30. Seperti Kabut

2610 Kata
Dion tiba di rumahnya dengan rasa letih yang menguasai badan dan pikiran. Tatapannya sayu. Suasana rumah sudah sunyi dan gelap. Dion beranjak mengintip kamar sang papa. Ternyata Ridwan sudah terlelap. Dion mendekat perlahan. Masih dengan sepatu futsal melekat di kakinya. Dion menatap wajah sang papa yang terlelap itu, kemudian tersenyum. Ia menarik selimut, kemudian menyelimuti Ridwan dengan baik. Setelahnya tatapan Dion beralih pada sebuah figura yang berada di meja nakas tepat di samping tempat tidur. Figura itu menampilkan potret sosok wanita dengan gaun putih dan gaya rambut mengembang khas tahun 90-an. Ya, itu adalah potret almarhumah ibunda Dion sewaktu masih muda dulu. Cantik sekali. Dion mengambil figura itu sebentar dan menatapnya. Rasa damai langsung menelusup ke dalam hati. Menghilangkan sedikit gundah dan mendatangkan rasa tenang. Dion sangat menyayangi ibunya. Sangat-sangat mencintai sosok ibunya itu, meskipun sekarang mereka sudah terpisahkan oleh sebuah perpisahan paling menyedihkan bagi manusia, yaitu kematian. Alam mereka sudah berbeda, tapi cinta Dion kepada ibundanya tak berkurang sedikit pun. Tatapan Dion kemudian beralih pada Ridwan yang saat ini sedikit mengeluarkan suara dengkuran. Tiba-tiba ada sebuah kecemasan lain yang menganggu. Dion meneguk ludah. Masih menatap wajah papanya itu lekat-lekat. “Papa masih mencintai mama, kan? papa tidak akan mencari pengganti mama, kan?” tanya Dion dengan suara lirih. Sunyi. Ridwan yang terlelap tentu tidak menjawab pertanyaan itu. Seketika ketakutan itu kembali datang. Dion takut jika sang papa menikah lagi. Terdengar egois memang, tapi Dion tidak ingin memiliki ibu tiri. Dia juga tidak mau keberadaam almarhumah ibundanya tergantikan. Perasaan yang sejatinya wajar dimiliki oleh seorang anak. Dalam hatinya Dion selalu berharap bahwa rasa cinta Ridwan kepada sang mama juga sama besarnya, hingga dia tidak akan menggantikan istrinya itu dengan wanita lain. Dion kemudian berajak keluar setelah termenung cukup lama. Dia masuk ke kamarnya dan langsung merebahkan diri di atas ranjang. Dion melakukan sesuatu yang bukan ‘dirinya’. Dia adalah pecinta kebersihan. Dia tidak akan pernah berbaring dengan tubuh kotor apalagi dengan tumpukan bekas keringat seperti saat ini. Dion akan memastikan tubuhnya bersih terlebih dahulu sebelum ia tidur. Namun hari ini teramat lelah. Penat itu terasa sangat menyiksa fisik dan juga pikiran. Suara embusan napasnya terdengar jelas di kamar yang temaram. Hanya ada secercah cahaya dari luar yang masuk menerobos melalui celah pintu yang sedikit terbuka. Dion terlena dalam rasa kecewa. Untuk sekedar menyalakan lampu saja dia merasa tidak memiliki tenaga. Matanya menerawang menatap langit-langit yang hitam tanpa cahaya. Ingatan melayang memikirkan sosok Lani. Dan kemudian... ingatan masa lalu itu pun menariknya untuk kembali bermain bersama. Membawa Dion untuk kembali mengingat cuplikan masa silam yang sekarang ini hanya menyisakan luka. ** “HEH GENDUUUT...!” Panggilan itu membuat Dion mendongak. Dion sedang menyuap jajanan telur gulung ke mulutnya. “Terlihat seorang gadis berambut pendek berlari mendekat. Gadis yang mengenakan seragam SMP yang sama seperti Dion kenakan. “Aku pengen nyontek PR matematika dong!” pinta perempuan itu. Dion mendengkus kesal. “Setelah manggil gendut, kamu malah mau pinjem PR aku?” Dia tertawa. “Hahahahaha. Kan, emang kamu gendut.” “Aku udah nggak gendut! Berat badan aku udah turun dua puluh kilogram,” tegas Dion. Dia mengangguk-angguk. “Iya-iya. Jangan bawel deh. Ayo liatin PR-nya. Mumpung waktu istirahatnya masih lama.” Dion menatap sebal. Dia tahu alasannya kenapa hari ini Lani tidak menyelesaikan PR-nya. Itu karena semalam Lani mengabarkan bahwa dia pergi menonton bioskop bersama anak majikan ibunya. “Kita udah kelas tiga, Lan! Tapi kamu malah asyik pacar-pacaran. Nanti kalau kamu nggak lulus baru tau rasa,” omel Dion. Omelan yang bernadakan kepedulian, tapi lebih cenderung menunjukkan rasa cemburu. “Bawel amat sih kamu.” Lani langsung mengalungkan tangannya ke leher Dion dan membawa Dion masuk kembali ke dalam kelas. Dion sebenarnya tidak mau mencontekkan pekerjaan rumahnya. Tapi dia juga tidak mau melihat Lani dihukum oleh Bu Sara nanti. Akhirnya Lani menyalin PR itu dengan terburu-buru. Dion pun duduk di hadapan Lani dan menatapnya lekat-lekat. Semakin hari Lani semakin cantik saja. Lani menjadi lebih perhatian pada penampilannya. Sejak kapan rambutnya terlihat lembut seperti itu? sejak kapan bulu matanya menjadi lebih lentik? Bibirnya bahkan tampak pink mengkilat. Aroma parfumnya tercium wangi menusuk hidung. Dion bisa mencium aromanya dengan jelas. Dan Dion kesal melihat itu semua. “Sini bukunya! Jangan nyontek!” pekik Dion. Lani melotot kaget. “Heh. Bisa-bisanya kamu pelit sama aku!” Lani merebutnya kembali. mengayunkan tinjunya seperti hendak memukul kepala Dion. Dion pun menggerutu, tapi Lani tidak peduli. Dia kembali fokus menyalin PR itu. “Karena pacaran kamu malah lupa bikin PR,” tukas Dion. Lani menyeringai. “Kamu nggak tahu sih rasanya... pacaran itu menyenangkan.” Deg. Dion semakin merasa panas. “Cih. Emangnya dia secakep apa sih sampai kamu tergila-gila sama dia?” tanya Dion. “Yang pasti dia lebih cakep dari kamu.” Jawaban yang sungguh menyakitkan hati Dion. Meskipun Lani berkata demikian pun hanya sebatas jawaban asal. Dia bercanda. “Oh iya. Aku udah resmi jadian sama dia malam tadi. Dia udah nembak aku.” Lani mulai bercerita di sela-sela aktivitasnya menulis. Dion tertegun. Tapi kemudian dia dengan cepat mengatur mimik wajahnya kembali. “Terus kenapa kamu masih hidup. katanya ditembak?” “Bukan ditembak pake pistol dodol!” bentak Lani. Dion tidak ingin menanggapi kisah bahagia itu. Tapi kemudian Lani malah asyik bercerita. Dia sedang membangga-banggakan sosok pacar barunya. Lani menceritakan betapa menyenangkan tinggal di lingkungan yang sama dengan sang kekasih. Mereka kerap mencuri-curi waktu untuk bertemu. “Kadang aku dan dia ketemu diam-diam juga di malam hari,” cerita Lani. Dion melotot. “Itu bahaya, Lan!” Lani malah tertawa. “Bahaya apaan sih? kamu itu kolot banget deh.” Dion masih tidak percaya bahwa Lani malah menganggapnya kolot. “Bagaimana pun juga bertemu malam-malam itu berbahaya. Kamu harus tau batasannya.” Dion mengingatkan. Lani menghela napas gusar. Meletakkan penanya sebentar, lalu menatap Dion. “Emangnya kamu udah pernah pacaran?” Dion terdiam. “Belum pernah kan? jadi jangan sok-sok nasehatin aku deh. Dasar gendut. Nih bukunya! Udah selesai.” Lani segera bangun dari kursi itu dan beranjak ke bangkunya sendiri. “Oh iya. Nanti dia juga bakalan jemput aku pulang sekolah.” Lani tersenyum senang dan kemudian melenggang pergi. Dion termangu. Bersama rasa cemburu yang membelit hati. Hari itu dia sama sekali tidak bisa berkonsentrasi lagi mengikuti pelajaran. Hingga akhirnya jam sekolah usai, Dion pun langsung mengendap-endap untuk mengintip Lani. Dia ingin tahu sosok pacar Lani yang sudah mengubah sahabatnya itu. Sosok yang sudah merebut Lani dari kehidupan Dion. Dion pun bersembunyi di balik sebuah tiang dekat pos satpam. Di depan sana terlihat Lani menunggu sembari sedikit memoleskan bedak ke wajahnya. Pemandangan yang membuatnya kembali jengkel. “Kenapa dia jadi centil sekali?” Dion meniup napas gusar. Tak lama kemudian sebuah motor bebek yang tampak mengkilat berhenti di hadapan Dina. Detak jantung Dion pun semakin berpacu. Dia berusaha keras untuk bisa melihat. Matanya membesar ketika lelaki itu melepas helmnya. Dan itulah moment pertama Dion melihat Bagas. Setelahnya Dion tidak pernah bertatap muka dengan Bagas. Tapi dia mengetahui semua tentang Bagas dari Lani. Dion sesekali juga melihat akun media sosial milik lelaki itu. Lama kelamaan Lani pun semakin asyik dengan aktivitas barunya. Dia sudah memiliki pacar dan tidak mempunyai waktu lagi untuk bermain bersama Dion. Waktu pun berlalu. Dion akhirnya memutuskan untuk menjaga jarak demi melindungi hatinya sendiri. Dia tidak mau lagi mendengarkan segala cerita indah antara Lani dan Bagas. Dia tidak ingin lagi ikut campur. Dion mencoa mengobati luka patah hatinya dalam kesendirian. Dia juga berolahraga lebih giat untuk menghancurkan sisa-sisa lemak di tubuhnya. Satu-satunya motivasi Dion menurunkan berat badan selama ini adalah karena dia ingin terlihat menarik di mata Lani. Tapi belum juga upayanya itu ebrhasil, ternyata Lani sudah jatuh hati kepada lelaki lain. Pahit sekali memang. Cinta pertama Dion berakhir tragis. Bak bunga yang layu sebelum sempat mengembang. Dan hari-hari terus berlalu. Dion kemudian mulai terbiasa tanpa kehadiran Lani dalam hidupnya. Dion menekuni hobinya bermain sepak bola dan juga fokus pada pelajaran di sekolah. Di satu sisi, kesehatan sang mama juga kian memburuk. Membuat Dion lebih fokus pada ibunya itu. Dion mengurangi waktu bermain di luar dan memilih untuk bersama sang mama di rumah. Tapi suatu ketika... Lani mendatanginya. Dion masih ingat jelas kejadiannya. Malam itu hujan cukup deras. Dion keluar dari rumahnya karena mendengar seekor anak kucing yang meraung-raung di depan gerbang rumahnya. Berbekal sebuah payung yang sedikit penyok, Dion pun bergegas untuk menyelamatkan anak kucing itu. Dia menemukan seekor anak kucing berwarna abu-abu yang sudah basah kuyup dan terus memekik nyaring sekali. Dia kedinginan, ketakutan dan mungkin juga kelaparan. Dion segera menggendongnya untuk dibawa ke dalam rumah. Tapi ketika ia berbalik, alangkah terkejutnya Dion melihat Lani yang sudah berdiri di belakangnya. Deg. “LANI...!” Dion tersentak hingga ia terduduk ke jalanan yang basah. “Aduh... celana aku jadi basah!” “Kamu kenapa ada di si—“ pertanyaan Dion terhenti saat ia melihat kedua kaki Lani yang berkubang tanah. Dia tidak mengenakan alas kaki. Dion meneguk ludah, kemudian perlahan menatap Lani yang berdiri di bawah hujan. Meski terlihat kurang jelas, tapi Dion tahu bahwa gadis itu sedang menangis. Dion kemudian bangun berdiri. Maju mendekat dan memayungi Lani di hadapannya. Hujan sekarang tidak lagi membasahi wajah Lani dan saat itulah Dion bisa melihat dengan jelas air mata yang mengalir pelan di kedua pipi itu. “A-ada apa? kenapa kamu menangis?” tanya Dion. Mendapati pertanyaan seperti itu, bibir Lani langsng berkedut. Di detik berikutnya dia langsung menjatuhkan diri ke dalam pelukan Dion. Dion sontak terkejut. Anak kucing di pangkuannya pun terlepas dan berlari pergi. Payung yang tadi digenggam erat juga jatuh begitu saja. Membuat hujan kini membasahi mereka berdua. Dan Lani kini terisak dalam dekaman Dion. Lama. Sangat lama sekali Lani menangis dalam dekapannya. Di bawah hujan yang terus saja menerpa. Hingga kemudian Dion mendorong kedua pundak Lani perlahan. Ia melihat Lani yang masih menangis dan menatap cemas. “Ada apa, Lan? Apa yang terjadi?” tanya Dion. Lani masih tersedu-sedu. Kesulitan untuk menghentikan tangisnya sendiri. Dan setelah ia merasa sedikit tenang, barulah Lani menatap Dion dan memberikan jawabannya. “Aku hamil....” ** Bayangan cerita masa lalu itu membuat Dion menghela napas sesak. Terasa ada beban yang langsung menghimpit dadanya. Ia segera bangun dan menyalakan lampu kamar. Suasana yang terang kemudian menampilkan wajahnya yang kini terengah-engah. Dion bahkan sampai berkeringat padahal AC di kamarnya sudah menyala. Lelaki itu terhuyung, lalu terduduk di tepi ranjang. Seketika ingatan tentang Lani terasa sangat menyiksa. Semua kejadian itu terasa baru saja terjadi kemarin. Dion tertegun. Masih dengan suara napas sesak dan juga lelehen peluh di wajahnya. Hingga kemudian pikirannya beralih pada Dina. Apa mungkin nanti Dina bernasib sama seperti Lani? Pertanyaan itu membuat Dion meneguk ludah. Tapi semua jelas sangat berbeda. Lani adalah sahabat sekaligus orang yang ia sukai. Tidak dengan Dina. Perempuan jutek itu bahkan selalu berusaha menghindari Dion. Jadi untuk apa dia peduli? Dion mengingatkan dirinya untuk tidak lagi memikirkan segala sesuatu tentang Dina. Tapi beberapa menit kemudian dia malah memeriksa handphone-nya. Membuka second akun instagramnya yang bernamakan ‘Pemuja Rahasia’ dan ternyata Dina belum juga mengkonfirmasi permintaan Dion untuk mengikutinya. “Apa dia memang tidak aktif di sosial media?” desis Dion. Dion kemudian kembali pada kenyataan. Ia bangun dan melihat sprei warna putih yang sudah ternoda karena peluh yang tadi melekat di lehernya. Mau tak mau Dion harus menggantinya. Dia langsung sibuk membersihkan kekacauan itu. mengganti sprei dan sarung bantal dengan alas dan sarung yang baru, lalu kemudian juga beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Sementara itu di tempat lain... Dina sedang duduk termangu di atas sofa seraya menikmati secangkir kopi saset seribuan andalannya. Tapi sekarang rasa kopi itu tak lagi nikmat di lidah. Ada perasaan yang kini mengganggu. Mengusik jiwanya yang tenang. Kenapa sosok Dion terus saja berkeliaran di sekitarnya? Sebenarnya apa yang diinginkan lelaki itu? Apa mungkin Dion menyukainya? Dina langsung menepuk jidatnya sendiri. Karena sadar bahwa dugaannya itu terlalu mengada-ada. “Kamu mikirin apa, sih. Din?” bisiknya. Dina beralih memeriksa handphone-nya. Tidak ada notif sama sekali. Bagas masih merajuk dan tidak menghubunginya. Namun ada yang aneh. Tidak ada satu notifikasi pun. Dan dia mendesah saat menemukan jawabannya. Kuota internet Dina ternyata sudah habis. Dia menenggelamkan kepala di antara dua lutut. Uang sakunya yang sangat sedikit membuatnya tidak bisa membeli paket internet. Dina merasa kesal kembali. Teringat bagaimana sang mama sudah merebut uang saku darinya. Suara deru mobil yang terdengar memasuki halaman membuat Dina terperanjat. Sorot cahaya dari lampu mobil yang sudah berhenti juga menembus kaca dan tirai di depan sana. Mereka kembali. Dina pun langsung menghambur masuk ke dalam kamarnya. Dia tidak ingin bertemu dengan mereka. Tak ingin sekedar menyapa mereka. Dina segera menutup pintu kamarnya dan menguncinya. Tepat bersamaan dengan itu terdengar suara pintu terbuka di luar sana. Suara tawa si kecil Varrel mulai terdengar. Bunyi tapak kaki mungil yang menapaki lantai kayu pun juga tertangkap oleh telinga. Dina tersenyum pelan. Rasanya sudah lama juga dia tidak mendengar dan tidak melihat wajah bocah yang sangat menjengkelkan itu. Sebenarnya Varrel adalah anak yang baik. Tapi karena mama Dina sangat memanjakannya, membuat Varrel jadi bertingkah. Terlebih sang mama juga sering memarahi Dina di hadapan Varrel. Hal itu pun juga membuat si bocah jadi ‘tidak menghargai’ Dina dan juga mulai melakukan hal yang sama. Dia mulai teriasa membentak Dina, menatap sengit padanya dan juga suka menyuruh Dina sesuka hatinya. Dia akan mengeluarkan jurus air mata bombai ketika Dina tidak menuruti maunya dan setelah Dina dimarahi oleh sang mama, bocah itu pun akan tersenyum senang. Sangat menyebalkan sekali bukan?” “Hah... padahal aku sangat senang di apartemen itu. Tempatnya bagus dan juga nyaman.” Itu suara sang mama. Dina mengangguk samar. Dugaannya ternyata benar. Mereka menetap di apartemen milik om Tio. “Apa kita tidak bisa pindah ke sana saja?” sang mama bersuara kembali. Nada suaranya terdengar manja dan Dina sedikit keki. Dia langsung memutar bola mata malas mendengar bagaimana sang mama bersuara seperti itu. “Nggak bisa dong. Kamarnya cuma satu. Kasian Dina kalau harus ditinggal sendirian terus di rumah.” Tio bersuara. Pernyataan Tio membuat Dina menahan napas. “Hah. Menyebalkan. Padahal aku sangat senang berada di sana. Tenang dan damai. Ketika masuk ke rumah ini... segala macam stress pun kembali masuk dalam kepala.” Emilia mengeluh. “Nanti aku akan coba mencari unit yang lebih besar agar kita semua bisa pindah ke apartemen,” bujuk Tio. Dina masih menyimak pembicaraan itu seraya menggigiti kuku jari tangannya. “Ribet Mas... kita kan, bisa pindah ke apartemen yang sudah ada itu saja.” “Lalu bagaimana dengan Dina?” “Apa sebaiknya aku suruh saja Dina balik ke kampung untuk menemani Ibuk?” Deg. Usulan sang mama itu langsung membuat separuh nyawa Dina melayang. Apa sekarang sang mama ingin mengusirnya ke kampung dan tinggal bersama sang nenek yang sudah pikun itu? bukan apa-apa. Semenjak bertambah tua, sang nenek semakin sulit untuk dikontrol. Dia bahkan sangat menyulitkan adik bungsu sang mama yang kini merawatnya. Dina tidak bisa membayangkan kekacauan yang akan ia hadapi setiap harinya jika dia benar-benar tinggal bersama nenek. Dina menggeleng samar. “T-tidak... aku tidak mau.” “Nggak bisa begitu dong, Sayang... Dina itu kan, anak kamu,” ucap Tio. “Hah... dari dulu dia selalu menjadi penghalang kebahagiaan aku. Sekarang pun juga begitu,” keluh Emilia. Dina terkesiap. Rasanya sudah sangat cukup ia diperlakukan seperti sebuah aib. Rasanya sudah cukup ia diperlakukan dengan tidak adil. Toh kalau seandainya bisa memilih... dia juga tidak ingin terlahir dari rahim Emilia. Dina menghela napas sesak. Tatapan matanya berubah tajam. Di detik berikutnya dia langsung keluar seraya mengempaskan pintu kamar. Kemunculan Dina membuat Tio dan Emilia yang sedang mengobrol tersentak. Dina langsung menatap tajam pada sang mama. Sedangkan Tio yang terkejut menyapa dengan suara gugup. “D-Dina....”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN