Part 2
Beberapa tahun kemudian...
Kehidupan keluarga Gendhis perlahan membaik, namun sayangnya Manika sering sakit-sakitan dan jarang berjualan akhir-akhir ini. Kusna terus bekerja keras demi istri dan anaknya terutama istrinya yang harus berobat tiap bul an. Manika mengalami sesak napas dan asam lambung sering kambuh sebab jika sudah berjualan pula biasanya kalau lelah, dipastikan malas makan. Gendhis selalu menyuapi ibunya yang seringkali malas makan jika sudah merasa capek sekali bekerja seharian. Ayahnya terkadang juga bekerja selain menjadi ojek online, meski sebelumnya pernah bekerja sebagai kurir.
Begitulah kehidupan ada aja naik turunnya. Kini mereka jalani dengan penuh keikhlasan dan bersyukur masih bisa makan dengan layak.
Gendhis juga makin giat meraih beasiswa dengan belajar yang rajin dan dirinya terus berada di ranking 1 sejak masuk kelas 10 di SMA Cakrawala. Sekarang Gendhis menduduki kelas 11 dan semakin semangat memperbagus nilai-nilai rapotnya yang bisa membantu dirinya nanti mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri. Bisnis, salah satu jurusan yang paling Gendhis minati dan pastinya Gendhis ingin membanggakan kedua orang tuanya yang telah bekerja keras demi dirinya. Gendhis tidak mau membuang-buang waktunya yang tidak bermanfaaat semenjak hidupnya jatuh tersungkur ke bawah dan selama itu Gendhis terus merasa betah di perpustakaan untuk belajar saat di sekolah. Meski tanpa les, Gendhis yakin bisa mengerjakan soal sulit dan selagi ada guru pula Gendhis sering bertanya beberapa hal yang tidak dipahami..
"Gendhis, makan dulu!" Manika mengingatkan sang anak yang tengah berkutat di dalam kamar bersama buku-buku mata pelajarannya.
"Iya, Ma." Gendhis buru-buru membereskan buku-bukunya dan menyiapkan buku mata pelajaran untuk besok ke dalam tas.
Gendhis keluar dari kamarnya dan di sana sudah ada kedua orang tuanya duduk lesehan. Tahun kemarin ada tetangga mereka pindahan dan mereka mendapat beberapa perabotan rumah tangga yang masih layak digunakan yaitu dua lemari besar, televisi, satu kasur, beberapa alat masak dan beberapa baju bekas yang masih bagus. Tentu saja mereka senang mendapatkan itu semua dan menerima apa saja yang diberikan oleh orang lain. Kalau menolak pula sama saja menolak rezeki yang ada. Awalnya memang mereka malu karena pertama kalinya merasakan diberi barang bekas oleh orang lain. Namun, mereka sadar dan lebih apa adanya tentang kehidupan yang sekarang mereka jalani.
Makan malam dengan menu lele, sambel terasi dan sayur bening. Begitu menggunggah selera mereka, tetaplah masakan Manika yang terbaik menurut mereka dan tidak ada duanya. Sayangnya Manika sedang sakit-sakitan saat ini mungkin kalau tubuhnya sudah membaik keadaannya akan kembali berjualan makanan cemilan untuk anak-anak yang tinggal sekitaran sini.
"Lusa sudah libur panjang ya."
“Iya, Pa. Libur kenaikan kelas dan mau puasa juga." Gendhis membereskan alat makan yang akan dirinya cuci di luar rumah.
"Kamu gak jenuh belajar terus, Nak? Sesekali lah liburan gitu sama teman. Nongkrong atau ngapain." Karena sudah malam, Kusna menutup rapat tirai jendela samping pintu rumahnya dan memasukkan beberapa barang yang takutnya dicuri orang ke dalam rumah. Sedangkan Manika sedang duduk santai sambil menonton televisi dan memang wanita paruh baya itu tidak banyak berbicara melainkan bertindak.
"Enggak, justru aku males liburan, Pa. Enak di rumah hehe." Gendhis terkekeh pelan membuat Kusna geleng-geleng kepala melihat perubahan sikap anaknya yang sudah mulai mengerti apa pentingnya pendidikan dalam kehidupannya yang sekarang. Dulunya Gendhis seringkali merasa malas belajar dan suka main terus bersama yang teman-temannya.
"Ya sudah, terserah kamu. Papa tadi beli paketan internet juga." Kusna merogoh saku celananya lalu diberikan kartu berbentuk persegi panjang dan berukuran kecil itu kepada putrinya yang telah mencuci piring.
"Wah terima kasih, Pa. Sebenarnya mau beli besok" Manik Gendhis berbinar-binar menerima kartu paketan internet dari papanya.
"Semangat ya."
"Siap, Pa!" Gendhis mengangguk mantap.
...
"Gendhis!"
"Kemala, Lindri!" Gendhis melambaikan tangannya ke arah teman-temannya yang sedang berada di parkiran khusus mobil.
"Sini!"
"Oke!" Gendhis berlari kecil menghampiri mereka.
"Ini sekolah lo kan?"
"Iya, wah kalian jadi mau pindah di sini ya?" tanya Gendhis yang ikut senang mendengar kabar bahwa temannya akan ikut pindah di sekoah ini.
"Iya, nanti kalau sudah kelas 3 sih. Gue cuman lihat doang dan bonyok gue lagi di ruang kepala sekolah juga," jawab Lindri. Lindri dan Kemala datang ke sekolah Gendhis dengan memakai pakaian biasa bukan seragam sekolah.
"Kalian apa tidak masuk sekolah?"
"Sekolah kita libur paling duluan. Emm gak buruk juga ini sekolah meski rata-rata yang sekolah di sini sih murid kalangan bawah," balas Lindri.
"Semua sekolah sama saja, Lindri. Tidak ada bedanya kok." Gendhis mengulum senyumnya simpul.
"Iya betul tuh, Lind." Kemala mengangguk seraya menjilati permen lolipopnya.
"Iya ya deh terserah kata kalian." Lindri mengibaskan rambutnya panjangnya dan merasa gerah di siang hari ini.
"Kalian kalau capek, cari tempat yang nyaman aja buat berbincang-bincang," ujar Gendhis menawarkan tempat yang nyaman untuk teman-temannya yang ingin bersantai ria.
"Enggak ah. Lagian kita gak lama di sini."
"Oh begitu."
"Ambilin kipas angin gue deh di dalam mobil!" suruh Lindri pada Gendhis.
Gendhis mengangguk dan beranjak berdiri dari tempat duduk yang telah disediakan diparkiran tersebut. Gendhis kembali membawakan kipas angin elektronik dan diberikan kepada temannya.
Lindri mengambil kasar dari tangab Gendhis dan menggunakan kipasnya tanpa mengatakan kata terima kasih kepada temannya. Gendhis hanya diam saja sambil tersenyum kecil. Sedangkan Kemala hanya cuek saja dan fokus scroll sosmednya sendiri.
"Lo mau gak jadi babu gue?" tanya Lindri pada Gendhis yang langsung tersentak kaget mendengar ucapannya begitupula dengan Kemala.
"Lind, dia teman kita dan lo jadiin dia babu?"
"Lagian gue bayar kok, pastinya Gendhis butuh uang kan? Lumayan lah uangnya buat bisa nambahin kebutuhan keluarga lo. Gue sudah baik nawarin lo kerjaan." Lindri menghembuskan napasnya pelan dan menyeruput minuman milik Kemala.
"Iya, kayaknya gak berat juga deh. Cuman disuruh-suruh saja kan?" tanya Gendhis.
"Iyalah, sekali gue suruh lo dapat uang dan kalau kerjaan lo bagus, gue kasih dua kali lipat atau bisa juga lebih."
"Emm mau-mau." Gendhis mengangguk yang tandanya mau menjadi suruhan Lindri.
'Ini demi tambahan kebutuhan juga dan aku ingin bantu mama sama papa'---ucap Gendhis dalam hatinya.
"Kerjanya mulai gue sekolah di sini ya."
"Iya, Lind. Terima kasih tawarannya."
"Sans saja. Itu lo kayaknya dipanggil sama guru."
"Ah iya, guru bk. Aku tadi disuruh sih. Sebentar ya." Gendhis pergi meninggalkan dua temannya yang masih duduk di sini.
"Eh lo yakin mau jadiin dia babu? Waras gak lo? Dia teman kita sendiri lho." Kemala menatap tak percaya kepada Lindri.
"Iya, gue risih aja sih dia suka curhat masalah ekonomi keluarganya di grub kita. Emang lo gak risih?"
"Risih juga, apalagi sifatnya kayak bocah kecil. Enggak banget aslinya gabung sama kita tapi ya kasian juga dia."
"Sudahlah santai aja." Lindri tersebut penuh arti dan ada sesuatu yang membuatnya marah di hatinya.
...