“Guys, buruan keluar udah ditungguin Pak Gun di lapangan.”
Semua yang belum berganti seragam olahraga sontak berhamburan keluar kelas untuk mencari tempat ganti. Seperti Elisa, Bila, Kinasih, Selia, dan Wulan yang secara bersamaan masuk ke dalam salah satu bilik kamar mandi. Tidak memperdulikan tempat yang sangat sesak itu untuk berlima, mereka dengan segera berganti pakaian dan berlari kembali ke kelas untuk manaruh seragam.
Dan dengan kecepatan penuh, mereka kembali berlari menuju lapangan yang ternyata semua temannya sudah berbaris. Mereka langsung membuat barisan dan mendengar sedikit omelan Pak Gun. Untung saja tidak lama, karena mereka harus segera melakukan pemanasan. Setelah lari mengelilingi lapangan lima kali, semua murid kelas XI IPA 7 menepi ke pinggir lapangan yang sedikit teduh.
Lapangan SMA Kebangsaan memang sangat luas. Karena lapangan yang dikelilingi oleh semua kelas itu dibagi menjadi tiga lapangan. Lapangan basket, futsal, dan voli. Sehingga saat siang hari, banyak tempat teduh karena pohon yang ditanam di depan kelas. Dan mengelilingi tiga lapangan sekaligus sebanyak lima kali, tentu cukup untuk membuat mereka bermandikan keringat.
“Baik anak-anak, materi kita hari ini adalah tenis meja. Setelah ini langsung menuju lapangan tenis meja ya.”
“Baik Pak!”
“Yuk buruan, biar cepet kelar.” Ajak sang ketua kelas.
Mereka berbondong-bondong menuju sebuah ruangan tertutup yang khusus untuk bermain tenis meja. Karena kelelahan berlari lima kali, beberapa anak harus dipapah untuk menuju lapangan tenis. Sesampainya disana, mereka menghela napas lega karena merasakan dinginnya pendingin ruangan yang menyejukkan badan mereka.
“Oke, saya kira kalian sudah cukup belajar materi dari buku kalian dan sekarang kita langsung praktek.”
“Mampus gue.” Gumam Elisa sambil menepuk kenignya.
“Apaan El?” tanya Bila.
“Gue nggak bisa dan gue benci tenis meja.”
Bila yang melihat wajah pucat Elisa terkekeh pelan, lalu menunggu gilirannya maju sambil melihat bagaimana cara memainkannya dengan baik dan benar. Bila tersenyum kecil, kala mengingat bagaimana kerennya Bintang saat bermain tenis meja. Dan bertepatan saat itu juga, Surya dan Bintang memasuki ruangan.
Senyum Bila sontak melebar melihat Bintang yang sedang berjalan ke samping Pak Gun. Bintang yang melihat Bila tersenyum, melambaikan tangannya pelan untuk menyapa sang kekasih. Lalu tatapan Bila tertuju kepada Surya yang sedang memasang wajah dingin, dan menatap Elisa tajam. Bila terkekeh, melihat Surya yang memutar bola matanya jengah kala lagi-lagi harus bertemu dengan Elisa.
“Makasih ya sudah mau bantu Bapak.” Ucap Pak Gun yang dibalas Surya dan Bintang anggukan kepala sopan.
Sedangkan Elisa sama sekali tidak menyadari keberadaan Surya, ia masih fokus melihat temannya yang kesusahan melakukan teknik. Ia meringis pelan, membayangkan dirinya akan sangat malu karena tidak bisa memainkan permainan itu. Ia menelan salivanya kasar, kala melihat Bila yang sudah berada di depan dan bersiap memulai permainan. Ia terus memperhatikan Bila yang hanya salah dua kali di awal, selebihnya Bila bisa memainkan permainan itu dengan lancar dan baik.
Setelah menyelesaikan gilirannya dan merasa bangga karena bisa menunjukkan kemampuan bermainnya kepada Bintang. Bila kembali duduk di samping Elisa dengan wajah yang berbinar bahagia, berbeda dengan Elisa yang merasa amat gelisah saat itu. Elisa langsung memeluk lengan Bila, lalu berbisik. “Bil susah nggak?”
“Nggak kok, awalnya aja nanti juga bisa.”
Jawaban Bila itu, ternyata tidak bisa membuat Elisa tenang. Ia terus merasa gusar sampai tidak menyadari bahwa gilirannya telah tiba.
“El giliran lo.” Ucap Selia sambil memukul punggung Elisa.
“Duh lainnya aja dulu, gue mules nih.” Elak Elisa.
“Alasan, buruan!” ucap Kinasih dan Wulan bersamaan, lalu menarik tangan Elisa agar berdiri.
Elisa tidak bisa lagi menghindar, kini berada tepat di depan meja tenis. Tangannya terulur, memegang bet tenis yang menurutnya lebih menakutkan daripada coach Hendra. Elisa bisa semua jenis olahraga, kecuali tenis meja. Hal itulah yang membuat Elisa sangat benci kepada tenis meja, karena hanya tenis meja yang tidak bisa ia taklukkan.
“Ini megangnya gimana sih? Ah bodohlah asal bisa buat mukul bola.” Gumam Elisa.
“Ayo Elisa pukul bolanya.” Suruh Pak Gun.
“Bentar Pak, ini giman-“
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Elisa membeku kala melihat Surya yang berdiri di sebalah Pak Gun dan sedang menatapnya tajam.
“Ngapain lo disini?” tanya Elisa sambil menunjuk Surya dengan bet tenis yang berada di genggaman tangannya. Sedangkan yang ditanya, hanya mengangkat sebelah alisnya. Lalu mengerlingkan mata jengah, merasa amat muak melihat sikap Elisa yang tidak tahu sopan santun.
“Elisa!”
Bentakan Pak Gun sontak membuat Elisa terlonjak kaget, ia menggigit bibir bawahnya gugup lalu menutupi wajahnya dengan bet tenis.
“Ayo Elisa jangan membuang-buang waktu.”
Mau tidak mau, Elisa harus segera memulai permainannya. Ia meneguk salivanya kasar, mulai fokus kepada bola kecil yang berada di tangan kirinya dan melupakan tatapan tajam Surya. Dengan modal keyakinan yang besar, Elisa memukul bola kecil itu dengan sekuat tenaga. Membuat bola itu melambung jauh ke belakang Pak Gun.
“Pantulkan Elisa, jangan dibuang begitu saja.” Koreksi pak Gun.
Elisa menganggukkan kepala paham, mengambil bola yang baru dan mulai memukulnya lagi. Kali ini dengan mengurangi kekuatannya. Namun ternyata bola itu masih saja tidak mau memantul, malah hampir mengenai wajah Pak Gun.
“Elisa, kamu ini jago berantem tapi pukul bola kecil aja nggak bisa.”
“Beda lagi itu Pak urusannya,” Jawab Elisa gugup.
Ia mengambil bola terakhirnya, memandangnya dengan penuh harap agar bola itu mau bekerja sama. Ia meneguk kembali salivanya, lalu mulai memukul dengan hati-hati. Namun ternyata, hasilnya sama saja. Ia mendesah kesal, lalu memandang Pak Gun yang sedang menggelengkan kepala.
“Kamu ini kenapa? Semua teman kamu bisa mencetak poin. Kamu menservice bola saja tidak bisa.”
Elisa hanya bisa terdiam dan meringis kala mendengar ocehan Pak Gun.
“Bintang atau Surya, tolong latih Elisa sampai dia siap untuk tes minggu depan.”
Mendengar ucapan Pak Gun, semua sontak ternganga. Tidak terkecuali Surya dan Elisa. Surya membelalakkan mata, menoleh ke arah Pak Gun dengan wajah terkejut. Namun ia tidak punya hak membantah karena perintah Pak Gun adalah mutlak. Sedangkan Elisa, langsung menatap Surya dengan pandangan kemenangan. Akhirnya ia memiliki kesempatan untuk semakin dekat dengan Surya.
“Saya setuju Pak!” seru Elisa yang langsung membuat orang menatapnya heran.
“Saya mau sama Surya aja, karena Surya yang lebih jago dari Bintang. Saya janji akan berlatih dengan giat sampai bisa.” Ucap Elisa dengan senyum yang menggembang.
“Jadi lo bilang gue nggak hebat gitu?” saut Bintang tidak terima karena merasa diremehkan oleh Elisa.
Elisa mengangkat bahunya acuh, lalu menjawab. “Gue nggak bilang gitu kan, lo sendiri.”
“Sudah jangan ribut, untuk pelajaran hari ini saya akhiri sampai disini. Banyak berlatih untuk tes minggu depan agar mendapat nilai yang bagus ya.” Pesan Pak Gun lalu mengakhiri kelas.
Semua murid mulai berhamburan menuju kantin untuk menuntaskan dahaga mereka. Kecuali Bila yang langsung berlari ke arah Bintang yang merentangkan tangannya. Dan menghambur ke pelukan Bintang.
“Kamu keren banget main tenis mejanya. minder aku jadinya.” Puji Bintang.
Bila mendongak, lalu tersenyum. “Iya dong, pacar siapa.”
“Pacar Bintang Laksmana.” Jawab Bintang bangga, lalu diakhiri tawa renyah Bila dan Bintang. Kinasih, Wulan, dan Selia sontak bergidik ngeri, lalu segera menuju kantin.
Sedangkan Surya dan Elisa, hanya beradu tatap. Surya menghembuskan napas panjang, lalu berbalik hendak pergi sejauh mungkin dari Elisa. Namun kalah cepat karena Elisa sudah berada di depannya. Dengan senyum manis yang membuat Surya muak.
“Jadi, kapan kita mulai latihannya?”
“Hari sabtu.” Jawab Surya dingin, lalu melangkah hendak melanjutkan langkahnya. Namun lagi-lagi, Elisa menghalangi jalannya, membuat Surya berdecak sebal.
“Yah kok sabtu, cuma sekali dong. Gimana gue bisa?”
“Terus?” tanya Surya yang sudah mulai kesal ingin mendorong Elisa agar menjauh dari hadapannya.
“Setiap pulang sekolah.”
Surya langsung menatap tajam Elisa, dengan bola mata yang membulat sempurna ia menatap Elisa dengan tatapan kebencian. Ia mengepalkan tangan erat, mencoba untuk meredam emosinya. Meskipun dijuluki dengan pangeran es, namun Surya sangat tidak suka jika ada seseorang yang memerintah ataupun mengusik dirinya. Apalagi Elisa yang sedari awal masuk kedalam daftar hitamnya.
“Serah.”
Tidak ingin berlama-lama bersama Elisa dan memperpanjang dialog, Surya lebih memilih mengiyakan lalu langsung melenggang pergi. Ia menghembuskan napas panjang, berusaha meredam amarah yang tersulut karena Elisa. “Bisa mati muda gue kalau deket-deket cewek freak itu terus.”
“Yes, tunggu tanggal mainnya Surya!” Pakik Elisa kegirangan.
Ia melempar bet tenis yang masih ia bawa ke arah Bintang, dan tepat mengenai kepalanya. Setelah melihat ekspresi kesakitan Bintang, ia segera berlari sebelum diamuk olah Bila. Serangan Elisa yang tiba-tiba, membuat Bila menjatuhkan rahangnya.
“Aduh, gila si Elisa emang.” Ucap Bintang sambil mengusap kepalanya yang berdenyut.
“Ih kamu gapapa Bin?”
Bila berjinjit, menyentuh kepala Bintang yang menjadi korban kejahilan Elisa. Mengusapnya perlahan dengan pandangan khawatir. Jarak mereka yang begitu dekat, membuat Bintang leluasa menatap wajah cantik Bila. Bintang tersenyum, lalu mengecup kening Bila singkat. Namun tentu saja kecupan singkat itu membuat Bila mematung.
“Kamu emang selalu lucu Bel.”
Bintang menarik Bila ke dalam pelukannya. Rasa bahagia yang membuncah, langsung sirna ketika lagi-lagi Bintang menyebut nama itu. Namun Bila hanya menghela napas dan membalas pelukan Bintang. Ia masih berpegang kepada keyakinanya, bahwa suatu hari nanti Bintang pasti bisa menghapus total nama itu dari hidupnya.
-
“Assalamualaikum, kita pulang!” ucap Surya dan Bintang bersamaan saat memasuki rumah.
“Bang Laksmana!”
Seorang gadis kecil berlari menghampiri Surya dan Bintang, menyambut mereka dengan tawa mungilnya. Surya dan Bintang tersenyum senang, berjongkok lalu merentangkan tangan. Membuat Afika Kaila, adik mereka kebingungan. Namun ia memutuskan untuk berlari menghampiri Surya.
Bintang yang merasa kesal karena lagi-lagi Afika memilih Surya langsung berdiri dan mengerucutkan bibir sebal. Afika yang sudah berada digendongan Surya, terkekeh melihat wajah kesal Bintang. “Bang Intang jangan marah ya, sini Ika cium.”
“Gamau abang ngambek,” Tolak Bintang sambil melipat tangannya di depan d**a.
“Udah biarin, Ika cium abang Surya aja ya.” Ucap Surya dengan suara lembut.
Afika tersenyum senang, lalu mencium pipi Surya. Membuat sang empunya terkekeh geli. Pangeran es yang tidak tersentuh itu, ternyata memiliki sisi lain yang orang lain tidak tahu. Siapa sangka bahwa orang yang sangat dingin dan tidak peduli kepada siapapun itu ternyata amat menyayangi adik perempuannya.
“Laksmana, cepet mandi!” teriak sang Bunda.
Bintang dan Surya yang sedang menggendong Afikapun segera berjalan memasuki rumah. Bintang yang tidak terima Afika asyik bergurau dengan Surya tanpa mengajaknya, langsung mengambil Afika dari gendongan Surya dan membawanya lari kedalam kamar.
“Bang Surya tolong Ika diculik!” teriak Afika disela tawanya.
“Dek, balikin Ika!” teriak Surya sambil menyusul Bintang yang sudah masuk ke dalam kamarnya.
Setelah membersihkan diri, Bintang dan Surya bersantai dihalaman rumah dengan Afika yang asyik memberi makan ikan di kolam. Bintang selalu mengawasi Afika, tidak ingin hal buruk menimpa adik kesayangannya. Sedangkan Surya, tengah melamun memandang ikan yang berenang dengan indah.
Entah mengapa ia tiba-tiba memikirkan Elisa, gadis rusuh yang selalu membuat emosinya membuncah. Ia terus memikirkan bagaimana cara untuk menjauh dari Elisa, namun ia tidak pernah menemukan jalan untuk itu. Semua cara sudah ia coba, namun gadis perusuh itu masih saja gencar untuk mendekatinya. Dan sekarang, ia harus terjebak dengan mengajarinya bermain tenis meja.
“Surya, ini telpon kamu dari tadi bunyi.”
Panggilan sang Bunda sontak membuat Surya tersadar dari lamunannya. Ia berdiri, menghampiri sang Bunda dan mengambil ponselnya. Dahinya berkerut, kala melihat nomor yang tidak dikenal muncul dilayar ponselnya. Jika biasanya ia akan mengabaikan nomor yang tidak kenal, hari itu ia langsung mengangkatnya.
“Siapa?” tanya Surya dingin.
“Aku sayang.”
Suara itu, Surya tahu betul siapa pemilik suara itu. Suara yang selalu membuat telinganya sakit, suara yang selalu menghantuinya disetiap detik, suara Elisa. Surya terdiam, memikirkan bagaimana Elisa tahu nomornya. Sedangkan yang mempunyai nomor ponselnya hanyalah orang terdekat, tentu saja termasuk Bintang.
Pandangan Surya langsung tertuju pada Bintang yang sedang menatapnya, lalu langsung mengalihkan pandangannya kala mengetahui sang kakak sedang menatapnya tajam. Tanpa sepatah kata apapun, Surya langsung menghampiri Bintang yang sedang meminta perlindungan dari Afika.
“Dek, lo yang kasih nomor gue ke si cewek gila itu?”
“Abang Surya jangan marahin bang Intang, bang Intang tidak berdaya.” Jawab Afika mengulang ucapan yang tadi dibisikkan oleh Bintang. Sedangkan Bintang menyembunyikan wajahnya dibalik tubuh mungil Afika.
“Sini Ika sama bang Surya.”
Surya langsung mengendong Afika, membuat Bintang tidak lagi mempunyai tempat untuk berlindung. Surya menatap tajam Bintang, menunggu sang adik untuk memberikan penjelasan. Bintang hanya tersenyum seolah tidak memiliki dosa, dan berdiri hendak melarikan diri. Namun ancaman Surya, membuatnya terdiam di tempat.
“Berani lo pergi, gue dorong lo ke kolam.”
Bintang meneguk salivanya kasar, lalu menjawab pertanyaan Surya. “Ya habisnya kalau gue nggak kasih nomor lo, joni gue terancam bang.”
“Hampir aja joni gue ditendang Elisa.”
Mendengar ucapan Bintang, Surya langsung menghela napas jengah. Apalagi sedari tadi ponselnya berdering. Walaupun sudah berkali-kali ia menolak panggilan itu, ponselnya terus saja berdering. Surya berdecak, mencium pipi Afika lalu menyerahkannya kepada Bintang. Dan berjalan menjauh dari Afika, agar adik kecilnya tidak mendengar kata-kata yang tidak pantas.
“Mau apa sih ni cewek gila.”
Surya terus menolak panggilan Elisa, lalu membuka chat darinya.
Unknow
Kalau lo nggak ngangkat telpon gue.
Gue bakal terus telpon lo.
Terus gue spam sampai ponsel lo lemot.
Mau lo?
Angkat dong sayang.
Ih jahat banget sama cewek sendiri.
“Gilanya udah nggak tertolong nih cewek.”
Lagi, panggilan masuk dari Elisa membuat Surya menggeram. Mau tidak mau, ia harus mengangkat telpon Elisa agar ia tidak lagi mendapat teror.
“Mau apa lo njing?”
Surya tidak bisa lagi menahan emosinya, ia mengeluarkan kata-kata yang tidak ingin ia lontarkan untuk perempuan manapun. Namun beda halnya dengan Elisa, ia merasa ingin terus mengumpat mengenai sesuatu hal yang bersangkutan dengan Elisa.
“Mulut lo kayaknya perlu diamplas ya.” Jawab Elisa santai.
Surya hanya diam, menunggu Elisa mengatakan apa maksudnya sambil meredam emosi yang sudah membuncah.
“Oke jadi gini, besok pulang sekolah dan seterusnya sampai hari penilain. Kita latihan terus ya.”
Surya menghela napas, semakin merasa kesal karena tidak menemukan cara untuk menghindari Elisa.
“Serah. Jangan pernah telpon gue lagi!” jawab Surya lalu segera menutup telponnya.
Ia menghela napas, lalu memijat pangkal hidungnya. Ia tidak bisa membayangkan, bagaimana rasanya menghabiskan waktu dengan cewek seagresif Elisa. Ia takut akan kehilangan kendali dan melakukan hal yang tidak diinginkan. Namun ia meyakinkan dirinya sendiri, bahwa semua akan baik-baik saja. Hanya untuk satu minggu, tidak lebih.