58. Kekhawatiran Dion

1181 Kata
“Haaah… kenapa dia tidak membalasnya juga?” Dion uring-uringan di kamarnya. Melangkah ke sana ke mari dengan gelisah dan tak henti menghela napas gusar. Sesekali ia duduk di tepi ranjang, lalu kemudian berdiri lagi. Di lain waktu Dion menatap keluar kaca jendela dengan tatapan nanar. “Kenapa aku harus peduli? Dia saja memperlakukan aku seperti orang yang tidak ia kenal. Hah. Dia itu menyebalkan sekali. Padahal aku sudah cukup sering membantunya. Lagi pula dia sudah punya pacar, kan. Si b******n itu!” Dion mengomel sendiri. Dia memejamkan mata sebentar. Masih berusaha menenangkan hati yang masih saja gelisah memikirkan seseorang yang sebenarnya tidak perlu dipikirkannya. “Lebih baik aku mandi dan tidur,” ucapnya. Dion menyambar sehelai handuk warna putih di belakang pintu, lalu masuk ke kamar mandi. Sunyi. Pintu kamar mandi itu sudah tertutup rapat, tapi tidak ada terdengar apa-apa lagi. Tidak ada suara air menyala atau apapun juga. Beberapa detik kemudian, pintu terhempas membuka. Dion mengambil jaketnya dengan napas gusar, lalu juga meraih hel-nya. Dia pun bergegas pergi. Sudah jelas tujuannya ke mana. Dia akan ke rumah Rianti. Bukan untuk menemui sang tuan Rumah, tapi untuk melihat bagaimana keadaan Dina. Dion memacu sepeda motornya dengan teramat kencang. Dia memangkas banyak waktu dan tiba lebih cepat di rumah Rianti. Tapi saat motor itu berhenti, Dion melihat Dina yang sedang duduk menjuntaikan kakinya di undakan tangga teras rumah. Dion melepas helm-nya perlahan. Sementara Dina masih belum menyadari kehadirannya di sana. Dion menatap Dina lekat-lekat. Tak lama kemudian Dion tersentak. “D-dia menangis,” lirihnya. Dion kembali teringat pada pesan yang dikirim oleh Dina. Dion pun termangu menatap Dina yang masih sibuk menyeka air mata. Hingga kemudian Dina mengangkat wajah dan tatapan mereka bertemu. Deg. Dina terkejut. Dion pun sama. Dina terlihat cepat-cepat menyeka sisa air matanya. Sementara Dion berdehem, meletakkan helm di gantungan motor dan kemudian melangkah mendekat. Dina pun kini berdiri gugup di tempatnya. Kenapa Dion datang ke sini? Begitulah isi pikiran Dina saat ini. “Riantinya mana?” tanya Dion kemudian. Dina menatap gugup. “D-dia pergi latihan karate.” Dion mengangguk. Wajahnya super cuek sekali. Tatapan dingin lelaki itu pun membuat Dina tak berani lama-lama menatapnya. “Biasanya dia pulang jam berapa?” tanya Dion lagi. Dina menggeleng. “Aku tidak tau.” Dion menghela napas panjang. Tapi tatapan matanya kini menyapu sosok Dina dari ujung rambut hingga ujung kakinya. Tatapan itu jelas membuat Dina risih. Ia memaksakan diri menatap Dion dan kembali berkata. “Ada pesan atau bagaimana? Nanti akan aku sampaikan kalau dia sudah pulang,” ucap Dina. Pertanyaan itu jelas untuk membuat Dion lekas pergi dari hadapannya. Dina ingin cepat-cepat mengakhiri situasi yang canggung itu. Dion mengulum senyum. Dia tahu tujuan Dina. “Gur bakalan nungguin dia,” jawab Dion. Deg. Dina membeku dengan mata melotot. Saat itu juga Dion langsung duduk di sampingnya. Membuat Dina sontak bergeser untuk menciptakan jarak. Dina pun dilanda kebingungan yang teramat sangat. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Kenapa Dion malah tidak pergi dan menunggu Rianti? “Sepertinya dia akan sangat lama pulang ke rumah,” ucap Dina lagi. Masih berharap si Dion merubah keputusannya. Dion hanya tersenyum. Dina menatap nanar. Beberapa lama dia tertegun di sana. Duduk di teras rumah itu berdampingan dengan Dion, namun ada jarak yang cukup jauh di antara mereka. Hingga kemudian Dina bangun dari duduknya dan berlari ke dalam rumah. Dion hanya tersenyum melihat Dina yang salah tingkah. “Hah… kenapa dia selalu menggemaskan seperti itu?” bisik Dion. Sementara itu di dalam rumah, Dina kembali mengintip Dion yang tetap duduk dengan tenang. Dina beralih menatap ke jalanan sana. Sang ibu tak juga kunjung kembali. Rianti pun juga belum pulang. Dina kemudian buru-buru menelepon Rianti. Untunglah panggilan telepon itu dijawabnya dengan cepat. “Iya, Di kenapa?” tanya Rianti. “K-kamu di mana?” Dina bersuara setengah berbisik. “Gue masih di tempat latihan karate. Kenapa? Apa lo mau nitip sesuatu?” “Masih lama pulangnya?” Dina masih berbisik. “Kenapa lo bisik-bisik, sih?” “Ada Dion di sini. Dia datang nyariin kamu!” “HAH… DIOON!” Rianti memekik. Membuat Dina menjauhkan handphone itu dari telinganya. Setelah itu barulah Dina kembali berbicara. “Iya. Aku udah ngomong kalau kamu pergi latihan, tapi katanya dia malah mau nunggu. Gimana? Apa aku suruh dia pulang aja? Atau kamu hubungi dia deh. Ngomong kalau kamu masih lama pulangnya,” suruh Dina. “JANGAN DONG!” bantah Rianti. Eh. Dina tersentak. “J-jangan?” “Iya. Ngapain di suruh pulang.” “T-tapi kan, kamu masih lama latihannya.” “Gue bakalan ijin ke pelatih buat bisa pulang lebih dulu.” Dina menepuk jidatnya. Buka itu yang dia inginkan. Bukan itu yang dia rencanakan di dalam kepalanya. “Hah….” Dina hanya bisa mengembuskan napas gusar. “Ibuk juga nggak ada di rumah,” tukas Dina lagi. “Oh. Ibuk nggak di rumah?” “Iya.” “Sekarang dia di mana?” tanya Rianti. “Dia duduk di teras.” “Heh. Suruh masok dong! Bikinin minuman. Lo gimana sih?” teriak Rianti. Dina semakin terpana. “Pokoknya bilang ke dia kalau gue akan segera tiba di rumah, oke. Jangan lupa suruh dia masuk dan bikinin minum. Okeh!” Rianti pun memutuskan panggilan setelah berkata seperti itu. Dina pun menatap nanar. Tanpa dia ketahui, ternyata Dion mengintip dari balik pintu yang terbuka. Dion pun tersenyum saat melihat Dina yang kini panik. Namun setelah itu dia buru-buru duduk ke tempatnya kembali saat melihat Dina mulai melangkah keluar. Dina berjalan dengan tatapan kosong. Lalu menatap Dion yang duduk membelakanginya. Dina meneguk ludah. Rasanya teramat berat untuk bersuara. Tapi ia kemudian menganggukkan kepala pelan. Menekankan pada dirinya sendiri bahwa Dion hanyalah manusia biasa. Dan jika memang nantinya Dion dan Rianti sudah berpacaran, mereka tentu jadi lebih sering bertemu. Bagas saja sudah mengakhiri perselisihannya. Bukankah sudah waktunya juga bagi Dina untuk bersikap biasa saja? “A-aku baru saja menelepon Rianti,” ucap Dina kemudian. Dion memutar tubuhnya. “Terus?” “Katanya dia akan segera pulang. Ayo masuk dulu ke dalam,” ajak Dina kemudian. Dion bangun dari duduknya. Menepuk debu yang melekat di p****t, lalu menatap Dina seraya menyeringai. “Masuk ke dalam?” tanya Dion. Dina mengangguk. Tapi wajahnya justru berubah pucat saat Dion bertanya seperti itu. “Ayo silakan masuk,” ucap Dina lagi. Dion menatap Dina lekat-lekat. Satu-satunya alasan dia datang ke sana hanyalah untuk melihat keadaan Dina. Dan sepenglihatan Dion saat ini, Dina terlihat baik-baik saja dan itu sudah cukup untuknya. “Nggak usah,” ucap Dion kemudian. Eh. Dina terkejut. “Kenapa?” “Biar nanti gue telepon Rianti aja,” jawab Dion. Dina menelengkan kepala. “T-tapi … bukannya tadi kamu mau menunggu dia.” Dion tidak menjawab. Dia hanya berbalik dan mulai melangkah pergi. Tapi kemudian Dion kembali menoleh dan bersuara seraya menatap Dina. “Katanya dia sudah di jalan,” ucap Dina lagi. Dion tersenyum. “Sudahlah. Lagi pula semuanya baik-baik saja.” Eh. Setelah itu Dion pun memakai helm-nya dan melaju pergi. Dina pun hanya tertegun bingung. “Apa maksud perkataannya itu?” bisik Dina dengan suara lirih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN