Bab 35
Agam, pria itu pun kembali menuruni anak tangga. Dia, duduk satu tangga lebih tunggu dari Aileen.
Mencium aroma parfum milik Agam, Aileen pun menoleh. Dia menepi dan berada di sisi kiri, membalikkan tubuhnya untuk menatap pinggiran tangga. Agar dia bisa melihat lawan bicaranya. Tidak seperti tukang becak, di mana saat kita bicara tidak menatap orangnya.
"Aku bosan di sini. Apa lagi nih, ya. Kamu tuh cuek banget. Kesel tahu, setidaknya sebagai tamu, dan kamus sebagai tuan rumah harusnya membuat aku betah," sungut Aileen.
Dia memutar bola matanya, kesal pada sikap Agam yang tidak seperti pada sang ibu.
"Mau pulang?" Lelaki itu justru menawari hal konyol. Di luar badai sedang berlangsung. Memangnya iya dia akan mengantar Aileen pulang?
"Iya, kalau kamu sedingin udara diluaran sana!" ketus Aileen.
"Ya udah, sana! Bukan aku yang melarang kamu tinggal kan?"
Aileen mendelik kesal. "Dasar, kanebo kering! Kulkas! Sekali aja gitu jadi Magicom yang bisa menghangatkan keadaan," cicit Aileen, lagi.
Agam menghela napasnya dengan kasar. Kemudian dia melangkah, melewati gadis itu. Mencari camilan dan membuat teh hangat.
Aileen mengikuti langkah kaki pria tersebut. Di bahkan mengikuti ke mana pria itu akhirnya berlabuh.
Di sebuah gazebo yang ada di samping rumahnya. Ada lorong yang melindungi jalan dari hujan. Tapi, udara sangat dingin di sana.
Untuk Agam yang mengenakan sweater tentu tidak masalah, tetapi bagi Aileen yang bertelanjang kaki, sangat membuat dia kaku.
Namun, demi mengobrol, wanita itu bahkan mengesampingkan dirinya. Siapa tahu dengan pengorbanannya, Agam bisa jauh lebih baik. Atau setidaknya, dia tidak terlalu cuek.
"Nih, minum teh jahe. Dan—" Agam melepaskan sweaternya, lalu melemparnya pada Aileen.
Gadis itu spontan menangkapnya dan memakainya sebagai selimut. Dia duduk dengan merapatkan kaki lalu membawanya ke atas kursi. Menutup kakinya dengan sweater milik Agam.
"Terima kasih," lirih Agam.
"Sama-sama. Mama, selalu berharap ada wanita di rumah ini, dia bilang kesepian kalau aku tinggal di rumah sendirian. Pelayan sibuk dengan semua aktivitasnya."
Agam memecah keheningan. Di tengah suara hujan, mereka mulai bercerita banyak hal. Agam mulai terlihat lebih baik dari sebelumnya. Dia menjawab dan juga kembali bertanya pada Aileen.
Saling tatap dan tidak lagi canggung. Aileen merasa tenang, dengan secangkir teh jahe yang ada ditangannya. Rasanya tubuhnya sedikit menghangat.
"Kenapa kamu tidak ajak pacar atau teman wanitamu ke rumah, lebih sering?"
Agam menatap Aileen, dengan serius. "Aku tidak punya teman satupun. Hanya kamu yang pertama kali datang. Hanya kamu yang pertama kali aku kenal, duniaku kosong," tutur Agam.
Aileen membalas tatapan itu dengan jeli. Seberapa kosong, sampai hanya ada Aileen yang datang? Pikiran itu kembali memenuhi Aileen. Bolehkah wanita ini bertanya lebih jauh?
"Kosong?" Agam mengangguk. Dia meneguk kopinya dan menatap kembali Aileen.
"Aneh, tapi ketika aku bersama denganmu, aku merasa kesal tapi aku senang. Setidaknya ada hal yang bisa aku perdebatkan," ucap Agam.
"Ish, menyebalkan. Kamu kira aku tukang rusuh?!" sungut Aileen.
"Kamu itu lucu, tapi aku tidak bisa berekspresi layaknya mereka. Kamu tahu ada apa denganku?"
Aileen, menelan lidahnya dengan berat. Apakah dia bertanya bagaimana dia menjadi lelaki di mata wanita? Pikir Aileen.
"Agam, coba kamu bergaul dengan banyak orang. Kamu bisa kok seperti mereka. Tersenyum, bercanda, dan membaur. Apa kamu nggak bosan, hanya di kantor, terus diem di rumah aja?"
Agam menjelaskan bahwa tidak sepenuhnya dia selalu dirumaj. Kadang dia juga refreshing, tapi sendirian. Hanya dengan kamera yang menemaninya.
Aileen terus memberikan arahan agar lelaki itu, membaur bersama dengan orang lain. Bahkan dia menawarkan dirinya sebagai temannya.
"Kalau lebih dari teman?"
Seketika Aileen, tersedak. Dia tidak percaya apa yang dia dengar dari mulut pria itu.
"Maksudmu?"
"Rekan bisnis, dan juga partner kerja, kamu memperpanjang kontraknya. Agar aku bisa belajar banyak darimu," tutur Agam.
Hampir saja Aileen besar kepala. Menganggap bahwa Agam menyukai dirinya.
Sial, Aileen. Otakmu perlu dicuci, kenapa kamu m***m banget! Aileen, bego! Umpatnya dalam hati.
Gadis itu memukul kepalanya sendiri, dengan sembunyi-sembunyi.
"Hei, kenapa?!" Agam melihat gadis itu dengan aneh.
"Ti— tidak ada." Aileen, mengalihkan pandangannya dan juga pikirannya. Dia kembali meneguk tehnya.
"Agam, apakah Mama kamu kembar?" Aileen tidak bisa lagi menahan pertanyaan itu. Dia ingin tahu, agar tidak penasaran.
Lebih baik menanyakan hal itu ketimbang, pikiran buruk itu menguasai Aileen.
"Kenapa bertanya seperti itu?" Tiba-tiba suara Agam kembali datar dan dingin.
Aileen ragu untuk melanjutkan pertanyaannya. Dia lebih memilih untuk bangkit dan berjalan, menjauh dari Agam setelah bergeleng. Menandakan bahwa ucapannya tidak perlu dilanjutkan.
"Akh!"
Nahasnya, gadis itu justru terpeleset, ia terjengkang, kaget dan yang lebih parah, kemejanya tertarik keatas, lalu kehilangan dua kancing bawah dan tengah, lalu Aileen terjatuh.
Sudah dipastikan bahwa pantatnya terasa sangat panas, atau mati rasa. Sakit yang liar bisa, membuat gadis itu meringis.
Agam terbelalak dan dia pun segera menolong wanita tersebut. Tanpa kata, pria itu menyalurkan tangannya. Mereka basah. Angin membawa air hujan itu menerpa tubuh keduanya.
Meskipun tidak parah, tapi baju mereka tetap basah. Aileen, meraih uluran tangan Agam. Kemudian bangkit dengan hati-hati.
Namun, lantai itu benar-benar licin. Tidak ada bebatuan yang menahannya. Sehingga jika tidak pernah dibersihkan atau tidak pernah dijamak orang, lumut liar pasti akan menutup permukaan lantai.
"Akh!" pekik Aileen.
Mereka terjatuh lagi, karena kecerobohan Aileen. Kali ini, tubuh Aileen aman dari lantai, tapi tidak aman dari pria itu.
Dia jatuh tepat di perut Agam. Lelaki itu meringis, karena dia yang kesakitan. Menahan tubuh Aileen dan terjadilah hal ini.
Ailee. Masih belum sadar dengan posisinya. Matanya masih membulat dan menatap pria itu. Sejenak, rasanya seperti berada dalam adegan film.
Agam, seperti menikmatinya. Begitupun dengan. Aileen. Namun, nyatanya pria itu menepis tubuh Aileen.
Benar saja, ada barang ajaib yang bisa hidup dalam permukaan d**a Aileen. Dalam hati, Agam mengumpat. Bagaimana bisa dia sial seperti itu.
"Minggir! Lihat ulahmu, aku jadi basah!" marah Agam.
Pria itu meninggalkan Aileen termangu sendirian. Gadis itu masih berdiam diri dan berdiri mematung.
"Apa tadi?" gumam Aileen. Dia benar-benar merasakan sesuatu ketika menindih tubuh pria itu.
Sementara Agam, dia mengumpat tanpa henti dalam hatinya. Dia mengepalkan tangannya, dia terlihat sangat malu, marah dan juga kikuk di hadapan Aileen.
Gadis itu, bergegas untuk menyusul Agam. Bukan tanpa sebab, dia harus meminta baju ganti lagi.
"Apa lagi?!" sergah Agam. Di berbalik dan menatap Aileen.
Sial! Gerutunya dalam hati. Bagaimana tidak, entah Aileen sadar atau tidak kalau kemejanya terbuka dan dadanya membekas erat di permukaan bajunya.
Agam, memejamkan matanya. Dia menahan sekuat hati pikiran sampahnya.
"Apa?! Cepat katakan!"
Pria ini ingin segera pergi, tidak ingin melakukan hal buruk pada gadis itu. Biar bagaimanapun Agam tetap lelaki normal yang bisa, merasakan sensasi aneh ketika melihat apa yang belum pernah dia lihat selama ini.
"Bajuku basah kan? Aku harus ganti," tutur Aileen. Dia menundukkan wajahnya.
"Tunggu di sini. Biar Bu Murti yang bawa ke kamarmu!"
Usai mengatakan hal itu, Agam pun pergi. Dia menaiki tangga dan menghilang di balik pintu kamarnya.
Aileen pun masuk ke kamar tamu, dia membersihkan diri, dan menunggu di sana.
Satu, dua, tiga menit berlalu, hingga—