Chapt 8. The Object of Fantasy. Hope is still as big as a Star

3016 Kata
… Kamar Aiyaz.,             Dia menutup kasar pintu kamarnya. Bruaakk!! “Haahh! Kenapa hari ini begitu menyebalkan!” gumamnya dengan kesal sudah sampai di ubun-ubun.             Dia melangkahkan kaki menuju kamar tidur utamanya. Ruangan kamarnya ini bernuansa gelap. Bahkan tirai tebal yang menjulang tinggi juga berwarna gelap.             Seleranya hanya beda 1 angka saja dengan saudaranya, Gamal. Itulah alasan kenapa orang-orang menyebut mereka bayi kembar yang tertukar. Karena selera dan karakter yang sangat mirip sekali.             Aiyaz berjalan menuju walk in closet. Dia melempar kasar jasnya ke dalam wadah khusus pakaian kotor. Setelah itu, dia membuka kemejanya dengan cepat. “Aahhk! Ini kenapa susah sekali!” kesalnya.             Karena sangat kesal, Aiyaz membuka paksa kemejanya dalam satu gerakan cepat. Takk! Takk! Takk! Takk!             Kancing kemeja hitamnya berhamburan di lantai. Tentu saja dia tidak peduli, walau dia tahu kemeja yang ia kenakan tidak memiliki salah apa-apa.             Dia melempar kasar kemeja itu ke arah wadah terbuka disana. Lalu dia membuka celana panjang hitamnya, dan hanya menyisakan celana dalamnya saja. Tidak lupa dia mengambil ponselnya di dalam sama. Lalu sama seperti tadi, dia melempar pakaian terakhirnya dengan cara kasar. “Oh, God! Aku tidak bisa seperti ini!” gumamnya kesal menggenggam erat ponselnya.             Sambil melangkahkan kaki, dia melihat lemari khusus handuk. Dia membukanya dan mengambil satu handuk, lalu melilitkannya sampai batas pinggang. Braakkk!             Dia menutup kasar pintu lemari itu. “Aahh … ini sakit sekali!” gumamnya sambil meraba miliknya yang sejak tadi sudah mengeras.             Dia berjalan menuju ruangan kecil khusus, tempat dimana dia dan para saudaranya bermain playstation. “Oke, guys. Kau mau dimanjakan dengan apa, hmm??” gumamnya sembari berbicara dengan miliknya yang sudah menegang. Dia berjongkok di hadapan meja besar panjang berwarna coklat tua.             Meja yang di dalamnya terdapat banyak hiasan dan koleksi barang-barang tertentu miliknya. Padahal, ada fungsi lain dari meja hias ini.             Yaitu sebagai tempat penyimpanan koleksi video dan film biru miliknya. Tentu saja saudaranya, Gamal yang tahu tentang penyimpanan ini.             Tetapi tidak untuk koleksi video mereka bersama yang terletak di markas. Sebab Arash dan Gaza juga mengetahui penyimpanan vide dan film biru mereka yang ada disana. Satu jarinya menekan tombol khusus agar salah satu rak tersembunyi yang ada di meja berukuran besar itu mulai terbuka. Tak!!             Salah satu rak terbuka, lalu maju ke depan. Aiyaz mengangkat dua rak berukuran panjang, lalu mengeluarkannya dari sana, meletakkannya di lantai.             Dia menyetel televisi besar disana, lalu memilih salah satu film biru favoritnya. “Oke. Kita akan melihatnya. Wanita ini sangat seksi. Goyangannya juga sangat lihai,” gumamnya seorang diri sambil menyeringai.             Sebelum dia memutar film favoritnya, Aiyaz mengotak-atik ponselnya untuk menutup semua akses pintu masuk kamarnya. Dia mengunci pintu kamar dan pintu lift, lalu memutar film yang sudah ia masukan ke dalam sana.             Perasaan sudah tidak sabar, Aiyaz segera beranjak dari duduknya dan membawa ponsel di tangannya. Tidak lupa dia memegang remot kecil. Dia berjalan menuju sofa panjang yang ada disana. Bughh!             Tubuhnya mendarat kasar di sofa. Dia membuka lilitan handuk yang menutup setengah tubuhnya bagian bawah, lalu menarik ke bawah celana dalamnya, dan mengeluarkan miliknya yang sudah berdiri tegak. “Ssshhhh, fuckk!” geramnya mulai mengeraskan rahang.             Kedua kakinya sudah melebar, tangan kanannya mulai bermain disana, mencari kenikmatan tersendiri. Matanya mulai fokus melihat layar televisi berukuran besar disana, yang kini mulai memutar adegan favoritnya. Dia mengerang sambil sesekali memejamkan matanya, mendengarkan suara nikmat wanita yang berasal dari film yang saat ini ia putar.             Buliran keringat mulai membasahi tubuh keras dengan lekukan dimana-mana. Perut yang sangat seksi itu juga sudah terlihat mengkilap akibat keringat.             Ada perasaan aneh dalam tubuhnya saat melihat adegan sepasang kekasih disana saling memuaskan. “Fuckk!” geramnya lalu masih memijit lembut bagian tubuhnya yang sangat tersiksa.             Wajahnya menengadah ke atas, membayangkan bagaimana posisi bloowjob yang sangat ia idamkan, namun belum pernah ia rasakan sampai detik ini. Keteguhan akan status perjaka masih dipegang erat oleh seorang Aiyaz Koswara Althaf.             Erangan yang terdengar di telinganya memenuhi ruangan kamar luas yang kedap suara. Dia tidak kuasa mendengar suara rintihan wanita yang menurutnya sangat menggoda.             Tapi entahlah, berulang kali dia mencoba untuk memfokuskan pikirannya pada satu titik tertentu agar pencapaian kenikmatan itu hadir, lalu ia bisa menahannya sekali lagi. Namun, apa yang dia inginkan justru tidak tercapai.             Tubuhnya sudah basah dengan keringat. Otot kakinya bahkan sudah mengeras, menahan betapa sakitnya tubuh itu tidak kunjung mengeluarkan cairannya. “Oh, ayolah! Ini sangat sakit sekali!” gumamnya melirik ke bawah.             Dia terus merabanya lembut, bahkan sesekali dia mengusap lembut ujung yang berlubang, mengkhayalkan seorang wanita menghisapnya lembut. “Aahhh, God!!”             Aiyaz merasa sudah kehabisan akal. Dia memejamkan erat matanya.             Jika saja wanita lain melihat keadaannya saat ini, mungkin mereka akan langsung melahapnya. Bagaimana tidak, dia sudah seperti ini. Hasratnya tidak terkendali, tapi dia bingung bagaimana cara menuntaskannya. “Sialan!” geramnya mulai putus asa.             Sudah hampir 15 menit berlalu, rasanya dia ingin menghancurkan semua barang-barang di sekitarnya. Tapi entah kenapa, dia mengingat wanita itu. “Haahhh! Caca!” gumamnya pelan dan terus mengerang.             Dia mulai memejamkan matanya. Entah kenapa, dia masih mengingat wajah cerewet itu begitu membencinya.             Apa salahnya waktu itu? Sepertinya tidak ada. Tapi yang membuat heran, kenapa dia sangat marah dan seperti menaruh dendam kesumat terhadapnya. “Caca … Cempaka Candramaya. Nama yang sangat cantik sekali.” Aiyaz terus menggumamkan nama Caca dengan seringaian tipis di wajahnya. Entah kenapa, rasanya dia ingin sekali melihat wajah itu.             Dia sedikit menegakkan kepalanya, lalu menjangkau ponsel yang terletak di sisi kanannya. Entah apa yang merasuki jiwanya saat ini, dia sangat penasaran dengan wanita cerewet seperti Caca.             Apakah suaranya sangat merdu saat melambung tinggi. Dia sangat penasaran dengan cara Caca menyebut namanya saat mencapai puncak kenikmatan. Mungkinkah Caca sudah pernah menyebutkan nama pria lain, pikirnya. Tapi tidak, ini sangat mustahil untuk terjadi. Bagaimana mungkin libidonya semakin naik hanya dengan membayangkan wajah cerewet itu. “Aahh, Caca!” geramnya tanpa berhenti mengotak-atik ponselnya.             Yah, apapun bisa dilakukan oleh siapa saja yang memiliki harta, tahta, dan jabatan. Karena pada hakikatnya, kekuasaan adalah modal utama untuk mendapatkan apapun yang kita inginkan selain ketulusan cinta.             Sejak awal dia mencari tahu mengenai identitas asli seorang Cempaka Candramaya, dia sudah membajak segala hal yang berkaitan dengannya. Termasuk sekarang ini, dia telah masuk ke dalam alamat surat elektronik milik Caca hingga dia bisa mengakses segala foto pribadinya. “Oh my God!”             Aiyaz kembali berdesis saat melihat semua koleksi foto milik Caca. Tidak hanya foto dengan pakaian tertutup, bahkan foto Caca hanya memakai handuk sebatas d**a juga tertampilkan disana. “Aaahhh …”             Mata yang tidak berhenti melihat foto-foto seksi Caca. Apalagi saat melihat beberapa foto dimana Caca hanya memakai pakaian dalam saja. Gunung kembar disana terlihat menyembul keluar. “Ssshhh … Caca …”             Tangannya tidak berhenti bermain. Kini tangan kirinya tidak berhenti memperbesar foto disana, betapa mulusnya tubuh Caca dengan senyuman manis seakan tertuju untuknya seorang. “Kau cantik sekali, Ca. Oh, God!”             Pikirannya tertuju pada botol khusus sebagai pelumas. Dia langsung beranjak dari duduknya, dan mengambil botol itu di rak yang masih terbuka, di meja hias itu.             Dia memanfaatkan pelumas itu membantunya mencapai puncak kenikmatan. “Ssshhh … Caca …”             Aiyaz terus memanggil nama Caca, sampai gelanyar aneh yang ia inginkan kini membuat sensasi meremang di tubuhnya. Khayalan bercinta dengan Caca sudah merangsang otak kotornya. Tidak peduli, karena dia ingin segera menuntaskan hasrat yang telah membara sejak ia berada di kantor. Seakan ia tengah bercinta dan memandangi lekukan tubuh indah seorang Cempaka Candramaya. Satu nama yang kini mengotori pikirannya. Hampir membuatnya mencapai titik utama. Dia segera mengambil handuk tadi, dan menutup tubuhnya. Cairan itu menyembur ke atas dan mengenai handuk. “Oughhh s**t!”             Tubuhnya mulai melemas. Kakinya memanjang di lantai. Kepalanya bersandar disana, dengan d**a masih naik turun mengatus napas teratur. “Aahhh … kerja yang bagus, guys!” gumamnya sambil meraba sesuatu yang kini sudah lemas.             Belum lama dia puas, telinganya seakan geli mendengar suara erangan dari film yang masih berputar. Tangan kirinya menjangkau remot kecil di dekatnya, lalu menghentikan film itu. “Dasar tidak berguna! Kalian kalah dengan makhluk cerewet itu!” gumamnya mengumpat sepasang kekasih yang ada di layar televisi. Dia membuang kasar pandangannya ke lain arah.             Aiyaz merasa bahwa dia mulai gila sejak hari ini. Bagaimana mungkin wanita cerewet seperti Caca bisa membantunya untuk melepas hasrat. “Aaahh …” Dia kembali mejangkau ponselnya, dan melihat foto Caca disana.             Tidak, hanya dengan melihat fotonya saja, bagaimana mungkin dia bisa tertarik. Pikirannya mengenai penghangat ranjang, lagi-lagi membuat Aiyaz kesal. “Ayolah, Aka! Jangan bodoh! Dia hanya wanita biasa! Dia pasti sudah pernah melakukannya!”  gumamnya asal.             Sesaat, dia mengingat detail identitas Caca. Tidak hanya mengetahui secara identitas, tapi melihat dari fisik dan sikapnya, Aiyaz merasa jika Caca memang wanita baik-baik. Tapi kenapa dia mengalihkan pikirannya sendiri dan berpikir kalau Caca sudah pernah melakukannya dengan banyak pria. “Apa yang kau pikirkan?? Kau hanya mau memberinya pelajaran saja, hey! Ayo, bersihkan pikiranmu, Aka! Jangan berpikiran kotor! Tidak boleh! Kau tidak boleh mengotori pikiranmu!” gumamnya meyakinkan dirinya sendiri.             Tapi matanya tidak berhenti menatap semua foto Caca yang ditampilkan di layar ponselnya. Saat dia hendak menekan satu foto disana, tiba-tiba saja satu panggilan masuk disana. Polar Bear is calling… “Ada apa lagi dia menghubungiku!” gumamnya kesal.             Dia langsung menggeser warna hijau di layar ponselnya. “Hhmm …” “Assalamu’alaikum?” “Hmm, ada apa?” “Begitu cara menjawabmu?” “Wa’alaikumsalam, Tuan Arash Rajaswa Althaf. Saya, Aiyaz ada disini. Ada yang bisa saya bantu??”             Nada bicara Aiyaz terdengar mengejek, sebab dia masih kesal dengan pria ini karena kejadian rapat tadi pagi. “Besok pagi kita pergi ke Dubai, aku harap kau ingat itu. Grandma mau kita berada di Dubai, 3 hari sebelum acara.” “Ya, aku ingat.” “Baiklah, urus semuanya besok pagi. Assalamu’alaikum.” Tuttt… Tutt… Tutt… “Apa-apaan dia??” gumam Aiyaz tidak suka dengan sambungan telepon terputus tiba-tiba. “Haahh!” Dia melempar kasar ponselnya di sisi kanan, lalu menengadah ke atas.             Kenapa dia bisa lupa dengan keinginan sang Grandma, sementara dia memiliki niat lain. Seandainya besok dia tidak ikut pergi ke Dubai, sudah bisa dipastikan kalau wanita lansia yang sangat ia sayangi itu pasti akan merajuk sepanjang masa.             Berbeda dengan sang Grandma, Anta. Grandma mereka, Zuha lebih susah untuk dibujuk. Bahkan dia harus tidur satu malam dengannya, baru wanita itu mau luluh. “Ohh, Grandma. Apa aku tidak bisa menundanya?” Aiyaz terpaksa memilih pergi ke Dubai dari pada berjumpa dengan Caca besok pagi.  Padahal, dia sudah tidak sabar ingin bertemu dan mendengar suara wanita itu lagi. Bukan berhubungan tentang hasrat, tapi untuk melakukan permainan kecil sebagai balasan atas sikap angkuh Caca terhadapnya beberapa waktu lalu.             Tubuh yang lengkat membuat Aiyaz sangat risih. Dia melihat jarum jam di atas sana menunjukkan pukul 6 kurang beberapa menit.             Mandi adalah keputusan terbaik saat ini. Setidaknya dia sudah lega karena telah melepas hasrat. Lupakan mengenai dia yang terus memanggil nama Caca tadi. “Buat apa aku memikirkannya? Haahh! Itu karena tadi aku belum sadar!” gumamnya lalu berdiri dan melilitkan handuk di pinggangnya.             Tanpa berniat membereskan semua yang ada disana, Aiyaz berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan mandi besar. Kamarnya sudah terkunci rapat, tidak masalah jika dia membereskannya nanti. *** The Theodore Home, New York, USA., Kamar Cempaka., Malam hari.,             Caca sangat bersemangat sekali. Sejak sesampainya di apartemen, dia langsung mengerjakan semua tugas yang dibebankan kepadanya.             Tidak mengeluhkan apapun, sebab semangat yang ada di dalam dirinya telah menanti hari esok. Dia sudah tidak sabar untuk segera melakukan magang di perusahaan besar itu.             Tentu saja Caca sudah tidak sabar, sebab dia ingin sekali merasakan bagaimana susah dan jatuh bangun di dunia kerja. Bagaimana metode kerja nyata serta perbedaan besar antara tertulis dan langsung terjun ke lapangan. “Besok pakai baju yang mana ya??” gumamnya terus mencari pakaian yang cocok untuk acara besok pagi.             Yah, dia merasa harus berpenampilan menarik dan sopan. Apalagi dia akan memakai tanda pengenal dimana terdapat logo Althafiance di sekitar namanya. “Aahh, aku sudah tidak sabar ingin memakainya. Aku akan mengirim tanda pengenalku kepada mereka. Ayah dan Ibu pasti bahagia. Mbak Indri pasti senang.”             Caca terus bergumam sambil menyibak semua pakainnya. Saat warna itu menarik perhatiannya, dia mengambil satu gantungan baju kemeja berwarna putih dengan motif renda pada kerah kemejanya. “Ini saja, sepertinya cocok.”             Lalu dia mengambil sweater berwarna hitam pekat disana. Dia melempar pakaian yang ia pilih ke arah ranjang single disana. “Kalau celana? Katanya tidak boleh pakai celana, harus pakai rok.”             Dia mengerucutkan bibirnya, lalu berpikir untuk penampilannya. Mata Caca terus menyusuri isi lemari sederhana miliknya, melihat koleksi rok yang ia miliki.             Tangannya menjangkau satu rok berwarna hitam. Dia langsung menempelkan ke tubuhnya. “Diatas lutut. Sepertinya ini pendek sekali, tapi—”             Tiba-tiba dia teringat dengan penampilan rapi wanita yang menjadi tamu spesial mereka tadi siang. “Dia memakai diatas lutut dan rapi sekali. Sepertinya ini tidak salah,” gumamnya lagi lalu menutup pintu lemarinya.             Caca menyusun setelan yang akan ia kenakan esok pagi, diatas ranjangnya. Dia menggigit jari telunjuk kanannya, memastikan jika apa yang ia siapkan malam ini adalah cocok.             Setelah dia meyakinkan hatinya, Caca membereskan semua keperluannya untuk besok pagi. Dia merasa harus tidur lebih cepat malam ini agar besok dia terlihat segar.             Tidak lupa dia memikirkan menu yang akan ia masak esok pagi. Walau dia belum tahu bagaimana dengan jadwal mereka di perusahaan besar itu, tapi Caca mau berjaga-jaga seandainya mereka pulang sore seperti karyawan yang lain, dan dia membawa bekal sendiri untuk makan siang.             Caca tidak mau berpikiran lebih mengenai jatah makan siang yang akan mereka terima. Karena bagi Caca, sudah diterima magang dengan fasilitas memadai saja, itu sudah lebih dari cukup.             Malam ini dia harus benar-benar merelakskan tubuhnya. Mengusir segala pikiran kotor dari jiwanya. Karena besok dia akan menyambut hari indah seakan membuka kertas putih baru untuk diwarnai dengan perjalanan hari yang baru. ..**..             Keesokan paginya, Caca sangat bersemangat untuk menjalani hari barunya. Selama di perjalanan, Caca sudah sangat siap dengan segala hal baru yang akan ia lalui hari ini.             Walau jarak yang ditempuh sekitar 1 jam dari apartemennya, dia tidak putus semangat. Caca merasa jika jarak itu adalah tantangan baginya.             Setelah sampai disana, Caca tidak menyangka jika gedung Althafiance Corporation sangatlah tinggi sekali. Bahkan matanya tidak sanggup untuk melihat ke atas dalam waktu 5 detik saja.             Halaman bagian depan dengan lantai mengkilap. Caca paham jika lantai itu pasti dibuat dengan bahan dasar yang sangat mahal sekali.             Sejujurnya dia sangat gugup menginjak lantai yang merupakan area depan Althafiance. Karena ini adalah kali pertama baginya menginjak lantai mewah yang sering diinjak oleh para pekerja Althafiance. Bahkan lantai mahal ini menjadi tempat lalu lalang mobil mewah pekerja perusahaan raksasa yang sedang ia jajaki.             Dia sangat yakin dengan kedatangannya pagi ini. Sesampainya di depan pintu masuk utama gedung, dia memperkenalkan diri kepada satpam disana. Pakaian mereka bahkan sangat rapi, dan tidak terlihat seperti seorang satpam.             Saat Caca menyebutkan nama lengkapnya, dia langsung dilayani dan diantar oleh salah satu satpam untuk menjumpai bagian resepsionis. Bagaimana Caca tidak terkesima, sebab pelayanan mereka begitu ramah dan luar biasa.             Belum sempat Caca memperkenalkan diri kepada pihak resepsionis, dia langsung diantar oleh salah satu dari mereka dan berjalan menuju lift yang terdapat tulisan khusus disana. Caca begitu gugup masuk ke dalam lift mewah itu. Karena ini adalah pengalaman pertamanya berada di dalam lift yang menurutnya sangat mewah. Lift yang berlapis kaca dan memiliki aroma wangi yang sama saat dia pertama kali masuk ke dalam gedung mewah ini. Begitu lama mereka keluar dari lift, Caca melihat jika angka disana menunjukkan lantai 100. Dia bahkan susah menegukkan salivanya sendiri. Tidak lama dia dengan perasaan gugupnya, Caca diantar untuk menjumpai salah satu wanita yang menjadi pengurus utama mahasiswa yang akan magang di perusahaan ini. Karena dia adalah mahasiswa pertama yang datang, dia diminta untuk menunggu sampai beberapa mahasiswa lain yang sudah menyetuju surat undangan ikut hadir di ruangan tunggu yang saat ini ia tempati. Dia menunggu hampir 10 menit. Dan ternyata mahasiswa lain yang berada di satu jurusan yang sama, namun berbeda tingkatan dengannya. Mereka juga datang lebih awal sama sepertinya. Saat mereka semua sudah berkumpul, wanita yang mengurus mereka mulai membuka acara pagi itu. Dia menjelaskan segala hal yang berkaitan dengan jadwal magang mereka dan apa saja yang harus mereka lakukan. Tidak lupa wanita itu mengatakan jika 4 mahasiswa yang hadir dan sudah menyetujui surat undangan itu adalah mahasiswa yang telah dinyatakan lulus seleksi. Lalu sisanya yang belum menyetujuinya, telah dibatalkan. Bagaimana mereka berempat tidak terkejut, jika keputusan cepat adalah point utama penilaian awal perusahaan ini. Caca bersyukur sebab kemarin siang dia langsung mengambil keputusan yang tepat.             Wanita itu juga menjelaskan jika mereka akan magang di divisi yang berbeda. Dan semua akan diatur ulang oleh pemimpin mereka.             Dia tidak mengatakan siapa pemimpin utama atas perintah surat undangan itu, tapi dia hanya mengatakan jika pemimpin mereka sedang ada urusan di luar negeri sehingga jadwal magang mereka harus ditunda sampai 1 minggu ke depan.             Awalnya mereka sempat kecewa, tetapi wanita itu kembali memberi semangat untuk mereka dengan memberikan tanda pengenal atas nama perusahaan Althafiance.             Caca dan ketiga mahasiswa lain merasa sangat beruntung mendapatkan tanda pengenal itu. Tidak hanya nama mereka tertera disana sebagai mahasiswa jurusan bisnis menejemen, tetapi terdapat logo Althafiance disana.             Setelah selesai menyampaikan informasi lengkap untuk mereka, wanita itu menyuruh mereka untuk kembali pagi itu juga. Jadwal mereka untuk hadir kembali akan diinformasikan melalui alamat surat elektronik masing-masing.             Caca menyempatkan diri untuk berfoto di halaman utama gedung pencakar langit itu. Tidak hanya dia, tetapi ketiga mahasiswa lain yang beruntung seperti dirinya juga berfoto ria disana. Setelah itu, mereka kembali ke tujuan masing-masing. …             Selama di perjalanan pulang, Caca terus mengusap tanda pengenalnya. ‘Bu … Caca benar-benar akan magang disana. Doakan Caca, Bu. Semoga Caca bisa bekerja disana setelah Caca selesai kuliah,’ bathinnya sambil memejamkan mata.             Tidak ia sangka, air mata itu menetes di kedua sudut matanya. Dia mengingat kembali awal mula ia melakukan segala hal agar bisa lulus di Universitas, tempat ia menimba ilmu saat ini. Keluarganya benar-benar mengeluarkan banyak uang untuknya. ‘Caca janji akan membahagiakan kalian. Caca janji akan membalas kebaikan kalian, Mbak, Mas.’ Dia tersenyum dan melihat ke arah jalanan padat diluar sana. * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN