Bab 32: A'Tree's

1014 Kata
Bab 31 Hari ini, Agam resmi memasang semua iklannya dengan foto Aileen. Banyak papan reklame di sepanjang jalan yang menampilkan wajah ayu itu. Siapa yang duga bahwa itu juga berpengaruh pada penjualan kuenya. Di kantor, seorang lelaki tua datang. Dia lupa pernah menolak dan mencampakkan perusahaan yang dianggap sebagai usaha kecil. Meremehkan setiap ide yang diluncurkan, bahkan tidak mau mendukung dan memilih memulai bisnisnya sendiri. Dia datang hanya untuk meminta izin kerja sama. Dengan iming-iming pemasangan iklan yang panjang dengan biaya yang murah. Dia tahu bahwa perusahaan yang dikelola Agam bisa maju dengan pesat. Kaum milenial mulai melirik cara kerjanya, mulai dari. Pembuatan iklan, produk yang luar biasa, dan selalu memuaskan customer. Menyediakan apa di minta secara eksklusif oleh mereka, perusahaan itu selalu memberikan yang terbaik. Melewati banyak tahap yang harus di lakukan. Namun, tetap memastikan bahwa semuanya sesuai dengan prosedur. Lelaki itu ingin bertemu dengan sang pemilik. Direktur utama, atau penanggung jawab yang begitu dipercaya. Berharap bahwa ajakan kerja samanya di terima dengan baik. Dengan begitu, kantor pemasarannya akan sangat terkenal karena berhasil memboyong brand ternama di kota ini. "Selamat siang, Tuan, silakan duduk." Seorang lelaki muda itu mempersilahkan pria tua itu untuk duduk. Lima puluh tahun, mungkin kurang lebih itulah usianya. Indra, dia Indra Jafri Kurnia. Sementara lelaki yang menyambutnya adalah Agam. Dia selalu bermain di balik layar bukan? "Selamat siang, terima kasih." Basa basi yang membuat Agam sangat muak. Dia bahkan tidak melupakan kebengisan yang pernah terjadi sepuluh tahun yang lalu. Setiap inci luka yang didapat oleh sang ibu. Agam mengingatnya, tangannya mengepal kala semua itu seperti sebuah rekaman yang berputar secara terus menerus. Agam pergi dari ruangan itu, dia tidak bisa menahan api kemarahannya. Ia, masuk kedalam ruangannya dan memukul semua yang ada. Kaca bufet tidak luput dari emosinya. Luka ditangannya tidak lah sakit dibanding dengan rasa sakit yang terus meremas jantungnya, meremukkan setiap pembuluh darahnya secara bersamaan. "Akh!" teriaknya. Suara pecahan kaca terus bersahutan. Laki-laki itu, menghancurkan ruangannya. Sementara Indra. Ia sudah berbincang dengan Ashraf. Lelaki yang dituduh olehnya menjadi pria simpanan Alma. Entah lupa, atau pura-pura lupa yang jelas Indra ingat betul semua yang telah terlontar dari mulutnya. Sungguh tidak tahu malu, bahkan meminta maaf saja tidak dilakukan oleh Indra. Lelaki itu dengan pedenya langsung berbicara pada intinya. Maksud atas kedatangannya dan juga keinginannya. "Kami sangat merasa terhormat, Tuan mau datang. Ini benar-benar kehormatan untuk kami. Namun, saya mohon maaf, pilihan ini harus saya bicarakan dulu dengan tim. Biar bagaimanapun, kami adalah tim, Tuan," tutur Ashraf. "Oh— tentu, tentu, Tuan. Saya akan menunggu jawabannya, saya berharap Anda menerima tawaran ini. Karena di liat sana banyak yang memintanya, tetapi saya ingin mengajak A'Tree's untuk bergabung bersama perusahaan saya." Ashraf mengangguk. "Baik, Tuan. Satu atau dua hari kedepan Anda akan mendapatkan jawabannya." Jika dipikir ini memang menguntungkan untuk perusahaan Agam. Karena produknya akan dikenal, dia juga tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk iklan lagi. Akan tetapi itu bukan satu-satunya tujuan Agam dan juga Alma. Terlebih Agam, dia tidak akan pernah mau memakan hasil dari kerja sama apapun dengan lelaki itu. Dia telah bersumpah pada dirinya sendiri. Secuil atau sedikit pun tidak akan pernah dia kembali memiliki hutang Budi. Selama dia belum meminta maaf pada sang ibu. Sepeninggalan Indra, Ashraf segera berlarian menuju ruangan Agam. Lelaki itu sudah menggila. Tangannya terluka sangat parah. Darah berceceran. Tidak ada yang berani masuk kecuali Ashraf, lelaki itu berusaha untuk menghentikan amukan sang bos. Kenapa dia harus melampiaskan kemarahannya jika dia bisa menolak saat itu juga? Bukan saatnya, Agam ingin menghancurkan lelaki itu. Hancur sampai tidak tersisa. Permainannya batu dimulai. Dia menemukan anaknya juga bapaknya dalam satu waktu. "Tuan, berhentilah. Nyonya akan sangat marah pada saya jika Anda terluka seperti ini," cegah Ashraf. Lelaki itu berusaha untuk terus menahan lengan Agam yang sangat kuat. Bahkan lebih kuat dari tenaganya yang sudah tua. "Aku akan membunuhnya!" teriak Agam. "Iya, iya, Tuan. Tenanglah," bujuk Ashraf. Lelaki itu memeluk tubuh Agam. Ashraf tahu, Agam kurang kasih sayang dari ayahnya. Tidak jarang dia selalu menenangkan pria itu jika dia mengamuk. Alma tidak pernah sanggup menahan amarah Agam. Lelaki itu benar-benar memiliki temperamen yang berlebih. Agam mulai tenang, napasnya masih berat. Dia menatap keluar jendela. Pikirannya melanglang entah ke mana, yang jelas itu pasti bukan hal yang baik. Hingga sore tiba. Ruangan Agam belum selesai dibereskan. Laki-laki itu pergi dari sana. Agam berada di pinggir pantai. Menikmati suara debur ombak, menikmati angin yang menerbangkan rambutnya yang sedikit panjang. Dengan berbekal minuman beralkohol dan rokok ditangannya. Dia mengabaikan semua panggilan, bahkan itu dari sang ibu. Sudah pasti Ashraf mengadu. Agam hanya ingin sendiri sampai semuanya Kembali. Jika melihatnya saja kemarahannya begitu lalai bagaimana jika hari itu tiba? Agam benar-benar bisa dalam masalah hukum yang rumit. Jangan sampai semua impian, dan juga nama yang telah dia bangun itu hancur hanya karena dendam. Namun, dia tidak memiliki nama bukan? Dia tidak terkenal, dia hanya terkenal sebagai seorang pekerja keras, pengisi acara di kampus yang membosankan. Ashraf lah yang memiliki nama. Jika hal itu terjadi itu tidak akan pernah merusak apapun. Agam, tidak akan rugi apapun. Setidaknya itulah yang dia pikirkan. "Apa, Ma?" jawabnya ketika dia mulai lelah. Pria itu menyudahi mabuk, tetapi batang rokok masih berada di tangannya. Menghirupnya dan membumbungkan asap yang langsung hilang terbawa oleh angin pantai. "Ma?! Gila! Ini aku!" bentak Aileen. Agam menjauhkan ponselnya. Salah dia karena dia tidak melihat name tag yang ada di sana. "Ngapain telfon?!" sungut Agam. "Kamu apakan fotoku sih?! Gila, ya. Ini rame banget tokoku! Aku tidak bisa menampung massa sebanyak ini! Mana mereka cuma minta foto, tanda tangan, beli kagak!" bentak Aileen dari seberang. Terdengar jelas banget teriakan mereka. Rasanya toko Aileen sudah bagaikan terkena wabah zombie. Agam menarik satu bibirnya. Mungkin dia sudah mulai terbiasa, meski satu setidaknya dia bisa tersenyum kan? Namun, itu bukan senyum. Seperti hanya sebuah gerakan yang tidak wajar dia lakukan saja. "Kamu sudah baca kontraknya kan? Kenapa masih tanya?" Agam mematikan ponselnya. Dia tidak tahan dengan suara di seberang. Sementara Aileen kesal karena hanya Agam satu-satunya orang yang berani menutup ponselnya secara sepihak. Aileen bersembunyi, Dewi dan Ayana semakin di buat bingung dengan situasi itu, Hingga...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN