Dion yang tadinya sudah mengantuk dan nyaris terlelap, langsung bangun terduduk setelah sebuah notifikasi masuk ke handphone-nya.
Notifikasi yang mengabarkan bahwa Dina sudah menerima permintaan ‘mengikuti’ nya.
‘Rahmadina menerima permintaan anda mengikutinya’
Begitulah bunyi notifikasi yang langsung membuat kedua sudut bibir Dion terangkat. “Akhirnya diterima juga.”
Dion dengan cepat memeriksa akun i********: Dina. Ada enam buah postingan. Tapi ternyata Dina tidak mengupload potret dirinya. Hanya ada potret buku-buku yang pernah ia baca.
“Hmmm.” Dion bergumam pelan.
Cahaya handphone itu menerangi wajahnya dalam keadaan kamar yang gelap. Memperlihatkan raut wajah Dion yang kini tersenyum. Rasa kantuk yang tadi menyerang pun juga langsung menguap dan lenyap.
“Tapi kenapa dia aktif di tengah malam seperti ini?” bisik Dion.
Tanpa basa-basi Dion pun langsung mengirim pesan.
‘Hi, terima kasih atas konfirmasinya…’
TAP.
Dion mengirim pesan itu seraya memicingkan mata. Setelah itu ia menanti. Berharap Dina akan membalas pesannya.
‘Iya. Sama-sama.’
Dion menyibak selimut yang menutupi kakinya. Tersenyum senang karena Dina membalas pesan itu. Dion bahkan duduk bersila dengan baik agar bisa mengetik pesan dengan konsentrasi penuh.
‘Kenapa belum tidur?’ tanya Dion.
‘Aku sedang di luar’.
Eh.
Dion mengernyit, lalu membalas lagi. “Di mana?”
Sebuah foto kemudian masuk. Loading sebentar, lalu Dion bisa melihatnya. Dina mengirimkan foto jalanan di bawahnya. Jalanan yang dipadati oleh mobil-mobil yang tampak buram.
Dion mengernyit bingung. Dia lalu melirik angka yang menunjukkan jam di sudut atas layar handphone. Waktu sudah menunjukkan pukul hampir pukul dua belas tengah malam.
“Apa yang dia lakukan jam segini di luar?” Dion menelengkan kepala. “Cih… apa dia keluar dengan pacarnya itu?”
Dion mencibir dan mengetikkan pesan lagi. ‘Dengan siapa kamu di sana?’
Pertanyaan yang menggelikan. Dia pun tak yakin kalau Dina akan membalas pesannya lagi. Tapi kemudian… nada notif pesan itu terdengar lagi.
‘Sendirian’
Jawaban yang membuat Dion makin kebingungan.
‘Apa yang kamu lakukan di tempat itu? Ini sudah larut malam,’ balas Dion.
Gelisah.
Dion bahkan sampai bangun dari ranjangnya dan melangkah bolak-balik tak jelas menanti balasan dari Dina yang tidak kunjung datang.
“Kenapa nggak dibales lagi, sih?” Dion menggaruk kepalanya.
Karena tidak sabar. Dion mengetik pesan lagi, ia ingin mendesak Dina agar menjawab kenapa dia ada di tempat itu. Tapi belum selesai Dion mengetik pesannya…
Balasan dari Dina pun datang.
‘Mama menyuruh aku untuk mati.’
Sunyi.
Dion benar-benar membeku membaca kalimat itu. Sesaat aliran napasnya terasa berhenti. Bola matanya membeku menatap barisan kata yang dikirim oleh Dina. Beberapa detik selanjutnya Dion tersadar dan langsung merinding. Ia kembali teringat pada cerita Asep yang mengatakan bahwa Dina sering bertengkar dengan ibunya. Dion juga ingat ketika ibu Dina merebut uang sakunya.
Dion menatap nanar. “A-apa dia ingin bunuh diri?”
Panik.
Tiba-tiba Dion menjadi panik Sekujur tubuhnya dengan cepat terasa panas. Dion segera mengetikkan pesan balasan.
‘Lalu apa yang kamu lakukan di sana? Kamu tidak berpikir untuk melakukan sesuatu yang buruk bukan?’
Dion mengembuskan napas kasar. Pikirannya dikuasai oleh hal-hal yang mengerikan.
“Kenapa ibu tirinya sangat kejam dan berkata seperti itu?” Dion masih tidak percaya. “Dan kenapa dia di sana? Apa yang ada di otaknya sekarang ini?”
Dion menanti balasan pesan dari Dina. Tapi sepertinya Dina tidak akan membalas pesan itu lagi. Akunnya sudah tidak aktif. Hal itu jelas membuat Dion semakin gelisah. Dia langsung membayangkan Dina melompat dari jembatan itu dan tubuhnya terhempas di jalanan. Dion juga terbayang jika seandainya Dina melompat, jatuh di tengah jalanan dan langsung dilindas oleh truk yang sedang melintas.
“Aaarght.”
Dion langsung memejamkan matanya rapat-rapat untuk menyingkirkan pikiran gila itu. Ia segera mengambil kunci motor dan keluar kamar dengan wajah panik.
“Kamu mau ke mana?”
Dion terkejut.
Ternyata Ridwan belum tidur. Ia sedang menonton bola di ruang tengah.
“P-Papa….” Dion menatap kaget.
Tatapan Ridwan tertuju pada kunci motor di genggaman Dion. “Kamu mau ke mana malam-malam seperti ini?”
“A-aku mau keluar sebentar, Pa! Sebentar aja kok.” Dion yang terburu-buru lekas melangkah pergi.
“Iya, tapi kamu ke mana?” tanya Ridwan lagi.
Dion sudah membuka pintu depan dan menjawab lagi. “Aku hanya pergi sebentar.”
Setelah itu Dion buru-buru mengeluarkan motornya dari garasi. Sebelum melaju dia melihat kembali akun instagramnya. Berharap Dina membalas pesannya, tapi ternyata tidak.
“Aaah… kenapa dia tidak membalas lagi?”
Dion kemudian dilanda kebingungan lain.
Ke mana ia harus pergi?
Dia tidak tahu di mana titik lokasi keberadaan Dina dan malah ingin langsung tancap gas tanpa rencana.
“Haaah. Kenapa aku jadi seperti ini?”
Dion termangu di atas motornya. Separuh dirinya mulai mengingatkan bahwa dia tidak perlu terlibat. Bahwa dia tidak harus ikut campur. Bahwa dia tidak perlu memikirkan hal itu. Memangnya apa yang bisa ia lakukan? Ada ribuan jembatan penyeberangan di kota sebesar ini dan Dion tidak mungkin memeriksanya satu persatu bukan?
Logika Dion memaksanya untuk bersikap realistis. Meminta Dion untuk berhenti bersikap seperti sekarang ini. Memintanya untuk memasukkan motor kembali ke garasi, lalu tidur di ranjangnya yang hangat.
Tapi…
Sebagian dirinya tidak setuju.
Dion mencoba tenang. Dia coba memikirkan sesuatu. Dia melihat lagi foto yang tadi dikirimkan oleh Dina. Jemarinya sibuk mencubit layar, lalu melebarkan jarinya itu hingga foto itu membesar.
Dion coba mencari petunjuk. Menggeser-geser foto di layar. Hingga kemudian ia melihat sebuah gedung yang cukup ikonik di sudut sebelah kanan. Dion mengernyit. Rasanya dia tahu gedung apa itu. Gedung dengan platform digital besar dan cahaya lampu yang khas.
Bola matanya membulat. Dion tahu tempat di mana Dina berada.
Ia tersenyum dan bergegas pergi.
Ternyata logika-nya tak berguna. Dion akhirnya menembus malam yang pekat… demi seorang gadis bernama DINA.
**
Dina tertegun.
Masih di tempat yang sama.
Rianti yang akan datang menjemputnya masih belum juga terlihat. Dina mengusap-usap bahunya sendiri karena udara yang terasa kian dingin saja.
“Kenapa Rianti lama sekali?”
Dina mengeluarkan handphone-nya lagi. Dia tidak sadar bahwa ada pesan balasan dari akun yang tidak jelas itu. Dina menatap ulang percakapa yang sudah terjadi.
“Kenapa aku malah menceritakannya kepada orang yang bahkan tidak jelas wujudnya?”
Dina tersenyum. Menertawai dirinya sendiri. “Tapi bukankah itu lebih baik? Lebih baik menceritakannya kepada orang tak dikenal.”
Dina selalu menutupi latar belakangnya kepada orang yang dikenalnya. Kepada teman-temannya di sekolah Dina selalu menampilkan bahwa dia baik-baik saja. Hanya ada dua orang yang mengetahui bagaimana realita kehidupannya yang kelam dan mereka adalah…
Bagas sang kekasih dan Rianti sahabat karibnya.
Dina pun tergelak ketika membaca pesan terakhir yang dikirimkan oleh akun bernama ‘Penggemar Rahasia’ itu.
“Apa dia sedang mengkhawatirkan aku?” tanya Dina.
“Ada-ada saja.” Dina geleng-geleng kepala, lalu memasukkan handphone-nya lagi ke dalam saku tanpa membalasnya.
Tak lama kemudian dia mendengar suara derap langkah yang menaiki tangga jembatan di sampingnya. Dina menoleh dan Rianti langsung mengomel padanya.
“NGAPAIN LO DI SINI, HA?” pekik Rianti dengan asap yang keluar dari mulutnya ketika mengembuskan napas. Udara malam ini memang dingin sekali.
Rianti berjalan lebih dekat. Matanya beranjak menatap ransel nan penuh di bawah kaki Dina. Dia menatap Dina yang kini juga tampak kacau. Matanya masih bengkak. Wajahnya sudah pucat dengan bibir yang mengering.
“Lo kabur dari rumah?”
Hening.
Dina hanya menekur.
“Kenapa? Apa yang terjadi?” tanya Rianti.
Dina mendongakkan wajahnya perlahan. “A-aku bertengkar sama mama.”
Sunyi.
Rianti pun menatap prihatin. Dia kemudian mengambil ransel Dina yang berat itu dan menyandangnya. “Ceritanya nanti aja. Ayo ke rumah gue dulu.”
Dina merasa malu.
“Ayo buruan!” sergah Rianti lagi. “Gue ke sini minjem motornya mang Japri soalnya. Tetangga gue yang punya warung.”
“M-maaf ya udah ngerepotin,” lirih Dina.
Rianti mendengkus. “Nanti aja Din. Maaf dan lain-lainnya nanti aja oke. Ayo kita cabut dulu. Gue udah kedinginan nih.”
Dina kemudian berjalan mengikuti Rianti menuruni anak tangga jembatan penyeberangan itu.
Ketika mereka melangkah turun, di sisi lain jembatan penyeberangan itu ada yang menaiki tangga dengan langkah terburu-buru.
Dion akhirnya tiba di tempat itu dengan mata yang langsung ke mana-mana mencari keberadaan Dina. Tatapan Dion beralih pada gedung dengan platform digital di ujung sana.
Dion mengangguk. “Benar ini tempatnya… tapi kenapa dia tidak ada?”
Dion sibuk menatap ke sekelilingnya. Dia kemudian juga melihat ke bawah sana. Tapi tidak ada pertanda apa-apa. Juga tidak ada keramaian atau pun sesuatu tragedi yang sudah terjadi.
“Haaah….” Dion mengembuskan napas panjang.
Padahal untuk tiba di tempat itu, ia sudah rela menembus jalanan yang dingin. Dion juga hampir menabrak sebuah mini truk yang berhenti tiba-tiba. Dia bahkan tidak memakai jaket. Tidak juga memakai helm. Di pikirannya hanyalah tentang bayangan Dina yang berdiri di atas jembatan penyeberangan dengan maksud hendak mengakhiri hidupnya.
Tapi ternyata.
Kosong.
Tempat itu kosong melompong.
Rasa cemas itu masih ada, tapi setidaknya Dion lega karena Dina tidak melompat dari tempat itu. Ia kemudian berjalan hendak pergi lagi. Namun matanya menangkap sebuah benda berkilau di dekat kakinya.
Dion mengernyit, lalu berjongkok dan mengambilnya.
Ternyata benda itu adalah sebuah anting dari perak yang berbentuk bunga.
Dion memerhatikan anting itu sebentar, lalu kemudian menggenggamnya erat. “Apa mungkin anting ini milik dia…?”
**
“DINA…!” ibu Rianti yang masih mempersiapkan jualannya untuk besok hari terkejut melihat kedatangan sahabat anaknya itu.
Dina tersenyum gugup. Masih berdiri di ambang pintu meskipun Rianti sudah menyuruhnya untuk masuk ke dalam.
“Kenapa malam-malam ka--” ucapan ibu Rianti terhenti ketika anaknya membulatkan mata dan mengarahkan bibirnya pada ransel Dina yang dia bawa.
“A-ayo masuk dulu!” sang ibu kemudian menarik Dina untuk masuk.
Dina mengangguk dan masuk dengan malu-malu. Sang ibuk kemudian langsung siap ke dapur entah apa yang akan di perbuatnya. Mungkin membuatkan air teh dan semacamnya, atau bisa juga bukan. Tak lama kemudian Rianti keluar dari kamarnya dan menghampiri Dina.
“Bentar ya. Gue beresin kamar gue dulu. Udah berantakan dan bau pesing. Takutnya ntar lo puyeng.”
Dina tergelak.
“Nah gitu dong! Senyum.” tukas Rianti seraya mengacak-acak rambut Dina.
“Oke beresin bentar, ya.” ucapnya lagi seraya berjalan mundur.
Dina mengangguk. “Oke.”
Tak lama kemudian ibu Dina yang muncul. Membawa sehelai handuk yang nampak tebal, lalu memberikannya.
“Ibuk sudah siapkan air panas untuk mandi. Sana mandi dulu… biar badan kamu jadi enakan.”
Dina termangu. Dia tertegun menatap ibu Rianti yang kini sedang menatapnya seraya tersenyum, tapi binar matanya menyiratkan kekhawatiran.
“T-tapi, Buk….” Dina merasa segan.
“Sudah cepat mandi dulu!”
Akhirnya Dia menurut. Mengambil handuk itu dan bergerak ke kamar mandi. Di sana sudah tersedia air panas di dalam sebuah ember yang cukup besar. Dina memasukkan jemarinya ke sana. Suhunya sangat pas. Tidak terlalu panas dan juga tidak terlalu dingin. Dina tersenyum. Dia pun segera mandi.
Terpaan air hangat yang membasahi kepala dan tubuhnya langsung memberikan sensasi ketenangan. Seakan dia membasuh segala prahara yang sudah terjadi. Seakan segala resah ikut hanyur bersama air yang mengalir menuju lubang pembuangannya.
Dina mandi cukup lama. Dia baru berhenti ketika air di ember itu sudah habis. Setelahnya Dina segera keluar dan kali ini Rianti yang sudah menyambutnya.
“Nih, pake baju tidur gue aja! Buruan ganti!”
Dina mengangguk.
Da pun masuk ke dalam kamar Rianti untuk berganti pakaian. Kamar itu tampak bersih dan juga wangi. Kamar Rianti memiliki nuansa warna putih. Tidak ada banyak barang di sana. Hanya ada sebuah dipan kasur, lemari pakaian dan meja belajar.
Dina merasa bersyukur karena masih ada tempat yang bisa ia tuju. Masih ada orang lain yang mau menampung aib dan anak haram seperti dirinya.
Usai berganti pakaian, makan malam pun sudah menanti Dina.
Ada sepiring nasi goreng dengan telur mata sapi dan potongan nugget yang juga masih panas.
“Kamu pasti belum makan malam toh. Makan dulu yah. Tadi ibuk ndak masak lauk… jadi ibuk bikinin kamu nasi goreng saja,” ucap ibu Rianti.
Dina benar-benar merasa tidak enak. Rianti yang melihat gelagatnya itu pun langsung menepuk pundak Dina.
“Heh jangan malu-malu lo. Sana makan! Dari tadi gue udah denger suara sangkakala dari perut lo itu.” Rianti mendorong Dina untuk duduk di meja makan.
Dina menatap ibu Rianti dan menundukkan kepala sebentar. “M-makasih, Buk dan maaf merepotkan.”
Sang ibu menggeleng. “Ndak merepotkan. Kalau kurang, nasi gorengnya masih ada di wajan. Ambil sendiri ya. Jangan malu-malu pokok e.”
Dina mengangguk.
Rianti kemudian mendekat lagi seraya membawa gela kosong dan teko berisi air. “Nih, biar ntar lo nggak keselek. Kurang baik apa gue jadi temen lo!”
Dina tersenyum, lalu berbisik. “Makasih banyak Bestie.”
“Yaudah. Ayo makan!”
Dina kemudian menyuap nasi goreng itu. Seketika ia terpana. Terpana karena rasa lezat yang mengusai indera perasanya. Nasi goreng buatan ibu Rianti terasa sangat lezat sekali. Awalnya Dina menyuap malu-malu. Tapi kemudian dia mulai mengunyah cepat dan terus saja mengoper suapan demi suapan ke mulutnya. Dina pun tersenyum tatkala menekan kuning telurnya dengan sendok. Aliran kuning telor itu langsung meleleh. Benar-benar tipe telur mata sapi setengah matang seperti yang dina sukai.
Dia menyuapnya lagi dengan senyum yang mengembang.
Sementara itu Rianti dan ibunya sedang sibuk membungkus jualan untuk esok hari. Sesekali mereka tampak tertawa. Saling meledek, kadang juga saling memuji. Dina memerhatikan mereka berdua dari tempat duduknya.
Dina menatap interaksi ibu dan anak itu dengan sorot mata yang berubah sayu. Dia merasa iri melihat Rianti yang selalu mendapatkan limpahan kasih sayang dari sang ibu. Nasib Dina dan Rianti sebenarnya tidaklah jauh berbeda. Mereka sama-sama dibesarkan oleh orang tua tunggal.
Tapi bedanya, Rianti sangat disayangi oleh ibunya dengan sepenuh jiwa dan raga.
Dina adalah saksi hidupnya. Dia tahu betul bagaimana sayangnya sang ibu kepada Rianti. Jika melihat interaksi mereka berdua, Dina pun hanya bisa berandai-andai. Terkadang bahkan dia juga memiliki angan yang terdengar cukup gila.
“Ah, andai aku saja yang menjadi anaknya ibu Rianti.” sudah tak terhitung banyaknya Dina sempat berangan seperti itu.
“Bagaimana nasi gorengnya, Din. Enak nggak?” tanya sang ibu dari tempatnya.
Dina terkesiap.
“E-enak, Buk. Enak sekali malah.”
Sang ibu langsung melirik Rianti yang duduk di sebelahnya. “Tuh denger! Dina aja mengakui bahwa nasi goreng buatan ibuk enak. Lah kamu… selalu saja mengejek nasi goreng ibuk dan ndak mau memakannya.”
“Aku itu udah bosen, Buk. Sama nasi goreng buatan ibuk.”
“Denger kan, Din? Dia malah bilang bosen. Ibuk selalu buatin setiap pagi buat bekal dia ke sekolah, tapi ndak pernah di bawa,” adu ibu Rianti lagi.
“Dih, Ibuk lawak deh.” Rianti mencebik. “Ini tuh masalah taste Buk. Soal selera ya, nggak bisa dipaksa. Mungkin nasi goreng Ibuk emang sesuai sama selera Dina, tapi nggak sesuai sama selera aku.”
“Dasar kamu!”
Ibu dan anak itu sibuk berdebat dan Dina hanya tersenyum menyaksikannya. Hingga kemudian sang ibu kembali menatap Dina.
“Kalau begitu besok ibuk masakin buat bekal kamu saja, Din. Kamu mau, kan?”
Eh.
Dina tertegun.
“Mau, ya?” tanya ibu Rianti lagi.
Rianti ikut bersuara. “Udah iyain aja. Biar Ibuk nggak maksa gue lagi buat bawa bekalnya.”
Dina meneguk ludah, setelah itu dia pun tersenyum dan mengangguk malu.
“I-iya, Buk. Aku mau!”