Bab 27
Senin pagi. Semua umat manusia sudah selalu disibukkan dengan segala pekerjaan. Hari di awal Minggu selalu sangat melelahkan.
Tidak jarang banyak dari mereka yang sangat malas menyambut hari Senin.
Tidak terkecuali Aileen. Gadis itu terkadang penuh dengan semangat menggebu. Namun kali ini, dia enggan untuk membuka matanya.
Banyak sekali acaranya untuk hari ini. Pergi ke tempat provider, lalu menemui lelaki yang bernama Agam. Belum lagi dia harus membuat kue. Haruskah ia meninggalkan toko?
Suara ketukan pintu kamar Aileen membuatnya mau tidak mau harus keluar dari selimut. Ia berjalan dengan lunglai, bak tidak memiliki tulang.
"Apa?" tanyanya begitu pintu berhasil di buka yang melihatkan adiknya yang sudah rapi dengan seragam sekolahnya.
"Anterin, Ay, dong, kak," ucapnya.
Aileen menghela napasnya dia saja malas berpindah dari kasur, lalu ini pagi-pagi harus pergi.
"Ay, bareng, ayah aja, ya? Aku lagi males ngapa-ngapain," ungkapnya. Dia kembali masuk ke kamar tanpa menutup kembali pintunya.
Ayana mengikuti sang kakak, dan duduk di kursi yang ada di depan meja serbaguna milik gadis itu.
"Ayolah, Leen. Ayah udah berangkat, tadi ada yang telepon pagi-pagi kata ibu. Ada yang mau beli dalam jumlah banyak, ada yang mau hajatan katanya. Masa iya aku harus berangkat sendiri?"
Ayana memasang wajah memelas. Mau tidak mau, Aileen pun harus pergi. Ia kembali bangkit dan berjalan menuju ke kamar mandi.
Bukan untuk mandi, tetapi hanya mencuci mukanya dan juga menggosok giginya. Tidak butuh waktu lama, gadis itu kembali keluar.
Wajahnya jauh lebih bening ketimbang sebelumnya. Aileen, menyambar jaket berwana dusty pink, lalu menutup resletingnya sampai atas, dan siap untuk mengantarkan bayi besarnya.
"Makasih, Leen," kata Ayana, dengan senyum yang menyebalkan jika Aileen yang melihatnya.
*
Sampai di sekolah Ayana. Gadis itu hendak memutar motornya. Tapi tiba-tiba, ada yang memanggil namanya.
Darren, ya pria itu berjumpa dengan Aileen. Ia mau berangkat ke kampus. Jarum jam masih menunjukkan di angka tujuh dan pria itu sudah sangat rapi.
"Darren? Rajin amat?" Aileen kembali menepikan motornya. Dia menarik standard dan duduk diatas motor tersebut.
Sementara Darren, ia pun menepikan. Motornya dan juga duduk di atas motor miliknya.
"Iya, kemarin tugasnya masih kurang banyak, mau ngerjain di kampus, sih rencananya. Mau ikut?" ajak Darren.
Melihat wajah Aileen yang kusut sudah pasti gadis itu, sedang badmood. Darren hanya mencoba menghiburnya dengan mengajaknya ke kampus.
Di kampusnya banyak tempat yang bisa membuat wajah gadis itu kembali tersenyum. Setidaknya, itu adalah harapan bagi Darren.
"Ehm— bingung. Aku mau ke pusat perbaikan kartu, aku. Tapi ini masih pagi juga aku belum buat kue juga. Tapi tidak ada ponsel juga, jadi repot, sih."
Aileen bimbang. Dia tidak tahu harus apa. Akhirnya dia memutuskan untuk pergi bersama dengan Darren. Ia meminjam ponsel baru Darren untuk menghubungi sang ibu.
Dia butuh merelaksasi pikirannya, juga ingin menyendiri. Setidaknya sampai waktu bertemu dengan Agam tiba. Ketika berada dekat dengan pria itu, Aileen, selalu ciut. Tapi selalu mencoba untuk bersikap layaknya dirinya sendiri yang bar-bar.
Sampainya di kampus, usai memarkir motor keduanya. Mereka langsung menuju tamat yang masih terlihat sepi. Duduk di gazebo dengan pemandangan kolam ikan di depannya.
Daren mengeluarkan laptop miliknya sementara Aileen, ia kembali turun dan menjelajah tempat itu.
Udara di sana sangat sejuk. Bagaikan di perbatasan kota kemarin. Namun, tetap saja berbeda, tidak sama persis tetapi, tidak juga buruk.
Darren menatap Aileen dari tempatnya. Dia masih memikirkan perasaannya pada sahabatnya itu, tapi ia tidak berani untuk mengutarakannya lagi.
Ia tidak siap jika harus diacuhkan lagi, mungkin bersahabat dengan Aileen jauh lebih baik. Namun, tidak salah juga bukan, jika dia tetao mencoba. Jodoh tidak ada yang tahu.
Tanpa terasa waktu kian merambat, siang meraja. Pukul sepuluh pagi. Darren masuk, meninggalkan Aileen, dia sibuk dengan ponsel milik Darren yang dia pinjamkan. Agar gadis itu tidak bosan.
Dia bisa membuka sosial medianya lewat ponsel itu, atau melakukan apapun yang Aileen inginkan. Toh, tidak ada sesuatu yang mengerikan di ponsel lelaki itu.
Scroll sosial medianya membuatnya lupa waktu, seharusnya dia sudah kembali dan mengurus apa yang ingin dia kerjakan. Hingga jam satu siang gadis itu tetap duduk di sana. Bahkan berswaselfi menggunakan ponsel itu.
Mencari kontras gambar yang menurutnya bagus, tapi Aileen tidak Sejago fotografer.
"Butuh bantuan?" seru seseorang. Aileen, terkejut dan langsung menoleh, ponselnya hampir saja terjatuh.
Beruntung orang itu membantunya menangkap benda pipih itu. Meski harus ada drama berdekatan wajah keduanya.
Aileen segera merebut ponselnya dan menutup kamera yang masih aktif.
"Ngapain kamu?" ketus Aileen.
"Kamu sendiri ngapain di sini? Kayanya jika kuliah tidak mungkin, yang lain masuk, ngapain kamu di sini?" jawabnya. Ia balik bertanya dan menebaknya.
"Emang nggak! Kenapa sih kamu ada di mana-mana?!" kesalnya.
Pria itu menggedikkan bahunya, tanpa permisi ia duduk di samping Aileen. Gadis itu menggeser sedikit posisinya agar memberi jarak diantara mereka.
Agam, dia adalah pria itu. Ia kembali mengisi acara di kampus. Dan kali ini adalah giliran kampus di mana Darren belajar.
Mereka bercengkrama, meskipun Agam menjawab dan bertanya dengan singkat. Namun, Aileen selalu menjawabnya.
Setidaknya dia harus baik jika ingin segera membeli ponsel baru. Karena Agam bisa jadi jembatan untuknya bukan?
Hanya sekali pekerjaan bisa membeli ponsel baru untuk Aileen. Bahkan jika mau bisa membeli tiga unit ponsel. Meskipun bukan yang sangat mahal, tetapi bisa ia gunakan lah.
"Hei—" panggil Agam kembali, dia kembali membidik Aileen. Namun kali ini dengan kamera ponsel miliknya.
Ketika Aileen menoleh, dia berhasil mengabadikan wajah itu lagi
Aileen kembali mendengus dengan kesal. "Dasar maling. Kamu ngefans sama aku, ya?!" celetuknya.
Pasalnya sudah dua kali bukan pria itu selalu mengambilnya gambar miliknya.
"Ya, mungkin— saja. Tapi jika kamu jauh lebih tinggi, mungkin aku akan langsung menyukaimu," tutur Agam dengan pedenya.
Aileen mendengus, dengan dahi yang mengekerut, secara tidak langsung ia telah di ejek bahwa dirinya pendek, atau mungkin kecil.
"Dasar! Menyebalkan!" Aileen hendak pergi. Namun, Agam menahannya.
"Ingat nanti sore." Pria itu mengingatkan agar Aileen tidak lupa untuk kerjasama yang sudah disepakati.
"Iya, bawel!" Aileen melepaskan tangan Agam dan pergi. Dia memutuskan untuk kembali pulang. Tanpa memberi tahu Darren.
Barang kali menghilang adalah kebiasaan Aileen. Ia harus segera pergi ke pusat perbaikan kartu. Kemudian membantu sang ibu walau hanya sebentar sebelum ia melakukan pemotretan.
*
Pukul empat sore. Aileen sudah kembali ke rumah. Ayana menjaga toko bersama dengan sang ibu.
Gadis itu sudah bersiap dan menunggu Agam untuk menjemputnya. Pakaian yang sederhana dengan bandana bunga kecil di sisi kiri membuat Aileen benar-benar sangat manis.
Dia.jauh terlihat lebih feminin. Rambutnya yang masih sedikit lembab memudahkan ia untuk mengaturnya.
Aileen, menitipkan ponsel Darren pada sang ibu. Agar ketika dia kembali, ia bisa mengambilnya lagi. Terlebih jika Aileen sudah pergi.
*
Amazing....