Bab 33
Sesuai janji, Aileen sore ini harus mengantar pesanan kuenya. Namun, dia harus tertimpa nasib sial. Ban motornya bocor, adiknya banyak tugas yang, sehingga tidak bisa menemaninya.
Sementara motor sang ayah belum juga kembali. Tidak ada yang bisa dilakukan Dewi selain memberikan saran pada Aileen untuk naik ojek.
Mendung sudah berjejer di langit, angin sudah bertiup dengan kencang. Tanda hujan benar-benar akan turun dengan lebat.
Aileen takut terjebak hujan, tetapi dia punya tanggung jawab, terlebih pria kemarin mengatakan bahwa dia tidak bisa mampir untuk mengambilnya. Artinya, Aileen harus nekat menerobos hujan jika air itu sampai turun.
Usai berpamitan pada sang ibu dan ojek online yang dia pesan datang, Aileen pun segera berangkat. Tidak lupa membawa jaket dan juga topi untuk menutup kepalanya agar kala hujan dia tidak sakit, seperti kebanyakan kata orang.
Belum juga tiba di tujuan, hujan sudah turun, lebat, dan besar sampai menyakiti kulit. Padahal Aileen sudah memakai jaket, juga celana yang panjang. Namun, tidak juga menghalau dingin, dia sudah terlanjur kuyup dalam sekejap.
"Akh! Sial! Kuenya?!" gerutunya.
Dia berusaha melepaskan jaketnya untuk melindungi kuenya, meskipun terbungkus kresek tetapi dia takut merembes ke dalam.
Gadis itu rela kedinginan demi kuenya tetap utuh. Tidak lucu jika sampai di tempat kue itu hancur.
"Pak, cepat sedikit!" teriak Aileen. Sang sopir ojek pun melajukan motornya. Membelah hujan, dan juga kabut tipis yang menutup jalanan.
Lampu-lampu kendaraan dan juga jalan mulai berpendar, memperjelas penglihatan saat jarak pandang mulai berkurang.
Lima belas menit kemudian mereka tiba, Aileen buru-buru turun, dia telah membayar ojek dengan saldo di akunnya. Bermaksud meminta si bang ojek agar tidak pergi terlebih dulu, dia justru sudah memutar gas begitu Aileen, turun.
Tentu saja gadis itu kian berkicau, bagai burung yang telah menghabiskan satu tandan pisang kepok.
"Sialan! Datar ojek, gila!" umpatnya. Dia memukul pagar besar itu, satpam yang sama seperti pertama kali Aileen datang pun membukakan pintu.
Tanpa protes dan juga tanpa melarang, ia mengizinkan Aileen untuk masuk.
Gadis itu tersenyum ramah di tengah dingin yang dia rasakan. Mulutnya sudah membiru, Aileen kedinginan, benar-benar dingin, terlebih angin yang bertiup bersamaan dengan membuncahnya air dari langit itu.
Aileen membungkukkan tubuhnya menggunakan punggungnya untuk tetap melindungi kota kue yang terbungkus kresek juga jaket. Mungkin ada yang merasa jijik, karena pakaian harus di gunakan untuk menutup makanan.
Namun, itu cara Aileen agar tetap savety dengan barang dagangannya. Apapun akan dia lakukan agar customernya senang.
Padahal masih Luluk lima sore, akan tetapi kondisi diluar sangat mengerikan. Aileen terus berjalan dan sesekali mendongak menatap langit. Berharap hujan akan berhenti dengan cepat.
Tombol bel, ia tekan. Sekali, dua kali sampai ke tiga kali, barulah seseorang membukakan pintu.
Alma, dialah yang membuka pintu itu. Mata Aileen terbelalak. Dia tidak menyangka bahwa ia bisa bertemu dengan Almira di sini.
"Tante?" panggil Aileen. Tubuhnya yang gemetar akibat kedinginan membuat Alma cemas.
"Bu Murti, segera ambil handuk, cepat!" perintah Alma. Tidak lama, wanita tua itu datang dengan handuk.
Mengambil alih barang yang ada ditangan Aileen dan membalut tubuh Aileen dengan handuk. Bahkan dia membawa gadis itu untuk masuk, atas perintah sang majikan.
Aileen masih termangu, dia tidak tahu apa yang tengah terjadi. Setahu dia, Almira, ibu dari Darren tidaklah cacat.
Tidak perlu menggunakan kursi roda bukan? Lalu kenapa hari ini seakan Almira berbeda, itulah yang ada dalam benak gadis ini.
Aileen, di minta untuk duduk di sofa. Alma, membantu mengeringkan rambut.
"Bu, suruh Agam bawa baju ke bawah, ya," pinta Alma pada Murti.
Murti pun mengangguk patuh, dia menaiki tangga dan menuju kamar Agam. Sementara Aileen, tidak bisa mengalihkan pandangannya pada Alma.
"Sayang, kenapa nekat? Seharusnya kamu bisa telepon Agam, biar dia yang ambil pesanannya," tutur Alma.
Dengan lembut, perhatian dan telaten, Alma mengeringkan sekujur tubuh Aileen.
Meskipun bajunya masih basah, setidaknya handuk itu menyerap air yang berlebih.
Aileen masih tidak menjawab, dia tidak mendengar Alma berbicara apa. Dia masih terus bertanya-tanya tentang semua yang sebenarnya terjadi.
"Siapa namamu, nak?" Pertanyaan Alma kali ini kian membuat Aileen bingung.
Dia tahu betul kalau Almira, kenal padanya. Sejak kecil mereka bersama, sampai Darren dan Aileen berpisah saat SMP.
Ini benar-benar membuat gadis itu seakan menemukan teka-teki yang besar.
"Ma?" Suara Agam mampu mengalihkan, tatapan Aileen. Lelaki itu terlihat jauh lebih keren dari biasanya.
Rambutnya yang masih sedikit basah membuat dia kian terlihat dingin. Pria itu mengulurkan kaos oblong putih miliknya pada sang ibu.
"Kok baju kamu, Gam? Gimana, sih?" cerca sang ibu.
"Lalu baju siapa? Buat apa, sih?!" kesalnya karena apa yang dia bawakan ternyata salah.
"Buat gadis ini, kamu juga udah tahu hujan kenapa tidak sekalian tadi mampir, kan kasihan, dia, Agam," tutur Alma.
Aileen menatap kedua ya bergantian. Melihat perdebatan antara keduanya, sangat lucu, pikir Aileen.
"Balik, ambil punya, Mama!" kata Alma, lagi.
"Ti— tidak perlu, Tan, saya akan pulang, sudah malam, juga," pamit Aileen.
Alma bergeleng, tidak setuju dengan permintaan itu. Sama sekali Alma tidak akan mengizinkan hal itu terjadi. Terlebih hujan diluar bertambah deras dengan angin kencang. Tidak ada kendaraan yang boleh keluar dengan cuaca ekstrim seperti itu.
"Tidak, Nak. Kamu tetap di sini, sampai hujan reda dan pakaianmu kering," titah Alma.
"Ta—" Alma meletakkan jari telunjuknya didepan mulut Aileen. Pertanda ucapannya tidak terbantahkan.
Agam melemparkan bajunya untuk gadis itu. Sang ibu mendelik dengan galak. Akan tetapi, Aileen pun menerimanya. Tidak enak jika sampai keduanya bertengkar hanya demi pakaian untuk dirinya.
Alma mengantarkan Aileen untuk berganti baju di kamar tamu. Memang tidak ada baju apapun di sana, tidak pernah ada yang mau menginap. Memangnya siapa? Mereka tidak memiliki siapapun.
Alma memutar rodanya sendiri. Aileen ingin membantu, tetapi ditolak. Alma hanya tidak mau gadis ini semakin kedinginan.
Aileen tidak berani keluar. Yang benar saja, tubuhnya hanya tertutup oleh kaos tipis tanpa bra ataupun underwear. Meskipun baju itu menenggelamkannya, tetapi tetap saja membuat buah dadanya terlihat begitu jelas.
"Sayang, ada masalah?!" panggil Alma dari balik pintu.
Aileen segera membuka pintunya. " Ti—tidak, Tante. Sa— saya baik-baik saja," ucap Aileen terbata.
"Baguslah kalau begitu. Kamu istirahat dulu, ya. Nanti kita makan malam bersama. Tante akan masak untukmu." Alma tersenyum dan memegang lengan Aileen.
"Biar saya, bantu, Tan," katanya.
"Tidak, perlu, nak. Kamu cukup istirahat saja."
Sungguh Aileen sangat canggung. Dia di rumah orang, dan hanya berdiam di kamar saja? Ini bukan dirinya.
Sepeninggalan Alma, gadis itu—