion milik Dea. "Minum." Tiba-tiba Zen muncul dari balik tirai dengan sebotol air mineral dan beberapa butir obat di piring berukuran sangat kecil. Mata Ran membulat sempurna bahkan punggungnya sempat menegang dengan kaki yang refleks melangkah mundur. "A ... Kak Zen, ba-barusan ...." Ran tidak bisa melanjutkan kalimatnya dan hanya bisa menatap Zen yang sedang meletakkan sebotol air mineral dan obat di nakas sebelah kasur UKS lalu pergi meninggalkan Ran. "Tunggu, Kak Zen, ah!" pekik Ran pelan ketika tiba-tiba Zen melempar bingkisan plastik berukuran sedang. "Dari ibu yang anaknya lo selamatin kemarin." Zen menatap Ran sekilas dengan tatapan datar lalu segera mengambil tas ransel dan bersiap pergi. Wajah Ran bersemu merah, sebuah senyum terukir lebar di kedua sudut bibirnya. "Hadiah, hadiah, i-ini dari Kak Zen!" Ran memeluk bingkisan tersebut lalu menoleh ke arah Zen dan segera menarik tangan pemuda tersebut. "Aku mau jadi pacar Kakak." Zen melepas tangan Ran di lengannya, mengernyit tipis lalu berkata dingin, "Enggak." "Eh, Ka-kakak ma-mau jadi pacarku, 'kan?" tanya Ran lagi, ia yakin yang barusan ia dengar adalah kesalahan. Zen memalingkan wajah, "Lo punya telinga dan gue bilang enggak," ucap Zen dingin dan pergi meninggalkan UKS tanpa menoleh ke arah Ran. *** Berlari terburu-buru, Ran hampir saja menabrak mejanya yang berada di dekat tempat duduk Alice dan Dea. Sikap terburu-buru Ran ternyata berhasil membuat dua gadis populer itu menatap Ran heran. "Lo kenapa, Ran? Dan lutut sama ...." Alice tidak melanjutkan kalimatnya dan hanya memerhatikan Ran dari kepala sampai kaki. Mengendikkan bahu sambil tersenyum lebar, Ran langsung duduk di kurisnya setelah meletakkan sebotol air mineral yang diberikan Zen serta bingkisan di atas meja. "Kak Zen!" histeris Ran, sambil menghentak-hentakan kaki pelan. "Kak Zen suka sama aku dan ini, Kak Zen yang kasih waktu aku bolos di UKS." Mendengar apa yang dikatakan Ran sontak membuat Alice dan Dea terkejut karena mereka tahu betul bahwa Zen tidak akan membiarkan dirinya di sentuh atau berurusan dengan seorang gadis. Mereka berdua meneguk saliva dan hanya bisa memelototi Ran, menunggu gadis itu melanjutkan ceritanya. Ran tidak bisa menyembunyikan kebahagiannya karena sudah mencapai puncak popularitas serta berhasil menarik perhatian Zen sang target utama. "Jadi tadi aku ditabrak Lea dan ini hasilnya." Ran memperlihatkan luka yang ditutupi plester di kedua lutut. "Terus waktu itu aku pingsan karena enggak makan dari semalam. Itu enggak penting karena yang terpenting adalah siapa penolongku waktu itu." Ran tersenyum lebar, membuat Alice dan Dea merasa kesal. "Zen yang ...." "Yap!" Ran memotong ucapan Alice, sambil mengacungkan ibu jari. "Aku yakin Kak Zen ngerawat aku karena waktu aku sadar tiba-tiba dia datang bawa air ini dan obat, terus Kak Zen kasih aku ini. Kalian bilang arti dari sebuah hadiah adalah ketertarikan, itu artinya Kak Zen suka sama aku." "Lo serius, Ran?" tanya Dea merasa tidak yakin karena tahu bahwa Ran bodoh dalam hal ini. Ran mengangguk mantap. "Kami berpacaran, meskipun enggak ada kata-kata deklarasi seperti yang kalian tunjukan, tapi hadiah ini bukti kalau kami pacaran, 'kan?" Refleks Dea dan Alice tersenyum miring lalu saling pandang untuk sejenak, paham sekali dengan kondisi Ran, meskipun tingkah laku Zen terhadap Ran adalah tindakan pertama kali bagi Zen karena selama ini pemuda itu tidak pernah peduli dengan para gadis. "Well, kami perlu pembuktian kalau kalian memang pacaran untuk menentukan apa yang akan kita lakukan untuk meranjak ke level selanjutnya." Dea menepuk kepala Ran seperti seorang pelatih yang bangga terhadap anak didiknya. "Ya, lo harus makan siang bareng Zen. Tunjukan kalau kalian memang pacaran." Alice ikut menimpali dan Ran mengacungkan dua jempolnya, sambil mengangguk mantap. Aku sudah jadi pacar Kak Zen dan aku sudah populer karena Kak Zen enggak pernah melakukan hal tersebut sama cewek lain. Ini pertama kalinya. Ran kembali memeluk bingkisan pemberian Zen serta botol minum mineral yang sudah ia minum separuhnya. "Popularity, I'm coming!" pekik Ran pelan tanpa peduli bahwa dua teman populernya sedang tersenyum mengejek ke arahnya, sedangkan Lea yang duduk jauh dari mereka hanya menatap Ran kesal. Dasar bodoh, batin Alice, Dea, dan Lea tentu saja Lea memiliki arti lain dalam mengatai kebodohan Ran saat ini.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN