54. Kenapa Aku Gelisah?

1155 Kata
“Lo tau nggak, Din... malam ini gue SANGAT BAHAGIAAAA...!” Rianti yang sedang memakai skincare rutinnya berbalik menatap Dina yang sudah duduk di kasur dengan selimut menutupi kakinya. Dina tersenyum. “Iya. Aku tau kok. Wajah kamu sudah menjelaskan semuanya. Aku tidak pernah melihat kamu tersenyum ceria seperti malam ini.” Rianti mengembuskan napas, masih dengan senyum mengembang di wajahnya. Dia kemudian menyelesaikan ritual perawatan wajahnya dengan cepat, lalu kemudian melompat ke kasur dan duduk di samping Dina. Mereka berbagi selimut yang sama. “Jadi tadi itu gue pengen motret dia secara diam-diam. Dan lo tau apa yang terjadi?” “Apa?” tanya Dina. “Kamu ketahuan?” “Iya. Gue ketahuan.” Dina melotot. “Terus gimana? dia marah atau...?” Rianti menggeleng. “Dia malah ngajak gue selfie bareng. AAAA...!!! gila ngak tuh. Sumpah gue nggak nyangka banget, Din. Semua yang terjadi masih terasa seperti mimpi buat gue.” Rianti kemudian menceritakan panjang lebar tentang hari indah yang ia lalui bersama Dion. Dina pun menyimak semua cerita itu dengan senang hati. Dina turut berbahagia dan sesekali juga merasa gemas dengan apa yang sudah terjadi antara Rianti dan Dion. “Fix... itu modus dia aja biar bisa ngabisin waktu sama kamu. Makanya dia mau ngejadiin kamu sebagai modelnya. Agar dia bisa ngajak kamu jalan-jalan,” tukas Dina setelah mendengar cerita Rianti tentang ajakan Dion untuk menjadi model fotografinya. Rianti menatap antusias. “Apa menurut lo begitu?” Dina mengangguk. “Jelas! Dia ingin menciptakan alasan aja biar bisa ngabisin waktu bareng kamu.” Rianti kembali menjerit. Ia juga menggigit tepi selimut saking senangnya. “Lo sendiri tadi ngapain aja sama Bagas?” Rianti balik bertanya. Dia tidak ingin hanya ceritanya saja yang didengarkan. Dia juga ingin mendengarkan cerita Dina. Dina tersenyum. “Emmm... sepertinya dia sudah kembali menjadi Bagas yang dulu.” Rianti tersenyum menggoda sambil menyipitkan mata. “Cie... berarti semua udah baik-baik aja dong?” “Iya. Aku dan Bagas sudah sepakat untuk melupakan semuanya.” “Angkat telapak tangan lo!” ucap Rianti kemudian. Dina menatap bingung. “Kenapa?” “Udah angkat aja!” Dina mengacungkan telapak tangannya. Saat itu juga Rianti langsung menampar telapak tangan itu. “TOS...!” Dina tertawa. “Hahahaha. Kenapa tos segala?” “Karena nasib percintaan kita sepertinya akan membaik,” jawab Rianti. Dina menganggukkan kepala. “Ya, semoga saja begitu.” Rianti lalu kembali menceritakan tentang bagaimana perasaannya setelah semua yang terjadi. Dari binar matanya terlihat jelas bahwa Rianti benar-benar sangat berharap bisa menjadi kekasih Dion. “Tapi... nasib lo dan gue masih jauh berbeda.” Rianti yang tadinya tersenyum berubah memasang wajah manyun. “Beda gimana?” tanya Dina. “Ya... kalo lo kan, udah resmi pacaran. Gue gimana? gue belum ada kepastian,” jawab Rianti. “Sabar dong. Semua ada prosesnya. Semua butuh waktu. Kamu dan Dion itu masih di fase pendeketan, perkenalan, jadi nikmatin aja dulu. Siapa tau nanti ketika dia membawa kamu ke tempat-tempat yang indah... di sanalah dia menyatakan perasaannya. Dia nembak kamu di waktu yang pasti juga akan dia perhitungkan.” “Duh! Gue jadi menghayal nih... apa jadinya kalo Dion ngajak gue pemotretan di sebuah tebing yang tinggi. Angin bertiup sepoi-sepoi, lalu setelah selesai pemotretan....” “Dia ngedorong kamu ke jurang di bawahnya?” sambung Dina. Rianti melotot dan langsung menjitak pundak Dina pelan. “Gila lo! ini tuh genre romantis. Bukan genre horor dan pembunuhan, b*****t! Lo ngerusak fantasi romantis gue aja, ah!” Rianti merengut. “Aku cuma becanda.” Dina menyenggolnya. Rianti pun kembali tersenyum. Dia kini berharap agar Dion secepatnya mengungkapkan perasaannya. Rianti seakan menjadi tidak sabar untuk menjalani hubungan yang lebih intens dengan Dion. “Duh... sabar dong. Kalau kamu nggak sabar, yaudah... kamu aja yang nembak duluan,” tutur Dina. “Ya, nggak bisa dong! gimana pun juga gue tetep harus menjaga wibawa gue sebagai seorang perempuan.” Rianti menggeleng. “Lagian, walaupun gue ini wanita strong dan pecicilan, gue tetep nggak bisa mengakui perasaan gue lebih dulu. Apalagi sama cowok yang gue sukai.” Rianti menundukkan wajah. Dina mengembuskan napas, lalu meremas pundak Rianti pelan. “Makanya sabar... nikmati saja alurnya.” Rianti akhirnya mengangguk. “Iya. Gue akan menikmati alurnya.” “Nah, itu baru bener.” Dina tersenyum.” Dina menguap sesaat. Rasa kantuk sudah datang menyerang. Namun Rianti masih betah bercerita. Dina pun terpaksa meladeninya. “Oh iya... gue lupa ceritain satu hal lagi,” tukas Rianti seraya menjentikkan jari. “Apa?” tanya Dina. “Lo tau komplek perumahan yang baru dibangun di belakang rumah gue ini, kan?” tanya Rianti. Dina mengangguk. “Iya, tau. Kenapa?” Rianti melotot. “Dion akan pindah ke sana!” Hening. Respon dari Dina tidak seperti yang diharapkan Rianti. Dina malah tertegun. “D-dia akan pindah rumah ke komplek itu?” “Iya!” Rianti yang antusias tak peduli dan menepuk-nepuk pundak Dina. “Gila, kan! itu artinya kita berdua bisa menghabiskan waktu lebih sering. Iya nggak sih.” Dina memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Entah kenapa dia kurang menyukai kabar yang satu itu. Sejujurnya Dina masih merasa tidak nyaman jika terlalu sering bertemu muka dengan Dion. Satu-satunya alasan Dina mau membicarakan lelaki itu hanyalah karena Rianti. Di sisi lain Dina juga ingin menjaga perasaan Bagas. Ketakutan Dina itu terdengar berlebihan memang, tapi dia agak sedikit risih jika harus terlalu sering berjumpa dengan Dion nantinya. “Dan lo tau apa yang lebih gila lagi,” Rianti kembali berkata. Dina menatapnya. Menanti kata selanjutnya yang akan keluar dari bibir Rianti. “Dion bilang... DIA MAU PINDAH KE SEKOLAH KITA!” pekik Rianti. Dina tertegun lagi. Sementara Rianti masih asyik meracau, tapi Dina tidak bisa mendengar suaranya lagi. Kabar itu jauh lebih mengejutkan bagi Dina. Satu hal yang pasti adalah, Dina tidak menginginkan hal itu terjadi. Dia mencemaskan Bagas. Bagaimana jika nanti mereka bertengkar lagi? bagaimana jika kehadiran Dion di sekolahnya adalah awal dari semua petaka? Dina tidak mengerti kenapa. Tapi hatinya langsung diliputi oleh perasaan gelisah dan juga cemas. Seakan ada bayang-bayang tragedi yang siap menghantuinya. “Heh... kok lo malah bengong, sih!” sergah Rianti. Dina tersadar, lalu menatap Rianti dengan mata nanar. “J-jadi dia mau pindah ke sekolah kita.” Rianti mengangguk. “Katanya sih, begitu. Tapi untuk yang satu itu belum pasti sih. dia mengaku kalo dia itu bosen sama suasana di sekolahnya. Terus gue tetiba ngide, ngajakin dia pindah. Eh dia malah memikirkan ide itu.” Dina menghela napas sesak. “Jad kamu yang mengusulkannya.” “Iya. Gue yang mengusulkannya. Sekedar basa basi doang sekaligus becanda aja. apa itu juga salah satu usaha dia buat deket sama gue ya?” Rianti tersenyum sendiri membayangkan jika Dion nantinya memang pindah sekolah untuk lebih dekat dengannya. Rianti kemudian menatap Dina dengan mata berbinar. “Semoga dia beneran pindah ke sekolah kita!” Dina tersenyum dan memaksakan diri untuk menganggukkan kepala. Namun dalam hati dia malah berkata. “Semoga semua itu tidak terjadi....”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN