26. Sikap Aneh Rianti

1114 Kata
Pagi ini Dina bangun sedikit terlambat. Dia harus buru-buru menyelesaiksn pekerjaannya di pagi hari, lalu cepat-cepat juga bersiap untuk ke sekolah. Setelah semuanya selesai, Dina langsung bergegas keluar rumah, tapi saat keluar dari gerbang, dia langsung terkejut. Ada Dion di seberang sana. Dina menatap nanar, dia tertegun beberapa detik memandang Dion. Bekas luka lebam di wajahnya masih terlihat jelas. Luka yang didapat karena pertengkarannya kemarin dengan Bagas. Dina kemudian tersadar dan langsung menundukkan pandangannya. Tak lama setelah itu, suara Asep yang bersorak memanggil Dion pun terdengar. “LO JEMPUT GUE LAGI…!?” Asep berteriak girang, tapi saat ia menyadari bahwa Dion sedang menatap Dina yang berdiri di depan pagar rumahnya, Asep menghela napas gusar. “Gue naik gojek lagi, kan?” tanyanya pada Dion. Dengan suara setengah berbisik agar Dina tidak mendengarnya. Dion tidak menjawab. Tatapannya masih terpaku pada Dina yang kini mulai melangkah. Dion terus menanti. Mengikuti pergerakan Dina dengan matanya dan ketika mereka berpapasan, ternyata Dina tidak menegurnya, bahkan menatap pun tidak. Kenyataan itu membuat Dion tersenyum getir. Asep pun menatap bingung dengan situasi itu. Dina benar-benar mengabaikan Dion dan bersikap seperti tidak mengenalnya lagi. Entahlah, Dion tampak terkejut dengan pengabaian itu. Membuat ada rasa kesal tumbuh di hatinya. “Dia kayaknya marah ama lo,” ucap Asep setelah Dina benar-benar jauh dari mereka. Dion pun hanya mengembuskan napas pendek, lalu melempar helm pada Asep. “Buruan pake! ayo kita berangkat.” Sementara itu Dina terus melangkah dengan postur tubuh yang terlihat kaku. Sesekali matanya coba melirik ke belakang sana dengan leher tegang yang tidak mau bergerak sama sekali. Dina pun meneguk ludah saat ia mendengar suara motor mendekat. Dia takut Dion akan berhenti dan bicara kepadanya lagi. Akan tetapi… Dion melewatinya begitu saja. Tap. Langkah Dina terhenti seraya menatap motor Dion yang melaju sangat kencang melewatinya. Rasanya sedikit aneh. Rasanya ada yang mengganjal di hati Dina. Tapi ia meyakini bahwa apa yang ia lakukan itu adalah yang terbaik untuk kebaikan semua orang. “Yah… sebaiknya memang seperti ini. Aku sudah melakukannya dengan benar,” bisik Dina kemudian. Setiba di sekolah, Dina langsung bergerak ke kelas Bagas. Tapi ternyata Bagas belum tiba di sekolah. Dina pun terus menunggu di depa pintu kelas itu. Dia ingin bicara, dia juga ingin meminta maaf seperti yang sudah direncanakannya kemarin. Dina terus menunggu. Tapi hingga bel masuk kelas berbunyi, sosok Bagas tetap tidak terlihat. Dina pun berjalan gontai melewati lorong menuju kelasnya. Rasa bersalah jelas terasa semakin membelit hati. Tapi saat akan berbelok, Dina terkesiap melihat Bagas di depan sana. Bagas pun sama kagetnya. Langkahnya juga terhenti tatkala melihat Dina. Dina menatap gugup, lalu perlahan mendekat. Tapi saat itu juga Bagas langsung lanjut melangkah dan mengabaikan Dina yang sudah berdiri di hadapannya. Sontak Dina langsung berbalik dan mengejar Bagas kembali, lalu menarik pergelangan tangan cowok itu. “Bagas tunggu!” pinta Dina. Bagas hanya menatapnya sekilas, lalu kemudian membuang pandangannya. “A-aku mau minta maaf sama kamu. Aku sadar bahwa semuanya emang salah aku. A-aku benar-benar minta maaf ya,” ucap Dina sungguh-sungguh. Bagas menatap hambar, lalu menarik tangannya dari genggaman Dina. “Belnya sudah berbunyi! Sana masuk kelas. Masuk ke kelas lebih penting daripada aku kan?” Deg. Dina tertegun. Bagas pun pergi begitu saja setelah berkata demikian. Rupanya Bagas masih saja marah. Rupanya Bagas masih merasa sakit hari karena kemarin Dina lebih mementingkan masuk ke dalam kelas daripada menemui Bagas yang menantinya. Dina menyapu wajahnya dengan telapak tangan. Sepertinya akan cukup sulit untuk membujuk Bagas dan berbaikan kembali. Dina kemudian beranjak masuk ke dalam kelasnya dan mencoba berkonsentrasi mengikuti pelajaran yang segera berlangsung. Ia berusaha menepikan segala polemik percintaan itu sejenak, tapi tetap saja… semakin ia coba mengabaikan, semakin jelas pula segala permasalahan itu menari-nari dalam kepala. Hingga jam istirahat pun tiba Dina kembali bergegas menemui Bagas. Tapi yang didapat tetaplah pengabaian. Bagas tidak meladeni kedatangannya dan buru-buru pergi karena ingin bermain sepak bola bersama teman-temannya. Dina pun menanti di tepi lapangan. Berpanas-panasan di bawah terik matahari. Tapi segala usahanya itu tetap tidak membuahkan hasil. Bagas tetap mengacuhkannya. Bagas tidak mau bicara dengannya. Saat sekolah usai, Dina bahkan tidak melihat Bagas lagi. Dia sudah menghilang dan tidak lagi terlihat di kelasnya. Dina berlari ke tempat parkir. Ia juga berlari ke gerbang depan. Namun ia tidak bertemu dengan Bagas lagi. “Gimana? Dia nggak ada?” Dina berbalik dan menggeleng. “Dia udah nggak ada.” Rianti mengembuskan napas panjang, mendekat, lalu menepuk pundak Dina pelan. “Ya udah… mungkin dia emang masih marah sama lo. Tunggu aja….” Dina menekur. “Nanti gue juga akan coba ngomong sama dia deh.” bujuk Rianti lagi. Dina menatap Rianti dan kemudian hanya mengangguk pasrah. “Terserah deh… sebenarnya aku juga sangat capek.” Rianti mengernyit. “Capek? Maksud lo gimana?” “Yah… aku paling nggak suka drama berbelit-belit seperti ini. Aku udah sangat capek sama realita hidup yang selalu pahit dan kalo sampe hubungan pacaran pun cuma menambah beban pikiran… aku nggak mau,” jelas Dina. Rianti agaknya terkejut dan langsung menatap serius. “Maksud lo apa, Din? Kok kalimat lo rada ambigu?” “Aku nggak mau ribet. Kalo dia mau putus sekalipun ya, putus aja,” tegas Dina. “JANGAAAAN…!” Eh. Dina terkejut karena Rianti memekik histeris. “K-kenapa kamu berteriak?” tanya Dina. Rianti tersadar dan membeku. Matanya masih melotot. Terlihat jelas bahwa ia panik setelah mendengarkan perkataan Dina. Agaknya Rianti tidak menginginkan hal itu. Dia tidak ingin Dina berpisah dengan Bagas karena ia mencemaskan sesuatu. Khawatir jika nantinya Dion benar-benar semakin leluasa mendekati Dina. Secepat itu juga Rianti meraih tangan Dina dan meremasnya pelan. “Gue bakalan bantuin lo. Tenang aja oke! Gue bakalan ngomong sama Bagas.” Dina hanya diam. Sementara Rianti terus saja meyakinkannya. Berusaha membuat Dina mengubah pikirannya untuk tetap bertahan dengan hubungannya dan Bagas. Motof Rianti melakukan semua itu terlalu kentara. Dia seakan sedang mengorbankan temannya sendiri agar tidak mengganggu kelancaran hubungannya dengan Dion. “Intinya adalah… lo itu nggak boleh gegabah. Pokoknya lo nggak boleh salah mengambil sikap. Lo tau sendiri kan, kalo penyesalan itu selalu dateng di akhir. Gue nggak mau lo nantinya nyesel. Coba deh lo inget-inget lagi. Selama ini lo selalu ngerasa bahagia, kan di sisinya Bagas? Selama ini lo baik-baik aja, kan? Hubungan kalian itu sedang diuji. Ini tuh ujian, Din….” Rianti berujar panjang lebar. Dina menatap heran. Dia bingung dengan reaksi Rianti yang baginya terasa sangat berlebihan. Dina kini mulai bertanya-tanya dalam hatinya. “Kenapa Rianti tampak begitu gelisah? Kenapa Rianti sangat cemas dengan semua perkataannya?” “Din… lo dengerin gue, kan?” sergah Rianti kemudian. Dina mengangguk. “Iya.” Rianti pun tersenyum, lalu menatap Dina lekat-lekat. “Pokoknya… lo nggak boleh putus dari Bagas. Oke!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN