BAB 3

1779 Kata
Author Pov. Hazanah terbangun, karena mendengar suara Adzan berkumandang, yang berasal dari mesjid dekat kompleks rumahnya, Hazanah mengucek matanya dan melihat jam di atas nakas, subuh telah menunjukkan hampir pukul 5 pagi, Hazanah beranjak dari pembaringannya dan melihat sang suami masih terlelap, Hazanah lalu berjalan menghampiri ranjang dan duduk di tepian. "Mas, bangun, Mas! Mas, bangun," kata Hazanah dengan mengelus bahu sang suami, "Mas, kita salat Subuh dulu, yuk," "Apaan sih?" Rafiz menghempaskan tangan Hazanah dan kembali terlelap. "Sudah subuh, Mas, waktunya salat." kata Hazanah yang tidak menyerah membangunkan sang suami, "Mas, ayo bangun, setelah wudhu kamu pasti akan segar." Rafiz dengan kesal membuka pejaman matanya, menatap wajah sang istri dengan tatapan segelap malam, Hazanah berusaha tak bergeming. "Kalau mau salat, silahkan salat sendiri, siapa kamu beraninya membangunkanku? Kamu hanya istri di atas kertas, jadi tidak usah mengurusi hidupku." bentak Rafiz penuh penekanan. "Gak baik, Mas, tidur di saat suara Adzan berkumandang, saatnya untuk berlomba-lomba mengambil air wudhu, bukan berlomba-lomba untuk makin terlelap." kata Hazanah, tak menyerah, meski jawaban yang akan ia dapatkan hanya akan menyakitinya. "Wahh, kamu sudah kehilangan kendali, ya," "Aku hanya−" "AKU BILANG JANGAN MENGGANGGUKU, BERARTI JANGAN MENGGANGGUKU, KAMU TIDAK NGERTI BAHASA INDONESIA, HA!" bentak Rafiz, membuat Hazanah menelan ludah dan beranjak dari duduknya. Hazanah menyerah untuk saat ini dan bejalan ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. "Ya Allah ... tabahkan hatiku, segitu bencinya kah kamu, Mas, sama aku?" batin Hazanah. "Jangan menangis, Anah, please jangan menangis, kamu harus kuat, tugasmu sebagai istri bukan hanya menyuruh suamimu sholat, masih banyak tugas yang menantimu." gumam Hazanah, pada dirinya sendiri. Hazanah mengambil air wudhu dengan wajah yang tenang, seperti tidak terjadi apa-apa. Rafiz memijat pelipis matanya mendengkus kesal. "Kenapa Mama menyuruhku menikahi wanita merepotkan itu? Membuatku stress setiap hari jika berhadapan dengannya." gumam Rafiz, kesal. Hazanah keluar dari kamar mandi dan melihat Rafiz melanjutkan lelapnya, Hazanah menghela nafas panjang. Beberapa menit kemudian setelah menunaikan ibadah salat subuh, Hazanah langsung keluar dari kamarnya, lalu berjalan menuju dapur, Hazanah sudah terbiasa menyiapkan sarapan untuk anggota keluarganya, setelah salat Subuh, Hazanah sudah tidak tidur lagi dan lebih memilih menyiapkan sarapan. Hazanah mengiris beberapa bahan untuk bahan nasi goreng, karena seperti yang Yuna katakana padanya, Rafiz suka dengan nasi goreng, Hazanah tersenyum, berusaha melupakan luka hatinya. "Anah?" Dewi melihat dengan samar seseorang berada di dapur. "Iya, Bu, ini aku," jawab Hazanah. "Pagi sekali, Anah, jika memasak jam begini." ujar Dewi. "Aku sudah tidak bisa tidur, Bu, jadi lebih baik menyiapkan sarapan. Ibu membutuhkan sesuatu?" "Ibu haus." "Ibu tidak salat?" tanya Hazanah. "Tidak, Anah!" "Tapi, Bu, kenapa?" "Ibu−" "Bu, wajib buat kita umat muslim untuk menunaikan salat 5 waktu. Ibu, kan, sudah bangun, kenapa ga sekalian salat? Hanya 2 rakaat kok, Bu. Kita semua pasti tahu bahwa shalat adalah perkara yang amat penting. Bahkan shalat termasuk salah satu rukun Islam yang utama yang bisa membuat bangunan Islam tegak, Bu. Aku akui, realita yang ada di tengah umat ini sungguh sangat berbeda. Kalau kita melirik sekeliling kita, ada saja orang yang dalam KTP-nya mengaku Islam, namun biasa meninggalkan rukun Islam yang satu ini. Mungkin di antara mereka, ada yang hanya melaksanakan shalat sekali sehari, itu pun kalau ingat. Mungkin ada pula yang hanya melaksanakan shalat sekali dalam seminggu yaitu shalat Jum’at. Yang lebih parah lagi, tidak sedikit yang hanya ingat dan melaksanakan shalat dalam setahun dua kali yaitu ketika Idul Fithri dan Idul Adha saja. Aku mengajarkan hal ini kepada Ibu, agar kita lebih taat lagi menjalani ajaran Islam, Bu, karena aku dan Ibu kan Islam." ujar Hazanah menasehati sang Ibu.   "Tapi, Nak, Ibu sedang tidak mood." "Salat itu bukan perkara mood, Bu, tapi perkara pentingnya untuk kita." ujar Hazanah, mengelus bahu sang Ibu. "Baiklah, Ibu minum dulu." ujar Dewi. "Iya, Bu, biar aku ambilkan." Setelah mendapatkan air minum, Dewi berjalan meninggalkan Hazanah yang masih tersenyum melihatnya membelakang. Sepeninggalan sang Ibu, Hazanah kembali mengerjakan tugasnya. Hari sudah terang, saatnya Hazanah menyiapkan keperluan kantor untuk sang suami, berhubung sarapan sudah ia tata rapi di atas meja. Hazanah membuka knop pintu, melihat suami yang masih terlelap, Hazanah menghela nafas dan menghampiri suaminya untuk membangunkannya. "Mas, Bangun! Sudah pagi, Mas, kamu harus masuk kerja, ‘kan?" tanya Hazanah dengan suara yang begitu lembut. "Jangan mengangguku." ujar Rafiz, serak. "Baiklah, Mas, aku akan menyiapkan perlengkapan kantormu." ujar Hazanah, lalu beranjak dari duduknya dengan helaan nafas, jika saja ia mau, Hazanah ingin sekali tak menganggu Rafiz dengan membuat keributan setiap pagi, tapi ini adalah tugas sang istri yang baik. Setelah bangun tidur, Rafiz melihat setelan kantor yang sudah sangat rapi yang di seterika dengan licin oleh Hazanah, Rafiz mengangkat sebelah alisnya, lalu beranjak dari pembaringannya. Hazanah menyapu seluruh lantai rumah, sesekali ia menyeka keringat kecil yang muncul di bagian dahinya, beginilah Hazanah, ia yang mengerjakan seluruh pekerjaan rumah karena sang Ibu sudah tidak bisa bekerja seperti dulu lagi. Getar ponsel menyadarkannya, Hazanah menjeda pekerjaannya sejenak, berjalan menghampiri nakas. Rani memanggil.... "Assalamualaikum, Ran!" "Waalaikumssalam, Bu, ini Rani!" "Iya, teruskan, ada apa?" "Stok syarii yang ada di toko Adiba Jakarta sudah menipis, Bu, Adiba menyuruh saya memesan 50 stok untuk jamaah majelis ta'alim, bagaimana, Bu?"   "Itu rejeki, Ran, Adiba minta kapan selesainya!?" "Secepatnya sebelum Ramadhan." "Baiklah, saya akan menghubungi Adiba untuk lebih jelasnya." kata Hazanah. Rezeki memang tak akan kemana. Allah sudah menunjukkan jalan untuknya dan usahanya. Usaha yang setahun ini tidak pernah maju dan hanya memiliki langganan sedikit. "Iya, Bu, saya akan melanjutkan jahitan saya, Assalamualaikum, Bu!" "Waalaikumssalam," "Ada apa, Anah?" tanya Dewi, yang sejak tadi melihat wajah sumringah Hazanah. "Bu, Alhamdulillah, rezeki memang tidak akan pernah tertukar." ujar Hazanah memeluk Ibu yang merupakan Ibu sambungnya. "Ada apa, Nak?" Hazanah melepas pelukannya pada sang Ibu dan menatap sang Ibu dengan wajah yang yang dipenuhi dengan senyum, "Adiba mempercayakanku mendesign setelan syarii untuk para jamaah majelis taalim di Jakarta, Bu!" ujar Hazanah. "Alhamdulillah, syukurlah, Nak, jika usahamu bisa sampai di Jakarta." ujar sang Ibu. "Iya, Bu, itulah yang membuatku bangga, Bu!" kagum Hazanah. "Sarapan sudah siap?" tanya sang suami. Hazanah berbalik dan melihat sang suami sedang berdiri tegak, terlihat makin tampan dengan setelan kantor yang di kenakannya, meskipun Hazanah sedikit kecewa karena setelan yang sudah di siapkannya tidak di pakai Rafiz. Hazanah, Rafiz dan Ibu Dewi duduk dan menghadap meja makan, menikmati sarapan yang sudah di tata rapi oleh Hazanah, sesekali Hazanah menoleh melihat Rafiz yang kini tengah  menikmati sarapannya. "Aku akan kembali ke Jakarta, karena pekerjaan di sini akan selesai hari ini." kata Rafiz membuat Hazanah dan sang Ibu mertua menatapnya. "Baiklah, Nak, Ibumu memang mengatakan seperti itu, kamu bisa kembali dan membawa Hazanah bersamamu." ujar Ibu Dewi. "Tapi, Bu … bagaimana dengan Ibu?" "Ibu gak apa-apa di sini, kamu harus ikut suamimu, jangan sampai tidak." ujar sang Ibu. "Jika, Hazanah tidak ingin ikut, saya tidak apa-apa, Bu!" kata Rafiz, yang memang tak mengharapkan hal itu. "Dia pasti ikut, gunanya pernikahan ya seperti ini, di manapun suami pergi, istri harus ada di sampingnya." sambung Ibu mertuanya. "Tapi, jika aku meninggalkan Ibu, bagaimana−" "Bagaimana apanya, Nak? Ibu sungguh tidak apa-apa, Ibu belum terlalu tua, masih bisa bekerja di dalam rumah, kamu saja yang selama ini terlalu memanjakan Ibu selama ini." ujar Ibu Dewi. Hazanah menundukkan kepala, bagaimana ia bisa meninggalkan ibunya sendirian, di saat sang Ayah menitipkan sang Ibu sambungnya untuk di jaga dan di rawat. **** Hazanah menghadiri pengajian di mesjid kompleks rumahnya, banyak ibu-ibu yang berbondong-bondong menghadiri acara pengajian yang di laksanakan semingggu sekali di hari Jumat, Hazanah sering kali memberikan ceramah kepada Ibu-ibu menggantikan Ibu Ustadzah. "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, selamat sore Ibu-ibu." ucap Hazanah. "Waalaikumssalam warahmatullahi wabarakatu, selamat sore, Neng Hazanah!" sahut ibu-ibu pengajian. "Apakah ibu-ibu mengingat pembahasan minggu lalu yang telah saya bahas? Tentang apakah orang yang meninggalkan shalat bisa kafir alias bukan muslim?" ujar Hazanah. "Ingat, Neng!" jawab Ibu-ibu secara bersamaan. Hazanah adalah yang termuda dari semua Ibu-ibu pengajian di sini. "Dalam point sebelumnya telah saya jelaskan, saya pernah membaca salah satu buku ulama yang banyak mengajarkan saya tentang kewajiban kita, para ulama bersepakat bahwa meninggalkan shalat termasuk dosa besar bahkan lebih besar dari dosa berzina dan mencuri. Mereka tidak berselisih pendapat dalam masalah ini. Namun, yang menjadi masalah selanjutnya, apakah orang yang meninggalkan shalat masih muslim ataukah telah kafir?" ujar Hazanah. "Asy Syaukani -rahimahullah- mengatakan bahwa tidak ada beda pendapat di antara kaum muslimin tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya. Namun apabila meninggalkan shalat karena malas dan tetap meyakini shalat lima waktu itu wajib -sebagaimana kondisi sebagian besar kaum muslimin saat ini-, maka dalam hal ini ada perbedaan pendapat mengenai meninggalkan shalat karena malas-malasan dan tetap meyakini shalat itu wajib, ada tiga pendapat di antara para ulama mengenai hal ini. "Pendapat pertama mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat harus dibunuh karena dianggap telah murtad atau keluar dari Islam. Pendapat ini adalah pendapat Imam Ahmad, Sa’id bin Jubair!" tutur Hazanah menjelaskan. "Pendapat kedua mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat dibunuh dengan hukuman had, namun tidak dihukumi kafir. Inilah pendapat Malik, Syafi’i, dan salah salah satu pendapat Imam Ahmad!" "Dan, Pendapat ketiga mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat karena malas-malasan adalah fasiq (telah berbuat dosa besar) dan dia harus dipenjara sampai dia mau menunaikan shalat. Inilah pendapat Hanafiyyah!" tutur Hazanah dengan penjelasan yang begitu jelas, semua ibu-ibu pengajian mendengarkan dengan seksama. "Jadi Ibu-ibu, intinya ada perbedaan pendapat dalam masalah ini di antara para ulama termasuk pula ulama madzhab. Bagaimana hukum meninggalkan shalat menurut Alquran dan As Sunnah? Banyak ayat yang membicarakan hal ini dalam Alquran, namun yang akan saya bawakan adalah satu ayat saja. Allah Ta’ala berfirman, فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui al ghoyya, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.” (QS. Maryam : 59-60) Dalam ayat ini, Allah menjadikan tempat ini –yaitu sungai di Jahannam- sebagai tempat bagi orang yang menyiakan shalat dan mengikuti s*****t (hawa nafsu). Seandainya orang yang meninggalkan shalat adalah orang yang hanya bermaksiat biasa, tentu dia akan berada di neraka paling atas, sebagaimana tempat orang muslim yang berdosa. Tempat ini (ghoyya) yang merupakan bagian neraka paling bawah, bukanlah tempat orang muslim, namun tempat orang-orang kafir. "Apa sekarang Ibu-ibu paham tentang apa yang sudah saya jelaskan?" tanya Hazanah kepada ibu-ibu pengajian. "Kami mengerti, Neng Hazanah, dalam ajaran islam shalat memang sangat wajib." sahut Ibu Wanda. "Bagus, Hazanah, kamu memang pintar dan pengetahuanmu begitu luas." bisik Ustadzah. "Baiklah, Ibu-ibu, kita akhiri pertemuan kita hari ini, sampai ketemu jumat nanti." ujar Ustadzah.   BERSAMBUNG. . . Jika kalian suka jalan ceritanya jangan lupa tekan like / love ya, karena dari love / like kalian, saya bisa berkarya dan memberikan cerita-cerita yang lebih baik lagi. Salam cintaku. Irhen Dirga
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN