Bab 43
Gadis itu kian menundukkan kepalanya. Aileen tidak berani mengangkat wajahnya karena Agam menelisik lebih dekat pada mimik muka gadis tersebut.
“Aku— ya, tentu aku mencemaskanmu, kamu temanku kan?” Pada akhirnya hanya kalimat itu yang keluar, nyatanya memang keduanya sekarang menjalin sebuah hubungan pertemanan. Senyum Aileen terukir di wajahnya. Dia membalas tatapan Agam, karena dia berhasil menjawab pertanyaan jebakan itu.
“Oke, aku akan pergi, jangan lupa telepon aku. Atau aku akan terus menunggu,” ungkapnya. Kemudian dia pergi dari kamar Aileen dan melengang keluar dari rumah mugil itu.
Tidak terlalu besar tetapi setidaknya mampu menampung seluruh anggota keluarga Aileen. Gadis itu mengejar Agam dan menatap kepergiannya. Dia masih sangat mencemaskan kondisi Agam yang baru saja pulih. Namun, dia harus pergi begitu saja.
Ailee juga tidak mungkin menahan dirinya kan? Siapa dia, dan siapa Agam. Teman tidak seharusnya melarang juga. Gadis itu, keluar dari rumah setelah kepergian pria itu. Dia menuju toko untuk membantu sang ibu. Membuat kue dan juga membungkus pesanan yang baru saja datang.
Melayani beberapa pembeli hingga tanpa sadar bahwa hari sudah mulai merangkak senja. Ayana kembali Bersama dengan teman-temannya tadi. Kemudian membantu kakak serta ibunya membereskan toko. Hari ini, tokonya tidak terlalu ramai. Sehingga Dewi tidak terlalu kuwalahan untuk meladeni mereka.
Usai beberes dan menutup tokonya. Mereka semua kembali. Kali ini Dewi harus memasak di rumah. Dia sempat bertanya di mana keberadaan Agam. Aileen sudah mengatakan bahwa lelaki itu pergi. Wanita paruh baya itu sedikit menyayangkan, karena makan malam sudah hampir tiba. Kembali Aileen menjelaskan bahwa dia pergi tepat pukul dua siang tadi.
“Bu, Aileen tidak ikut makan di rumah, ya. Darren ngajak keluar,” kata Aileen.
“Cie, ngedate,” cicit Ayana.
Aileen hanya mendelik dan mendengus, sejak kepergian Agam, dia tidak selera dengan guyonan ataupun candaan. Aileen hanya cemas dan takut kalau pria itu akan kembali ambruk, atau pingsan dijalanan.
“Pergilah, Nak. Kamu memang harus banyak bergaul. Jangan hanya mengurus toko. Ibu bisa mengurusnya. Selama ini kamu hanya sibuk dengan toko, kalau tidak dengan barang-barang endors-mu itu. Sesekali boleh lah memanjakan diri,” tutur Dewi.
Aileen beraharap dia larang. Karena tidak mau pergi, tetapi apa boleh buat. Terlebih dia juga sudah berjanji kan? Lagi pula apa iya dia akan membatalkan pertemuannya dengan Darren dan dia pergi berasa Agam, sangat tidak baik dan tidak adil.
Usai membantu sang ibu. Aileen pun kembali masuk ke kamar, dia bersiap untuk mandi dan merias dirinya. Kemudian ia pun memilih dan memilah baju yang akan dia kenakan. Handuk masih setia berada di atas kepalanya membungkus rambutnya yang masih sangat basah.
Hampir semua baju dia keluarkan. Ini adalah kali pertama dia berkencan. Seorang Aileen ternyata juga memiliki rasa grogi. Hanya karena masalah penampilan. Gadis itu tidak tahu harus memakai baju apa. semua pakaian yang ada di lemarinya seakan tidak cocok untuk malam ini. Terlalu terbuka, terlalu ketat, dan terlalu ribet. Membuat gadis itu sangat frustasi.
Hingga suara Dewi terdengar dari balik pintu. Mengatakan bahwa Dareen sudah menunggu di depan. Itu kian membuat Aileen galau. Alhasil dia hanya menggunakan baju yang dirasa cocok untuknya. Sebuah mini dress berwarna hitam dengan model sabrina. Artinya memperlihatkan bagian bahunya, dan dengan panjang di atas lutut. Aileen sangat terlihat anggun.
Ia menggerai surainya, karena masih terlalu basah. Aileen tidak ada waktu untuk mengeringkannya. Menyemprotkan parfum pada leher, lengan dan juga pakaiannya. Lalu memakaikan serum pada rambutnya. Gadis itu siap untuk bertemu dengan kekasihnya.
Semua mata tertuju pada gadis yang kini berjalan kearah mereka. Terlebih Darren, dia tidak berkedip melihat Aileen yang berkali-kali lipat jauh lebih cantik dari biasanya. Dewi tersenyum bangga dengan anaknya. Tanpa dia sadari bahwa kini gadis itu sudah tumbuh sangat cepat dan menjadi wanita dewasa.
Anak yang pernah dia kandung dan lahirkan, dia susui kini tumbuh menjadi wanita cantik. Usianya sudah hampir mencapai dua puluh dua tahun. Dewi mendekati Aileen dan menangkup wajahnya. Senyumnya kian melebar.
“Kamu sangat cantik, Nak.” Wanita itu memeluk anaknya dan mencium pipi kanan, kiri sang anak.
Aileen membalas pelukan sang ibu. Sastro hanya menatap mereka dari tempatnya ia duduk. Tepat disebelah Darren yang tidak henti-hentinya memuja penampilan Aileen malam ini.
“Kan anaknya Mama. Kalau mamanya cantik, anaknya pasti jauh lebih cantik dong,” balas Aileen. Dengan tawanya yang renyah. Seperti biasa selalu ceria dan juga membuat banyak orang tertawa.
Setelah puas dengan acara peluk memeluk pun. Darren akhirnya membawa Aileen pergi. Tentunya setelah mereka berpamitan dengan sang ayah. Ayana tidak henti-hentinya menggoda sang kakak. Terus bersuit-suit agar sang kakak marah dan tidak akan terlihat anggun lagi di depan lelakinya. Namun Aileen sama sekali tidak terkecoh, di hanya menjulurkan lidahnya dan berlalu.
Sebuah mobil hitam sudah terparkir di bahu jalan. Keduanya berjalan beriringan. Darren membukakan pintu untuk Aileen. Gadis itu tersenyum sebelum memasuki mobil. Kemudian pria itu harus memutar arah untuk bisa duduk di balik kemudi, menjadi sopir untuk Aileen malam ini.
Sejenak Darren benar-benar tidak dapat berbicara, dia hanya terus tersenyum layaknya orang yang tidak waras. Menatap Aileen dari kaca, juga meliriknya. Membuat Aileen kesal karena sepanjang jalan dia harus bungkam dan seakan diacuhkan. Tahu sendiri bahwa Aileen itu adalah gadis yang cerewet dan tidak bisa diam, tetapi malam ini seakan asing bagi dirinya.
“Kamu mau makan di mana, sayang?” Akhirnya, pria itu mau angkat bicara, dia menatap Aileen sekilas dan kembali ke jalanan.
“Terserah kamu saja, aku rasa kamu yang ingin mengajakku pergi. So— di mana pun, ke mana pun aku ikut. Asalkan bener aja,” titah Aileen. Dia hanya tidak mau bahwa dirinya di culik dengan kekasihnya sendiri lalu di ruda paksa. Itu sangat megerikan, piker Aileen.
Darren mengangguk dan kembali fokus pada laju kendaraannya. Dia terus menyetir hingga tiba di restoran khas China. Setelah memarkirkan mobilnya dia pun kembali membukakan pintu untuk Aileen, dia juga mengulurkan tangannya untuk mengandeng dan menggengam jemari Aileen. Gadis itu menerimanya dengan senang hati.
Tidak buruk juga berjalan dengan gandengan tangan, menurut Aileen. Dia juga butuh lelaki untuk menjaganya bukan? Terlebih penampilan Aileen saat ini sangatlah memukau dan seakan menjadi pusat perhatian.
Mereka duduk di meja dengan nomor delapan. Ruangan demi ruangan yang terpisah satu sama lain. Layaknya gazebo, dipinggiran pantai. Namun ini berbeda, nuansa China begitu kental dengan lampion-lampion sebagai hiasan juga lilin yang menerangi meja tersebut.
Darren memberikan buku menu pada Aileen, dia ingin gadis itu memesan apa yang dia mau. Aileen, menerimanya dan membaca satu persatu menu yang ada. Dia menatap Darren karena makanan yang ada di sana sangat membuat Aileen bingung. Bukankah wanita selalu begitu, jika ditanya selalu mengatakan terserah. Namun, Ketika sampai di tujuan yang dipilih lelaki, bingung menderanya.
“Kamu saja yang memesan,” lirih Aileen. Dia mengembalikan daftar menunya. “Kenapa?” Aileen hanya bergeleng lemah. Akhirnya dia pun, memesankan makanan yang sama. Jiaozi, Chow Mien, Won Ton, dan beberapa masakan lainnya.
Hingga beberapa saat berlalu kini meja yang tadinya kosong penuh dan sesak dengan semua makanan yang ada. Aileen melongo, bagaimana dia bisa menghabiskan masakan sebanyak ini.
“ini banyak, banget,” gumam Aileen.
“Karena kamu makannya banyak kan?” kelakar Darren, dan membuat Aileen memberengut. Bisa-bisanya pria itu mengatakan hal itu di depan karyawan yang masih menata minuman.
Aileen diam, dan memilih menikmati makanannya. Darren menatap wajah Aileen, sungguh wajahnya membuat pria itu tidak bosan untuk memandangnya. Di sela-sela makannya. Darren juga bercerita tentang kondisi sang Ayah di rumah. Semua masalah yang timbul kemarin, dan juga kesedihan lelaki itu.
Aileen mendengarkan dengan teliti. Dia bisa memahami dari sisi Darren bahwa, Agam sangat terlihat buruk di matanya. Aileen berpindah kursi, dia pun mengelus bahu kekasihnya. Menguatkan dan memberikan suppot pada lelaki itu.
“Aku sangat membencinya, Leen. Kamu tahu, dia masih muda. Kenapa tidak mau menerima untuk membantu keluargaku? Apakah ada masalah dia dengan ayahku, atau keluargaku? Kamu tahu, aku tidak bisa melihat mama dan papaku sedih karena masalah ini.”
Darren memeluk Aileen dengan erat, dia menangis dalam dekapan gadis itu. Aileen mengusap punggung Darren, tidak tahu harus mengatakan apa.
“Kenapa tida coba kamu tanyakan pada Om Indra? Karena tidak mungkin seseorang melakukan satu hal tanpa ada sebabnya kan?”
Seketika, Darren melerai pelukannya. Dia tidak terima dengan jawaban gadis itu. Alisnya bertemu dengan dahi yang berkerut. “Kenapa kamu terkesan membela dia? Kamu ada hubungan apa sama dia? Oh— aku lupa dia, telah membayarmu untuk hasil iklanmu kan?”
Pria ini seakan merendahkan pekerjan Aileen, benarkah Darren seperti itu saat ini?
“Darren? Kamu kenapa selalu seperti itu? Ini kali kedua kamu menuduhku? Aku tidak ada apa-apa dengannya. Dan kamu tahu itu, oke! Sekarang kamu ada masalah, tetapi setidaknya dengar pendapatku. Aku tidak mungkin marah jika kamu tidak menduhku kan? Bergitupun dengan pria itu, dia tidak akan melakukan apapun jika tidak ada sangkut pautnya dengan Om Indra. Coba kamu tanyakan pada papamu, jika memang jelas Agam bersalah, maka aku akan sangat membantumu, dan selalu mensupport kamu, Darren.”
Aileen bergeleng, dia Lelah jika harus terus berdebat seperi ini. Sudah berulang kali gadis ini jelaskan bahwa hubungan pertemanan jauh lebih baik. Namun, justru dia sendiri yang membawanya pada ikatan serumit ini.