Bab 11:
Pagi ini, Aileen sangat bersemangat untuk kembali membuka toko. Menyiapkan beberapa kue yang telah dipesan kemarin. Sementara sang ibu, dia lebih memilih untuk memasak terlebih dulu di rumah.
Sembari menunggu oven-oven itu bekerja, Aileen membersihkan dan mengelap seluruh etalase, agar tampak awet bersih dan mengkilap.
Di lain tempat, Darren juga bersiap pagi-pagi ini akan menyiapkan diri untuk berolahraga. Dia akan berkeliling kompleks sembari menghampiri Aileen. Hanya sebuah rencana, tetapi jika nulis maka dia akan lanjut.
Memakai baju yang ringan, celana training yang nyaman. Ia pun siap. Seharusnya ini terlalu siang untuk berlari, tetapi niatnya bukan itu, dia hanya ingin bertemu kembali dengan Aileen.
Lelaki itu hanya tidak percaya bahwa dia bisa bertemu kembali dengan sahabat sewaktu kecilnya. Andai dia tidak pindah, mungkin mereka masih akan bersama. Namun tidak akan menyadari perubahan yang luar biasa dari mereka.
Butuh tiga puluh menit untuk Darren Tina di toko gadis itu. Tidak sulit baginya mencari di mana letak toko Aileen. Di box kue sang ayah kemarin tertera alamat yang jelas dan lengkap sehingga siapapun bisa melihat dan mengunjungi tempat itu.
Napasnya sudah mulai berat, tinggal lima menit lagi dia akan sampai. Namun, keringat sudah sangat memenuhi tubuhnya. Seakan semua bajunya basah karena air asin itu.
Darren berhenti sejenak begitu telah melihat bangunan toko sahabatnya, ia duduk, mengatur napas dan meminum air yang telah dia bawa sebelumnya. Menegaknya untuk menghilangkan dahaga, juga lelah. Meski hanya sebentar setidaknya dia akan masuk tanpa napas yang tersengal.
Ting!
Suara lonceng selalu berbunyi, Aileen menoleh karena ini terlalu pagi untuk para pelanggan jika mereka mengambil pesanan, bahkan kue yang telah dia oven batu menyelesaikan dua pesanan dengan presentasi lima puluh persen dari hasilnya.
Mereka harus masih di hias dan diberi butter leci, atau topping lain yang mereka inginkan.
Namun, senyumnya merekah ketika melihat siapa yang datang. Aileen menyapanya dengan ucapan selamat pagi, dan mendekati tamunya.
“Rajin banget.” Aileen meninju lengan yang tertutup baju itu. Keras itu lah yang dapat dirasakan oleh Aileen.
“Enggak, sih sebenarnya. Ada maksud saja jadi aku harus rajin,” jawabnya dengan cengar-cengir.
Aileen tertawa, dia selalu tertawa tidak lagi tersenyum manis ala-ala wanita yang selalu menjaga image kebanyakan. Namun, dia menutup mulutnya dengan telapak tangan.
“Oh— ya? Jujur banget, lu. So, apa yang membawamu kemari?”
Gadis itu bertanya sembari melanjutkan perkejaannya, dia meminta maaf akan hal itu. Akan tetapi, dia tidak bisa diam jika terlalu pagi begini, dunianya sangat sibuk. Sekitar pukul sembilan nanti, dia harus membuat konten untuk barang-barang yang sudah mengantri untuk di tawarkan.
Ya! Meskipun tidak akan menjadi model dengan pendidikan yang minim dan juga tinggi tubuh yang memadai setidaknya Aileen, menjadi ‘Pengacara’ dalam arti pengangguran banyak acara.
“Ok, tidak apa-apa. Waktuku saja yang tidak tepat, harus datang pagi hari. Aku akan membantumu,” ujarnya, dia mengambil kenebo yang setengah basah dan membersihkan sisi lain, di mana Aileen belum menyentuhnya. Mungkin—
“Hei, jangan. Tidak perlu. Sebenarnya, itu— itu sudah aku bersihkan,” lirih Aileen.
Dia tidak enak hati mengatakan hal itu, tetapi pada akhirnya dia meletuskan ungkapan tersebut bukan, dengan tawa kecil di wajahnya yang tetap saja terlihat ceria.
“Ehm— maaf, baiklah aku akan pergi saja, seperti, aku— aku tidak seharusnya datang.”
Aileen bergeleng. “Tidak jangan begitu. Aku hanya tidak bisa menjadi teman jika pagi hari,” tuturnya.
“Tidak apa-apa. Aku akan kembali malam nanti, jika kamu tidak sibuk, atau— mau menemuiku.”
Darren menatap wajah wanita itu dengan lekat, bahkan mendekatinya, sehingga dia bisa menghirup aroma sampo dirambut Aileen yang masih basah.
“Ok, tidak masalah. Nanti malam, ok. Aku akan tunggu kamu di rumah. Tepat di samping toko ini. Hati-hati di jalan, sekali lagi maaf, ya,” sesal Aileen. Dia melambaikan tangan pada Darren.
“Ok, selamat— pagi, Ai.” Darren membalas lambaian tangan itu dan keluar, lonceng di atas pintu kembali berdenting.
Sementara itu Aileen kembali bekerja. Dia kembali ke dapur untuk memasukkan adonan yang sudah mengembang sempurna, menghias kue yang sudah matang dan membawanya ke depan, memasukkan ke box, siap untuk mengemasnya dan diambil oleh pemesan.
Di sisi lain, Agam. Pria itu membuka matanya, lelaki itu meraih jam yang berdering dengan sangat nyaring. Tidak! Mungkin sangat berisik.
Lelaki itu menekan tombol agar jamnya berhenti berbunyi, dia telah terbangun beberapa menit sebelum jamnya berdering. Hanya saja dia enggan untuk turun dari kamar. Memilih untuk memainkan ponselnya dan melihat beberapa postingan orang di dunia tipuan.
Pria itu, turun dan menuju kamar mandi. Membersihkan diri dan bersiap untuk mengajak sang ibu jalan-jalan. Mungkin ke taman di mana banyak keluarga yang senang berlibur bersama. Meskipun bukan hari libur.
Terkadang tidak hanya akhir pekan ataupun tanggal mereka berlibur. Masing-masing orang selalu mendapatkan kesibukan sendiri-sendiri, tidak banyak dari mereka di hari Minggu tetap bekerja dan memilih hari biasa untuk meluangkan waktu dengan keluarga.
Usai bebersih, pria itu membawa keranjang kotornya turun, dan indera penciumannya sudah disambut dengan aroma ayam rica-rica yang begitu dia kenali.
“Ma? Ini ayam? Wangi sekali, aku jadi sangat lapar,” katanya begitu tiba di ujung anak tangga.
Pelayan mengambil alih keranjang baju milik majikannya dan Agam pun memberikannya. Dia mendekati sang ibu yang duduk manis di ruang makan.
Alma menoleh dan menatap sang anak.
“Sayang, sudah bangun? Iya, ini, Mama minta sama Bu Murti untuk memasak ayam kesukaan kamu, sudah lama kan kamu tidak makan ayam?”
Senyum indah nan hangat itu membuat hati Agam nyaman, selama ini hanya sang ibu lah wanita yang selalu bisa membuat Agam bahagia.
“Yakin, Bu Murti yang masak? Bukan, Mama?” selidiknya. Dia pun duduk di samping sang ibu. Sebelum itu tidak terlewat untuknya mencium kening Alma. Sebagai ucapan selamat paginya.
Alma tersenyum, sepertinya, anak itu tahu siapa yang memasak sesungguhnya.
“Iya, Bu Murti. Kamu melarang ibu kan untuk masak. Jadi, mana mungkin Mama melanggar aturan anak, mama yang paling tampan di seluruh rumah ini.”
Agam mencomot satu paha bawah yang sepertinya sejak tadi menjadi pusat perhatiannya. Alma bergeleng, ternyata anaknya tidak juga tersenyum dengan bulan atau ungkapan yang dianggapnya sangat lucu.
“Karena, di rumah ini hanya Agam yang muda kan? Ehm— enak. Aku yakin, ini Mama, yang memasak kan? Ma, tolong jangan buat lagi. Mama, mau aku jadi gentong?”
Meskipun begitu, mulutnya telah penuh dengan ayam yang berwarna kekuningan dengan rempah-rempah yang belepotan di sudut bibirnya.
“Sudah cepat habiskan, kamu ada janji sama, Mama lho.” Alma tersenyum melihat anaknya yang sangat lahap memakan masakannya.
Agam mengangguk, dia makan bak anak kecil yang memenuhi kedua tangannya dengan dua ayam, piring hanya dia gunakan untuk meletakkan tulang belulang. Hingga dia bersendawa dan menutupnya dengan tangannya.
“Ups, maaf, Ma. Sudah hampir satu tahun tidak makan ayam, sepertinya ini adalah ayam terbaik buatan Mama,” pujinya.
“Bukan Mama yang memasak. Ngeyel, deh. Bu Murti yang memasak, coba tanya. Ucapin makasih gih sama dia,” perintah sang ibu. Namun agam bergeleng.
“Tidak, ini tugas dia kan? Jika ini yang memasak Mama, aku akan berterima kasih sama Mama, karena mama selalu yang terbaik dari awal hingga akhir,” ungkapnya. Lelaki itu mengelapnya dengan lap lalu meminum segelas air.
Mereka siap berangkat, Alma sangat senang ternyata anaknya selalu menepati janjinya. Mereka akan pergi ke sebuah....