Bab 29
Selesai mengikuti kegiatan bersama Agam, Darren pulang. Pria itu memikirkan perkataan lelaki yang mengisi acara tadi.
Dalam benaknya, apa maksud dari perkataan Agam? Bahkan dirinya saja tidak mengenal atau mengetahui apapun tentang pria itu.
Darren tidak langsung kembali kerumah, dia lebih memilih untuk berkumpul bersama dengan teman-temannya. Menikmati sore dengan secangkir kopi.
Bermain gitar layaknya pemuda yang normal. Darren juga suka bergaul dengan teman-temannya, bahkan dia juga selalu mengikuti acara apapun yang dimakan di kampus.
Tidak heran jika pria itu memiliki banyak teman. Sampai malam, mereka tidak beranjak dari tempat tongkrongan. Makan malam bersama dengan canda dan tawanya yang mendominasi tempat itu.
Semua tatapan wanita selalu mencari perhatian mereka. Siapa yang tidak suka dilirik oleh sejumlah lelaki yang cool?
Sampai pukul sembilan malam, mereka baru bubar. Kembali ke rumah masing-masing. Begitupun dengan Darren. Pria itu kembali mengendarai motornya.
Menyusuri jalanan yang senggang, dengan kecepatan motor sedang. Ia, sudah jauh lebih baik. Melupakan apa yang orang asing katakan tanpa ada maksud yang jelas.
Sementara itu, di restoran di mana Aileen dan Agam makan, mereka juga usai melahap, menghabiskan semua pesanan bak raksasa yang kelaparan, satu tahun tidak makan.
Keduanya bahkan saling tatap dengan heran, bagaimana bisa dua manusia berbadan kecil menghabiskan satu meja penuh.
Aileen tertawa sampai matanya berair. Namun, Agam tidak, lelaki itu benar-benar tidak memiliki selera humor. Alhasil, gadis itu harus tertawa sendirian, dan mengundang simpati banyak orang. Mungkin, ia dikira gila, karena harus tertawa sendiri.
"Hah— gila, ya. Aku pengen ketemu sama orang tuamu, aku ingin bertanya kenapa, lu tercipta tanpa senyuman manis. Tahu nggak sih, lu? Kalau sedikit aja, lu senyum sumpah demi apapun, lu keren dan ganteng," ucap Aileen, sembari memegangi perutnya.
Dia benar-benar gadis yang jujur, tidak tahu malu, dan— mungkin apa adanya. Berbicara ceplas-ceplos dan masa bodoh.
"Bullshit! Mamaku setiap hari tersenyum, tapi hatinya selalu terluka. Kamu tersenyum, tapi kamu juga tidak selalu bahagia bukan? Senyum tidak menandakan orang bahagia atau tidak," balas Agam.
Aileen, mencibir. Ia mengerucutkan bibirnya. Memang, senyum tidak memperlihatkan bahwa seseorang itu bahagia, tetapi setidaknya dengan senyum kita bisa membuat orang lain bahagia bukan? Atau bisa memperlihatkan pada dunia bahwa semua baik-baik saja meskipun itu hanya kamuflase.
"Ish— serah, deh. Kita pulang, aku mau gerah. Kamu terlalu dingin untuk aku yg rentan pilek!"
Aileen pergi meninggalkan pria itu. Agam menarik satu sudut bibirnya. Entah apa namanya, tetapi dia jauh terlihat lebih baik. Hanya merasa konyol saat Aileen mengatakan bahwa dirinya telah dingin untuknya yang rentan—
Dasar, cewek, batin Agam. Ia meninggalkan beberapa lembar uang kertas untuk membayar bill. Kemudian menyusul gadis itu.
Memasuki mobil kembali dan membelah lagi jalanan dengan angin yang terlihat begitu menyegarkan.
Aileen mematikan AC tanpa meminta izin pada pria tersebut. Kemudian membuka kaca jendela dan mengeluarkan sedikit ujung tangannya.
Merasakan, angin yang menerpa bulu-bulu halu di tangannya. Aileen bukan gadis dengan kulit mulus tanpa bulu, dia memiliki bulu tipis di tangannya. Sangat langka, tetapi membuat dirinya semakin memiliki nilai plus di mata lelaki.
Agam melihat satu sosok yang begitu dia kenal beberapa jam yang lalu. Ia mengejarnya dan terus beradu kecepatan.
Tidak peduli dengan beberapa kendaraan yang melintas. Fokusnya hanya tertuju pada satu target. Memojokkan dan memepet untuk membuat pengendara itu terjatuh.
Aileen mendadak merasakan perubahan sikap Agam, juga kecepatan mobil yang lebih tinggi dari sebelumnya. Gadis itu menatap, lelaki yang ada di sebelahnya.
Agam menyipit dengan bibir yang mengatup erat. Mencengkram kemudi seakan menahan amarahnya. Atau mungkin mencoba menyalurkan kemarahannya lewat kemudinya.
"Gam? Kamu baik-baik saja?" lirih Aileen. Namun, Agam sama sekali tidak merespon panggilan Aileen.
Matanya benar-benar terkunci pada satu titik. Aileen melihat ke arah depan dan mendapati satu motor yang dia kenal. Benar-benar dia hafal.
Beberapa waktu yang lalu dia bahkan menaiki motor itu bersama sang pengemudi tersebut. Darren, ya, pria itu yang menjadi target Agam saat ini.
Aileen, terus menatap dan berdiam diri. Ingin melihat apa yang dilakukan oleh Agam. Beberapa menit berlalu dengan sangat mendebarkan. Adu balap, saling salip dan Darren dengan kelincahannya dengan motor berbodi ramping itu.
Namun, kemampuan Agam mengendarai mobil juga tidak bisa diragukan, bahkan dia bisa menyalip dan kembali berada di dekat Darren.
Dia tidak melepaskan motor merah itu. Terus memepetnya, hingga satu dinding besar yang di dalamnya adalah proyek pembangunan.
"Stop! Stop! Apa kamu gila?!" teriak Aileen, mencoba menghentikan aksi Agam. Dia tahu apa yang ingin Agam lakukan.
Darren terpojok di sana dan Agam membuka pintu mobilnya dengan sengaja lalu meninggalkan Darren yang terjatuh.
Aileen membelalak, dia bahkan tegang sejak tadi. Teriakannya sama sekali tidak didengarkan. Sampai wanita itu harus mencengkeram tangan Agam.
"Stop, kubilang! Apa kamu tuli!!" Aileen kembali berteriak.
Agam menepi dan memukul kemudinya. "Apa?! Kamu mau jadi pahlawan untuk dia?! Kamu tahu dia siapa?!" Agam tidak kalah berteriak dengan kencang.
Aileen bergeleng. Dia benar-benar tidak tahu, dari apa hati Agam terbuat, baru kali ini dia bertemu dengan lelaki yang mengerikan.
"Dia?! Kamu mau tahu dia siapa?! Dia sahabatku! Darren! Aku akan laporkanmu pada polisi! Jelas-jelas kamu melakukan semua ini dengan sengaja!"
Agam tidak peduli, dia mendengus kesal, dan tidak menatap kepergian gadis itu.
Aileen membuka pintunya dan ia keluar. Menutup pintu dengan sangat kencang. Entah mungkin cat mobil itu bisa terkelupas.
Ia berbalik dan menghampiri Darren yang sudah banyak dikerubungi banyak orang. Aileen bahkan di salah-salahkan akan hal ini. Dia meminta maaf, dan menolong temannya.
Kerumunan itu bubar ketika Darren menjelaskan bahwa gadis ini memang temannya.
"Kamu tidak apa-apa?" Darren bergeleng.
Dia heran kenapa Aileen ada di dalam mobil yang mencelakai dirinya. Kini kakinya pincang. Namun, luka itu tidaklah parah.
Duka kali, Darren terluka, dan Aileen melihatnya dengan jelas.
"Aku bantu, ya. Duduk dulu. Biar aku obati." Aileen mendudukkan Darren dan bersandar pada dinding besar itu.
Sementara Agam, pria itu pergi. Tidak mau berurusan lagi dengan siapapun. Dia kesal, marah dan membenci Aileen.
Lagi-lagi, dan satu kali lagi dia selalu disalahkan. Satu lagi keadilan tidak berpihak padanya. Agam merasa sendiri. Itulah yang membuat lelaki itu seakan kehilangan banyak hal.
Senyum, keceriaan, kepercayaan, kasih sayang, dan juga kelembutan. Hanya dendam, amarah, dan keegoisan yang menguasai dirinya.
Menjadi dingin juga bukan pilihannya, semua masa lalu telah mengubah pria itu. Agam, mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh. Tidak peduli jika dia menerobos lampu merah, kecelakaan dan bahkan mati.
Lain hal dengan Aileen. Gadis itu berlarian mencari toko kecil yang menyediakan obat-obatan yang di perlukan Darren.
Usai mendapatkan apa yang dia butuhkan, Aileen berlari kembali ketempat sahabatnya.
Ia mengobati luka Darren, meniupnya dengan perlahan agar tidak terasa perih.
Lelaki itu menatap Aileen, dia suka ketika keadaan seperti ini. Apakah dia harus terluka agar gadis itu perhatian dan berada dekat dengan dirinya?
Jika memang itu cara terbaik, mungkin Darren rela melakukannya. Matanya sama sekali tidak teralihkan. Ingin sekali pria itu menahan tangan yang bergerak lincah mengobati lukanya dan menciumnya.
"Terima kasih," lirih Darren.
Aileen menoleh dan menatap sahabatnya. "Santai, aja. Bisa bawa motor nggak?" tanya Aileen. Dia ragu Darren bisa menyetir motornya.
"Kalau tidak, kamu bisa bawa?"
Aileen tersenyum simpul dia membawa motornya saja terasa sangat menyebalkan karena tinggi, ini lagi yang jauh lebih tinggi, yang ada dia akan berguling-guling diatas aspal saat jalan kelokan.
"Bisa, kok. Ayo, naik!" ajak Darren. Aileen sedikit ragu, tapi mau tidak mau, ia pun harus naik. Hari sudah semakin malam, dan dia kedinginan berada di luasnya alam bebas ini.
Keduanya kembali pulang, Aileen berpegangan selayaknya. Bahkan helm yang dikenakan Daren pun, ia lepaskan untuk menutup kepala gadis itu.
Meskipun berat, Aileen tetap memakainya. Darren memaksanya.
Beberapa saat berlalu, Darren sudah sampai di rumah Aileen. Gadis itu turun, berpamitan dan mengajak sahabatnya untuk mampir.
Namun, pria itu menolaknya, dia harus segera kembali karena sejak pagi dia tidak memberikan kabar untuk orang rumah.
Aileen melambaikan tangan, sembari mengucapkan terima kasih. Sepeninggalan Darren, ia pun masuk ke dalam rumah. Dewi yang melihat di balik kaca sedikit mengerutkan dahi.
Ada banyak pertanyaan yang dia ingin tanyakan. Kenapa berangkat dengan Agam pulang dengan Darren, lalu kenapa pulang selarut ini? Dan banyak lagi kecemasan yang dirasakan oleh Dewi pada anaknya.
"Aku pulang ...."