ZAHRANA - BAB 6

1314 Kata
(P.O.V LEO) Aku begitu terkejut pihak rumah sakit menghubungiku yang mengatakan Rana kecelakan. Aku tidak menyangka dia berangkat dengan baik-baik saja di rumah, dan sekarang dia terbaring di rumah sakit karena kecelakaan. Aku bergegas menuju rumah sakit di mana istriku di rawat. Aku panik. Sungguh panik. aku panik terjadi apa-apa dengan anakku yang berada dalam kandungan Rana. Aku langsung masuk ke dalam. Aku dapati Rana sedang menangis. Ibu dan mamah mertuaku sudah berada di dalam ruangan Rana. Aku mendekati Rana yang masih menangis. “Maafkan aku, Kak. Aku tak bisa menjaga anak kita,” ucap Rana dengan suara serak. Matanya sembab dan wajahnya memerah, dengan kening di tempel perban karena ada luka. “Yang penting kamu tidak apa-apa. Allah sudah merencanakan yang terbaik buat kita, Rana. Kamu yang tabah, aku ada sisimu. Jangan seperti ini, kita harus ikhlas, ini semua sudah kehendak-Nya,” ucapku pada Rana. Padahal hatiku saat itu hancur. Anakku tidak bisa di selamatkan. Hati ku benar-benar sakit sekali melihat kenyataan ini. “Maaf, ada seseorang yang akan bertemu dengan pasien. Beliau yang menolong pasien saat kecelakaan tadi,” ucap seorang perawat yang tiba-tiba masuk ke ruangan istriku. “Iya sus, suruh dia masuk,” jawab Rana. Suster mempersilakan wanita itu masuk ke dalam ruang perawatan Rana. Wanita itu segera memasuki ruang perawatan Rana. “Asslamualaikum,” ucap wanita itu. “Wa’alaikumussalam,” jawab semua yang ada di ruangan Rana. Aku dari tadi menenangkan Rana yang masih saja menangis. Aku tidak menyalahkan Rana yang tidak hati-hati untuk menjaga calon anakku. Aku mengusap air mata Rana karena ada seseorang yang tadi menolong Rana saat kecelakaan. “Carla...” “Leo....” Ucapku bersamaan dengan Carla yang masuk ke dalam ruang perawatan Rana. Aku tidak menyangka Carla yang menolong istriku. Dia datang lagi, orang yang aku cintai kembali. Tapi, tapi keadaan? Aku sudah bersuami. Tuhan, hatiku sungguh tidak karuan melihat wanita yang datang ke ruangan Rana. Dia wanita yang aku cintai, tapi aku salah kalau masih mecintainya. aku sudah beristri. Dan, yang sedang terbaring adalah Rana, istriku. “Carla?” “Tante Lessi, iya saya Carla,” jawab Carla dengan suara bergetar. “Jadi yang tadi saya tolong?” “Hai Mbak, Aku Zahrana, istri Leo. Terima kasih, Mbak sudah menyelamatkan aku, walaupun anak kami tidak selamat,” ucap Rana dengan ramah pada Carla. Carla berjalan mendekati Zahrana. Dia bersama dua orang polisi menemui Zahrana. Carla duduk di samping Rana. Dia menanyakan keadaan Rana. Aku hanya diam melihat dua wanita itu bercengkrama. “Bagaiman keadaanmu, Zahrana?” tanya Carla. “Alhamdulillah cuma luka ringan, tapi aku tidak bisa menjaga anakku,” jawab Rana. “Sudah, yang terpenting kamu sehat, Rana. Oh iya, ini tas dan ponsel kamu.” Carla memberikan ponsel dan tas milik Rana. Aku melihat Carla yang begitu gugup dan gelisah. Demi apa aku benar-benar merindukannya. Merindukan masa-masa bersama dia. Aku mengobrol dengan kedua polosi yang mengantar Carla di luar ruangan dan menanyakan bagaimana kronologi kejadian Rana saat kecelakaan. Menurut saksi mata yaitu Carla, mobil Rana menabrak sebuah mobil yang berlawanan arah dan mobilnya terpental lalu menabrak sebuah pohon. Beruntung Caela langsung menolongnya, jika tidak mungkin nyawa Rana tidak bisa di selamatkan. Carla berpamitan dengan Rana, mamah, dan ibuku. Aku masih di luar bersama kedua polisi. Saat Carla akan pulang aku mencegahnya. Dan, aku menyuruh kedua polisi tersebut menginggalkan kami berdua. Aku mengajak Carla duduk di kursi yang berada di pojok , jauh dari ruang perawatan Rana. “Leo, aku mau pulang,” ucap Carla. “Carla, please...kamu ke mana saja?” tanyaku. “Itu bukan urusanmu, Leo. Aku mau di mana sekarang. Kamu sudah beristri. Lupakan aku, hubungan kita sudah selesai, Leo!” Carla menepis tanganku yang memegang tangannya. “Aku tidak bisa melupakan kamu, Carla. Aku mencintaimu, rasa ini masih sama, cinta ini hanya untuk kamu, Carla. Bukan untuk Rana.” Aku terus menggenggam tangan Carla meski dia lagi-lagi menepis tanganku. “Munafik! Kalau tidak mencintainya, kenapa Rana bisa hamil? Omong kosong, jika seseorang melakukan hubungan badan tidak mencintainya.” Carla berbicara begitu menohok hatiku. “Demi apapun, aku melakukan itu tidak dengan rasa cinta, Carla. Aku melakukannya karena aku suaminya. Aku berkwajiban menafkahi lahir dan batin istriku. Cinta ini hanya untukmu, Carla. Aku mohon, kembalilah bersamaku seperti dulu.” Entah apa yang ada di pikiranku, aku mengatakan seperti itu pada Carla. Tapi, ini memang kenyataannya. “Plak....!” Carla menamparku dengan keras. “Laki-laki macam apa kamu, Leo! Kamu pikir seorang wanita di perlakukan seperti itu tidak sakit?! Kamu seharusnya berpikir, jika kamu tidak mencintainya jangan sentuh dia hingga kamubenar-benar mencintainya. Kamu benar-benar membuatku kecewa, Leo!” Carla begitu marah denganku. Dia langsung pergi meninggaklanku. Namun, lagi-lagi aku mencegahnya. Kali ini aku merengkuh tubuhnya. Aku memeluknya, aku membiarkan dia menangis di pelukanku. Aku tahu, dia pun merindukanku. Aku tahu dari sorot matanya, dia sangat merindukanku. “Leo, kamu sudah beristri, jangan semakin menyisa hatiku untuk selalu ingin bersamamu. Please, biarkan aku pergi, Leo.” Carla membalas pelukanku erat. Aku membiarkannya dia bicara apa yang ingin ia bicarakan. “Aku tak akan membiarkan kamu pergi, Carla. Aku mencintaimu, tidak ada yang bisa menggantikan posisi kamu di hatiku. Jangan pergi lagi,” ucapku dengan mengusap air matanya yang sudah jatuh berderai membasahi pipinya. “Leo, kamu memiliki istri aku mohon, jangan seperti ini. Biarkan aku mencari kehidupanku sendiri tanpa kamu. Dan, biarkan aku membawa cintamu pergi Leo,” ucapnya dengan suara serak. “Tidak, aku tidak akan membiarkanmu pergi. Izinkan aku hidup bersamamu, Carla. Menikahlah denganku.” Aku tidak mengerti mengapa aku mengatakan seperti itu, mungkin ini suatu hal yang sangat bodoh aku katakan pada Carla. “Tidak, Leo. Aku tidak mau,” ucap Carla. “Jangan pergi lagi, Carla,” pintaku pada Carla. “Aku harrus pulang,” ucapnya. “Baiklah.” Aku memperbolehkan dia pulang. Akalku tak berhenti. Aku menyuruh sopirku yang ada di depan mengikuti mobil Carla. Dia sopir pribadiku dari dulu, jadi dia tahu teentang aku dan Carla. Aku meneleponnya setelah Carla pergi dan menyuruh dia mengikuti Carla. Dan, dia mengiyakan karena dia sudah melihat Carla yang masuk ke dalam mobilnya. “Tolong ikuti Carla. Cari tahu di mana dia tinggal sekarang.” Aku mengirim pesan pada Pak Setio, sopirku. “Siap, Pak!” ~Setio. Dia langsung membalasnya. Aku lega akhirnya aku bertemu dengan Carla lagi. Aku yakin dia masih mencintaiku, dan aku tahu dai bimbang dengan ajakanku soal menikah denganku. Aku kembali masuk ke ruang perawatan Rana. Semua melihat aku dengan penuh tanda tanya. “Leo, kamu lama sekali, dari mana?” tanya ibuku. “Dari ngobrol dengan polisi. Menanyakan kronologi kejadian kecelakaaanya Rana, Bu,” jawabku. “Carla sudah pulang?” tanya ibuku dengan nada sinis dan tidak suka. “Sudah dari tadi,” jawabku dengan berbohong pada ibuku. Maafkan aku, Ya Allah, aku membohongi ibuku. Dan, baru kali ini aku membohongi orang yang paling aku sayangi. “Nak, mamah pulang, ya? Nanti ke sini lagi sama kakakmu dan papah. Opa dan pakdemu juga ingin menjengukmu,” pamit mamah Shita. “Iya, mah. Kan aku ada Kak Leo,” jawab Rana. “Iya, mamah pulang dulu saja, Rana biar bersama aku, ibu juga mau pulang, kan?” ucapku. “Iya, ibu mau pulang,” jawabnya dengan nada yang masih kesal denganku. “Ya sudah, mamamh titip Rana, ya? Mamah pamit pulang, cepat sembuh sayang. Sudah jangan di bawa menangis terus. Nanti kalau kamu sudah sehat lagi, pasti Allah memberi rezeki seorang anak lagi, Nak.” Mamah Shita terus memberi smangat pada istriku. Semua menyayangi Rana. Tapi, tak ada satu pun yang mengerti hati ini. ^^^ Mamah dan ibu sudah meninggalkan kami. Hanya aku dan Rana di dalam ruangan perawatan. Aku memandangi Rana yang daritadi hanya diam. Aku tahu sebenarnya dai ingin bertanya soal Carla. Tapi, dia masih membisu. Mungkin dia sedang menenangkan hatinya. “Itu Carla kekasih, Kak Leo?” tanya Rana. “I-Iya Rana,” jawabku dengan lirih dan gugup. Rana terdiam lagi. Raut wajanya kini berubah menjadi sendu. Aku tahu, dia sedikit cemburu atau mungkin marah. “Kamu tadi menemuinya?” tanya Rana lagi. “Iya,” jawabku dengan lirih. Rana membuang napasnya dengan kasar. Aku tahu dia marah. Dan, memang tak seharusnya aku mengatakan hal seperti tadi pada Carla. Rana merebahkan tubuhnya. Dia sama sekali tidak memandangku, dan tidak bicara lagi. Hampir 30 menit aku dan Rana saling diam tanpa bicara. Pramusaji mengantar makanan untuk Rana. Aku menerimanya. Kali ini aku yang membuka percakapan, membujuk Rana untuk makan. “Rana, makan dulu, ya?” Aku mengambilkan bubur dan sayur untuk Rana. “Aku belum lapar, Kak,” jawab Rana. “Kamu harus makan, karena habis ini kamu harus minum obat, Rana,” ucapku dengan membujuk Rana. “Kemarikan buburnya aku mau makan sendiri,” pinta Rana. Aku dekatkan meja untuk makan, aku membiarkan Rana memakan sendiri buburnya, hatiku masih berpihak pada Carla hingga aku tak menghiraukan Rana yang tangannya sakit dan kesusahan untuk makan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN