Dion tertegun dengan jari telunjuk mengarah pada Bagas yang kini tersenyum padanya. Kedatangan lelaki itu jelas membuat Dion terkejut dan kini bertanya-tanya.
Kenapa Bagas mencarinya?
“Hai! Sorry ganggu udah ganggu waktu lo,” ucap Bagas membuka pembicaraan.
Dion masiih menatap bingung. “A-ada apa, nih?”
“Duduk dulu!” Bagas menepuk-nepuk bangku kayu bulat yang tinggi di sebelahnya.
Dion menelengkan kepala. Dalam otaknya kini ada banyak pemikiran yang mungkin saja menjadi alasan kenapa Bagas mencarinya. Apa jangan-jangan Bagas tahu bahwa kemarin Dion sempat mengunjungi Dina ke rumah Rianti? Atau jangan-jangan Dina mengadu lagi pada Dion. Tapi kenapa dia tersenyum ramah? Dion jadi bingung sendiri. Tapi apapun itu, dia tetap harus waspada terhadap berbagai kemungkinan. Karena bisa saja nanti Bagas menyerangnya secara tiba-tiba.
Dion duduk dengan ragu di sebelah Bagas. Sorot matanya tertuju pada tangan lelaki itu, memastikan apa jangan-jangan Bagas sudah mengepalkan tinjunya dan siap untuk menyerang.
Bagas berdehem sebentar. “Oke. Gue langsung ke intinya aja, ya.”
“Apa?” tanya Dion.
“Lo mau kan, gabung sama tim futsal Garuda?”
Hening.
Pertanyaan Bagas sukses membuat Dion terpana. Dia bahkan seperti tidak memercayai pendengarannya sendiri. Membuat Dion bengong dan seperti kehilangan ruh dari badannya.
“Hei!” tegur Bagas.
Dion tersadar. “A-apa? Masuk ke tim futsal garuda?”
Bagas mengangguk, lalu tersenyum canggung. “Sebelumnya gue mau minta maaf sama lo. Karena memang gue sendiri yang udah ngebuat lo gagal masuk ke dalam tim.”
Dion terdiam. Sedikit terkejut karena Bagas berani mengakui kesalahannya dengan gentle seperti itu.
“Yaah… gue akui kenakan-kanakan memang dan gue juga yakin lo tau alasannya, kenapa gue jadi seperti itu,” sambung Bagas.
Dion hanya mendengarkan. Sedikit menyunggingkan senyum sebagai responnya.
“Gue bahkan udah ngelupain tentang keinginan untuk berlaga lagi di lapangan futsal,” ucap Dion. Sengaja berkata demikian dengan dalih sedikit jual mahal.
Bagas menatap cemas. “Kenapa? Bukannya terakhir kalo lo masih ngomong kalo lo pengen banget gabung sama tim Garuda?”
Dion tersenyum. “Namanya juga manusia. Pemikiran bisa berubah. Keinginan bisa berganti.”
“Terus maksudnya sekarang ini lo udah nggak berminat lagi buat gabung sama tim Garuda?” tanya Bagas.
“Buat apa lagi gue gabung? Toh anggotanya udah lengkap, kan? Lagi pula terlepas dari alasan gue gagal bergabung… rasanya kemampuan gue emang jauh banget untuk bisa menyamai performa tim.” Dion menerawang.
“Main lo itu bagus, Bro! Gue harus akui kalo lo adalah rekan duet gue yang paling bisa diandalkan dalam menyerang,” tukas Bagas.
Dion tergelak, lalu kembali menatap Bagas. “Jadi itu alasan lo ngajak gue untuk bergabung kembali?”
Eh.
Bagas tertegun. Dia ternyata sudah masuk ke dalam jebakan Dion.
Keadaan pun berubah hening beberapa saat, hingga kemudian Dion bersuara lagi. “Terus seandainya gue masuk belakangan seperti sekarang ini, apa itu nggak akan jadi masalah buat anggota tim yang lain? Bagaimana dengan pelatih?”
Bagas menggeleng. “Gue menjamin nggak akan ada masalah sama anggota tim yang lain. Gue juga udah diskusi ama pelatih kok. Dan katanya… karena ini adalah kesalahan gue, maka gue yang harus menebusnya. Makanya hari ini gue memberanikan diri buat nemuin lo dan ngajak lo buat gabung sama tim. Turnamennya akan segera dimulai awal bulan dan jujur… lo adalah ujung tombak yang bisa diandalkan. Bukan dalam artian gue memanfaatkan elo, bukan… tapi, emang di sanalah letak performa lo. Gila sih… gue jadi membawa dendam pribadi ke dalam tim yang akhirnya membuat gue menyesal dengan sendirinya.”
Dion menyunggingkan senyum. “Terus sekarang lo udah nggak dendam gitu?”
Bagas tergelak. “Udah ah. Jangan dibahas lagi. Gue jadi malu.”
Dion mengangguk-angguk. “Yah, gue juga salah sih… udah tau cewek orang masih aja gue deketin.”
Bagas pun tersenyum. Agak tersanjung juga karena Dion juga berani mengakui kesalahannya.
“Gue pikir lo nggak terlalu bucin sama cewek lo, tapi ternyata lo bucin parah, hahaha,” tukas Dion lagi.
Bagas agak merasa malu. “Hahaha. Lo sendiri juga udah mulai keliatan bucin di mata gue.”
Eh.
Dion agak mengernyit. “Maksud lo apa?”
“Lo lagi pendekatan sama Rianti, kan?” tebak Bagas.
Dion tertegun.
Tapi kemudian Bagas menepuk pundaknya pelan. “Halah… gue udah tau kok. Dina yang cerita sama gue. Katanya lo ama Rianti sedang dalam fase pendekatan. Terus udah sejauh mana nig, efford lo buat ngedapetin doi?”
Dion benar-benar kesulitan untuk sekedar meneguk ludah, tapi kemudian dia memaksakan bibirnya untuk tersenyum. “Hahaha. Effort gue nggak terlalu banyak, sih. Gue mau pelan-pelan aja. Membiarkan semua mengalir apa adanya.”
“Jangan kelamaan, ntar doi keburu disambar sama yang lain,” ujar Bagas.
Obrolan dua lelaki itu pun terus berlanjut. Dari sanalah Dion tahu bahwa ternyata Rianti sudah menganggap bahwa Dion menyukainya. Sejujurnya Dion merasa geli mendengarnya. Karena agak setitik pun dia tidak mempunyai perasaan pada Rianti. Tapi Dion juga harus mengakui bahwa semua itu memang karena salahnya juga. Dia tidak bisa menyangkal bahwa dia memang sengaja membiarkan dugaan itu berkembang.
“Rianti itu baik kok. Dia sepertinya sangat tulus ama, lo,” ucap Bagas lagi.
“Hahahaha.” Dion hanya bisa tertawa canggung.
Setelahnya obrolan Dion dan Bagas kembali beranjak pada dunia si kulit bundar. Keduanya sibuk membahas pertandingan tim bola eropa yang semalam bertanding. Obrolan yang diawali dengan situasi canggung itu pun berakhir seru. Tak ketinggalan, Dion juga memesan dua gelas teh telur untuk menemani obrolan mereka. Suara tawa Bagas dan Dion terdengar bergantian.
Anak-anak lain yang masih menunggu Dion di lapangan bahkan kini sudah kebingungan karena Dion tidak juga kunjung kembali.
“Pokoknya lo tenang aja. Karena penetapan kapten tim baru akan diumumin dan gue yang akan jadi kaptennya,” tutur Bagas penuh rasa bangga.
“Lo serius?”
“Iya. Jadi gimana? Lo mau kan, gabung ama tim?” kali ini Bagas menatap serius.
Dion menghela napas panjang sebentar, lalu kemudian mengangguk-anggukkan kepala. “Oke, deh… tapi lo harus inget… gue mau gabung, karena lo yang minta.”
Bagas sontak tergelak. “Hahaha. Jadi baper gue.”
“Hahahaha.” Dion juga tertawa.
Obrolan itu kembali berlanjut sampai langit yang tadinya terang sudah berubah gelap. Minuman teh telur di masing-masing gelas mereka juga sudah habis.
“Nanti gue bakalan ngabarin lo. Kapan lo harus datang ke tempat latihan,” ucap Bagas sebelum dia naik ke atas motornya.
Dion mengangguk tanda mengerti. “Oke sip, Boss!”
Setelahnya Bagas pun melaju pergi. Tak lupa mengakhiri keakraban hari itu dengan posisi tangan hormat dan sebuah klakson pendek sebagai salam perpisahan.
Dion pun juga tersenyum. Tapi setelah Bagas melaju pergi, raut wajahnya berubah hambar.
“Hah… rasanya sangat menjengkelkan sekali berbicara dengan dia dalam waktu yang lama.”