Bab 13:
Sejujurnya, Agam tidak ingin bertemu dengan wanita yang menabrak dan mengakibatkan lensanya pecah. Akan tetapi dia sudah janji kepada sang ibu. Berbohong juga bukan dirinya.
Terlebih menipu ibunya, Agam tidak bisa melakukan hal itu.
Mau tidak mau, suka atau tidak, lelaki itu akan tetap membawa sang ibu untuk pergi ke toko kue di mana Agam membelinya terakhir kali. Tidak jauh tempatnya dari taman tersebut.
Dua puluh menit terlewat, Agam dan ibunya telah sampai. Membuka pintu mobil dan kembali, Agam menggendong Alma, lalu mendorongnya masuk.
Denting lonceng selalu terdengar, dan Agam baru menyadarinya siang ini. Dia mendongak dan menatap pintu. Kemudian kembali menyapu semua etalase.
"Selamat siang," sapa seorang wanita muda yang tidak lain adalah Ayana. Suara yang terdengar sangat ceria dan penuh dengan semangat.
Belum kenal saja, sudah membuat Alma tersenyum. Dia sangat mengenal mana orang yang penuh dengan semangat hidup dan mana orang yang pemalas juga mudah menyerah.
Alma menoleh pada anaknya, karena dia tidak juga kunjung bergerak dari ambang pintu. Kemudian, Alma pun memutar roda dengan kedua tangannya. Sementara Agam akhirnya membiarkan ibunya menghampiri wanita tersebut.
"Selamat siang, kamu ramah sekali, sayang." Ayana tersenyum, membalasnya dengan sangat ramah.
"Terima kasih, Tante. Ada yang bisa saya bantu?"
Ayana menatap Alma dengan iba, kasihan dan tidak tega. Sepertinya dia membayangkan bagaimana jika itu terjadi pada ibunya.
"Ah— iya, beberapa waktu lalu anak saya beli lemon cake. Apa masih ada?" Alma mengedarkan pandangannya dan di etalase tidak ada satupun kue yang dia cari.
"Oh— ada, sih. Tapi— untuk malam nanti, karena beberapa kue sudah di pesan, Tante. Tante mau memesannya atau besok mau kembali lagi ke sini?"
Alma menatap anaknya. Agam sedikit lega karena, tidak ada gadis yang sok kenal itu. Terlebih tidak juga ia akan bertemu dengan wanita yang menyebalkan seperti Aileen. Menurutnya.
"Bisa saya pesan?" Ayana mengangguk, dia siap dengan buku catatan.
"Baiklah, Tante mau dua ya. Tapi tidak perlu di antar, biarkan anak saya saja yang mengambil,' sambung Alma.
"Jalan Samudera Arunika, Kavling 365, no 37." Agam memberi tahu alamat rumahnya.
Seakan mengatakan bahwa dia tidak mau mengambilnya. Suara yang dingin dan terdengar kesal. Ayana dan Alma menatapnya secara bersamaan.
Alma tersenyum tidak enak hati pada Ayana. Pasalnya anaknya terlalu dingin untuk berada di luar rumah.
"Maaf, ya sayang. Baiklah, bisa diantar. Tapi tidak perlu buru-buru ya, rumah ibu Alma. Terima kasih, ya. Ini uangnya," lirih Alma
Usai mencatat semua pesanan, dan menanyakan nomor telepon, Ayana mengambil uang yang telah di sodorkan. Kemudian tersenyum ramah kembali, sebelum wanita paruh baya itu menghilang di balik pintu.
Agam terlihat begitu hangat pada sang ibu dari balik pintu kaca. Akan tetapi sikapnya yang sesungguhnya membuat Ayana, mencibir dirinya.
Sepeninggalan Agam dan sang ibu. Aileen datang, wanita itu baru saja selesai mengantar kue-kue yang sudah dipesan. Ibunya telah membuat kue di dapur toko. Mereka sangat sibuk.
Aileen memeriksa pesanan di buku catatan. Ada lima lagi yang harus dia antar malam ini. Padahal dia ada janji dengan Darren.
Bahunya menurun dia menyahut botol minum yang ada di samping tangannya tepat di atas meja. Ia meneguk sampai tersisa setengah, saking lelah dan hausnya.
"Aman?" lirih Ayana. Hari ini dia pulang cepat karena ada rapat sekolah mendadak. Cukup menguntungkan karena dia bisa membantu menjaga toko. Biasanya dia lebih suka menjaga toko kelontong bersama dengan ayahnya, tetapi hari ini sang kakak memintanya untuk menemani Dewi.
"Aman, terkendali. Tapi kenapa kamu tidak menyetop pesanan? Ini lima lho, Ay. Aku ada janji sama teman."
Aileen menatap adiknya dengan lekat. Namun, Ayana justru mengerutkan dahinya.
"Penting banget yak? Nggak biasanya kamu menolak pesanan. Ini lemon cake, lho, Ai."
Ayana membalas tatapan mata sang kakak, dan duduk di meja kasir. Sementara Aileen, merebahkan kepalanya di atas meja dengan tangan sebagai bantalannya.
"Aku pengen liburan malam ini. Hanya malam ini, tapi— ya mau bagaimana lagi, kamu udah terlanjur terima. Iya, sih bersyukur banget, pesanan hari ini. Tapi— kak Darren bagaimana? Kita baru ketemu kemarin," gumamnya dengan lemas.
Ayana turun dari meja dan memijit pundak sang kakak. Dia meremasnya dengan kekuatan sedang, berharap wanita itu tidak lagi mengeluh. Ayana tahu, bahwa jika sudah begini Aileen, pasti sangat lelah.
"Ck, nanti bisa kan setelah mengantarkan pesanan. Atau bisa kan, ikut mengantar. Aku yakin, dia mau. Kalian kan sahabat," tutur Ayana.
"Hemm— baiklah, pertemuan yang tidak berkesan, Ay," balasnya.
Kali ini, Ayana tidak membalas. Dia hanya fokus pada tugasnya. Memijit kakaknya agar kembali bersemangat. Beruntung Ayana semalam bisa sembuh dari masuk angin yang mendera jadi ini adalah waktu yang tepat untuk mengucapkan terima kasih karena sang kakak telah mengambilkan obat untuknya.
***
Pukul enam lebih lima belas. Aileen menutup tokonya, dia juga sudah selesai membersihkan toko, etalase, mengepel semua lantai, dari depan sampai dapur.
Kursi dan meja juga sudah rapi. Dia membawa tiga box yang tersisa, karena dua lainnya telah di bawa sang adik. Selepas membersihkan diri dia akan kembali mengendarai motor besarnya.
Besar baginya, tetapi tidak terlalu besar bagi ayah dan ibunya. Nasib memang menjadi wanita yang setengah meter.
Bersamaan dengan itu, Darren sudah duduk dan menunggu Aileen. Dia sangat tepat waktu, bahkan ini belum terlalu malam untuk menghadiri perjanjian mereka.
"Hai! Sudah lama? Maaf, ya. Ini tadi baru tutup," sesal Aileen.
"Tidak apa-apa, tadi ada Ayana sama ibu. Sini aku bantu."
Darren mengambil alih tiga box yang menutup penglihatan Aileen. Kemudian meletakkannya di atas meja. Rumah Aileen tidak terlalu besar, tetapi sangat nyaman.
Hanya ada pembatas yang terlibat elegan di bagian ruang tamu dan ruang tengah, di sisi kiri ada meja belajar Ayana, lalu ada sekat lagi untuk ruang tengah dan dapur. Kamarnya tepat berderet dengan ruang tamu, jadi tidak terlihat pintu-pintunya.
"Ayana gimana, sih. Tunggu, ya aku ambilkan minum. Mau apa, kopi atau teh, atau yang lain?" Aileen berdiri diambang perbatasan ruangan.
Darren tersenyum dan bergeleng. " Tidak perlu, duduk saja. Aku tahu kamu lelah kan?"
"Iya, sih. Tapi bentar, deh." Aileen benar-benar menghilang di balik pembatas yang menyediakan tanaman hias serta deretan buku-buku seperti n****+ karya Az Zidan.
Kemudian tidak berapa lama dia kembali dengan dua minuman kemasan kaleng. Soda dan cola. Memberikan satu untuk temannya dan dia pun duduk.
"Sudah dibilang nggak perlu kan?" Aileen, mengibaskan tangannya. Seakan mengatakan tidak perlu sungkan.
"Sebenarnya, aku ada perlu. Jadi—"