---**---
Rumah Cipto Pracandra, Jakarta, Indonesia.,
Kamar Caca.,
Pagi hari.,
Suara itu kembali melengking memanggil namanya.
“Caca!!”
Dia memutar malas bola matanya kala mendengar teriakan sang Ibu. Baru saja selesai menyisir dan mengikat rambutnya, Caca harus dihadapkan oleh teriakan khas sang Ibu yang selalu terdengar setiap hari.
Padahal dia baru saja selesai mandi. Tidak salah jika dia harus berdandan dulu sebelum akhirnya dia terjun ke dapur bersama dengan Ibu dan Kakak Iparnya.
“Ibu selalu saja gitu! Gak tahu apa, kalau anaknya lagi dandan!” Gumamnya sebal dengan wajah mulai tertekuk.
Tidak ingin berlama-lama, dia segera melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Tidak lupa baginya untuk membawa handuknya yang setengah basah.
…
Dapur.,
Wanita itu menoleh ke arah pintu pembatas antara ruangan utama dan dapur. Tawa gelinya terdengar oleh sang Adik Ipar yang mulai bersuara.
“Gak usah ketawa juga kali, Mbak!” Ketusnya berwajah sebal. Dia masih melanjutkan kalimatnya.
“Mas Cakra!! Mbak Indri ngetawain aku mulu, Mas!” Teriaknya mulai mengadu kepada sang Abang kandung.
“Dek … jangan ganggu Caca. Biarin dia omelin sama Ibu.” Balas Cakra yang tengah berada di halaman samping rumah. Dia juga ikut mendengar keributan ringan yang terbiasa dia dengar setiap pagi. Dan balasannya membuat suasananya semakin kacau untuk Caca.
Cakra Pradierja, pria berusia 25 tahun itu merupakan Abang kandung Caca. Dia sudah memiliki istri bernama Indria Rahayu.
Usia mereka hanya beda 1 tahun. Tentu saja Cakra lebih tua 1 tahun dari sang istri.
Pernikahan mereka sudah dikaruniai 1 orang anak perempuan cantik yang masih berusia 1 tahun. Mereka hidup 1 rumah bersama keluarga Cakra.
Sebagai seorang anak laki-laki satu-satunya, Cakra mendukung segala keputusan sang Adik yang ingin melanjutkan pendidikan ke Luar Negeri. Bekal saku yang sudah dia kumpulkan selama ini, akhirnya mantap menyuruh sang Adik untuk mendaftar beasiswa di Universitas yang dia inginkan.
Sembari menunggu hasil pengumuman tes beasiswa, Cakra hanya mengizinkan sang Adik untuk membantu usaha warung bakso keluarga mereka. Usaha mereka juga didukung oleh sang Istri, Indri.
Kehidupan sederhana yang ditanamkan oleh orang tuanya, dilanjutkan oleh Cakra yang menjadi tulang punggung keluarganya sejak lama. Apalagi dia memiliki Adik semata wayang yang sangat dia sayangi, Cempaka Candramaya.
…
Selesai dengan kebiasaan pagi mereka, Caca mendekati Kakak Iparnya.
“Cantika sudah bangun, Mbak ?” Tanya Caca mulai berjongkok dan mendaratkan bokongnya di lantai tanpa alas apapun.
Dia mulai membantu sang Kakak Ipar yang tengah memetik cabai.
“Tadi dia bangun minta s**u. Terus Mbak langsung mandiin dia, ehh … gak lama, dia tidur lagi.” Jawab Indri melirik Caca sekilas.
Kepala Caca tampak mengangguk paham. Dia mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut dapur. Ayah dan Ibunya tak kelihatan disana.
“Ibu sama Ayah kemana, Mbak ?” Tanyanya penasaran sembari melirik Indri.
Pertanyaan itu terdengar jelas di telingnya. Namun melihat air yang dia masak sudah menguap, dia beranjak dari duduknya dan mendekati kompor.
“Ayah sama Ibu pergi ke warung sebelah, Ca. Mau ambil bumbu. Katanya, bumbunya sudah siap.” Jawab Indri sembari mengangkat panci berisi air, dan memutar haluan kompor itu hingga apinya padam. Dia kembali mendekati Caca dan melanjutkan kegiatannya memetik cabai.
Caca kembali menganggukkan kepalanya.
“Oh …”
Cakra masuk ke dalam rumah, membawa ember kecil dan gayung di tangannya.
“Sarapan dulu. Tadi Mas sama Mbak beli lupis sama candil.” Dia melirik mereka berdua yang tengah berbincang disana.
Indri melihat ke arah sang suami yang tampaknya sudah selesai mencuci becak kecil yang sering digunakan untuk mengangkut makanan ke warung mereka.
“Dah selesai nyuci becaknya, Mas ?” Tanya Indri melirkknya sekilas.
“Udah, Dek. Ini Mas mau langsung ke warung, beresin warung dulu.” Ucapnya memberitahu.
Caca langsung melirik ke arah sang Abang. Tiba-tiba, dia teringat sesuatu.
“Mas, jangan lupa sekalian ambilkan charger ponsel Caca. Tadi malam Caca lupa bawa pulang.” Dia memberi perintah, dan segera diiyakan oleh Cakra.
“Iya, nanti Mas ambil.” Jawabnya singkat.
Cakra mengambil kunci sepeda motornya, dan mengambil jaket kulit miliknya.
“Mas pergi dulu.” Dia berpamit pada Istri dan Adiknya, Indri dan Caca.
“Iya, Mas. Hati-hati dijalan.” Jawab Indri melihat bayangan sang suami menghilang dari balik pintu samping rumah.
“Iya, Mas.” Caca membalasnya dengan lirikan menuju arah samping rumah.
Indri sempat membuka suaranya lagi.
“Kunci warung jangan lupa, Mas ?” Indri sedikit meninggikan suaranya, mengingatkan sang suami.
“Sudah, Dek!” Jawab Cakra menghidupkan sepeda motornya, dan mulai melajukannya.
Setelah kepergian Cakra, Indri melirik Caca yang masih membantunya.
“Ca, sarapan dulu. Ini biar Mbak yang blender.” Ucapnya seraya menyuruh sang Adik Ipar untuk mengisi perutnya.
Caca meletakkan beberapa cabai yang dia petik ke tampah di hadapannya.
“Iya, Mbak.” Jawabnya singkat lalu beranjak dari duduknya.
Tidak berjalan menuju meja makan, Caca justru berjalan masuk ke arah ruang utama.
“Loh, loh … mau kemana ?” Tanya Indri yang memperhatikan gerak-gerik Caca.
“Mau cium Cantika dulu, Mbak. Habis itu, nanti Caca sarapan.” Jawabnya santai dan tetap melanjutkan langkah kakinya.
“Jangan diganggu ya, Ca. Dia baru saja tidur tadi.” Indri mengingatkan Caca.
“Iya, Mbak!” Nadanya sedikit meninggi, sebab dia sudah berbeda ruangan dengan sang Kakak Ipar.
..**..
Setelah puas menciumi Cantika tanpa membangunkan tidur keponakan cantiknya itu, Caca kembali ke dapur untuk membantu sang Kakak Ipar. Karena seperti biasa, dia membantu usaha keluarganya yang sudah dirintis oleh Ayah dan Ibunya sejak mereka kecil.
Cempaka Candramaya, gadis yang usianya mulai genap 20 tahun. Setelah lulus pendidikan terakhirnya, SMA. Dia belum melanjutkan pendidikan karena keluarganya masih menabung demi keinginannya melanjutkan pendidikan ke Luar Negeri di Universitas favoritnya.
Setelah lulus SMA, dia berniat bekerja sembari dirinya selesai bimbingan percakapan khusus Bahasa Inggris, dan mahir menggunakan Bahasa yang sudah bertaraf Internasional itu. Namun sayangnya, sang Abang tidak mengizinkannya.
Cakra menyuruh Caca untuk membantu usaha warung bakso keluarga mereka saja. Begitu juga Indri yang juga menasehati Caca agar menuruti nasihat keluarganya.
Walau Caca sempat merasa menjadi beban keluarga, namun Indri selalu ada untuk Caca dan memberikan pemahaman bahwa sebagai seorang anak kita memiliki tugas pada waktu yang tepat. Indri selalu menasihatinya, kalau Caca tidak perlu memikirkan masalah beban diri.
Karena suatu saat nanti, Caca pasti bisa membalas rasa lelah keluarganya dengan masa depannya yang cerah. Begitulah Indri terhadap Adik Ipar semata wayangnya.
Indria Rahayu, dia merupakan anak tunggal di keluarganya. Sejak kecil, dia selalu memimpikan untuk bisa memiliki seorang Adik perempuan. Namun sayangnya, sang Mama tidak bisa mengabulkannya.
Sejak dia menikah dengan Cakra, keinginannya terwujud. Dia memiliki Adik Ipar perempuan, bahkan dia sudah menganggap Caca sebagai Adik kandungnya sendiri.
Itulah kenapa Indri sangat menyayanginya. Tidak jarang Indri menyisihkan uang belanjanya demi memberikan uang saku untuk Caca. Atau bahkan dia mengeluarkan uang pribadinya untuk berbelanja bersama Adik Iparnya itu.
Sebagai seorang Kakak Ipar, Indri tahu jika Caca anak yang mandiri. Dia tidak mau menjadi beban keluarga, apalagi saat ini dia hanya berada di rumah saja.
Uang saku dari Ibu mertuanya mulai berkurang. Dan suaminya, Cakra. Dia tahu kalau suaminya sering memberi uang jajan untuk Caca. Dia hanya berpura-pura tidak tahu saja. Tidak merasa iri, bahkan dia justru merasa senang.
Indri memang berasal dari keluarga yang terbilang serba berkecukupan. Namun hidupnya yang dulu serba ada sebelum menikah dengan sang suami, tidak membuat Indri menjadi wanita tamak di keluarga Cakra.
Dia justru menerima keluarga Cakra dengan apa adanya. Karena dia merasa, keluarga Cakra sangat baik bahkan Ibu mertuanya juga menganggapnya sebagai putri kandung sendiri.
Syukurnya tiada henti, saat kedua orang tua kandungnya juga mau menerima keadaan keluarga mertuanya dengan tangan terbuka. Bahkan Papa dan Mamanya juga sangat menyayangi suaminya. Itu sebabnya, Indri merasa jika tidak salah dia mendukung keluarga suaminya dan ikut membantu mewujudkan keinginan Caca demi masa depannya.
Itulah kebahagiaan Caca, kebahagiaan yang berasal dari keluarga yang selalu mendukung keinginan dan cita-citanya. Walau mereka hidup sederhana, namun Caca sudah merasa cukup dengan dukungan mereka.
Apalagi dia masih menunggu jadwal pengumuman beasiswa di Universitas favoritnya. Setelah selesai tes melalui sistem online, dia berharap jika doa dan usahanya selama ini tidak sia-sia.
***
Warung Bakso Pakde Cipto, Jakarta, Indonesia.,
Pagi menjelang siang hari.,
Warung yang sangat sederhana sekali. Tidak terlalu besar, namun cukup untuk 25 pelanggan yang datang setiap hari.
Usaha warung milik keluarga Caca ini dirintis oleh Ayahnya sejak masih pacaran dengan sang Ibu. Dan dia bersyukur, warungnya ini berjalan lancar sampai dia sudah berusia 19 tahun.
…
“Caca, kamu ini ke warung kok ya malah bawa laptop. Nanti mau kamu letak dimana, kalau warung rame, Nduk ?” Tanya pria berusia 45 tahun itu kepada anak perempuannya yang duduk di meja paling pojok.
Caca melempar pandangannya selama beberapa detik ke arah pria itu, Ayahnya. Kemudian dia beralih menatap laptop yang ada di hadapannya.
“Sebentar lagi pengumuman hasil tes, Yah. Mungkin 20 menit lagi.” Jawab Caca terus menatap laptopnya. Dan memainkan jemarinya disana.
Jawabannya dibalas oleh wanita berusia 43 tahun yang tengah menyusun mangkuk disana.
“Memangnya hari ini toh pengumumannya ?” Tanya wanita itu tanpa melirik ke arah sang anak.
“Iya, Bu.” Jawabnya singkat dengan fokus masih pada laptopnya.
Cipto Pracandra, pria yang akrab disapa Cipto. Dia adalah seorang pria pekerja keras yang selalu mendukung keputusan sang anak. Apalagi istrinya, Mayang Dierja juga turut membantunya dalam mencari rezeki untuk keluarga mereka.
Mereka berdua sangat bahagia, sebab anak laki-laki dan menantu mereka juga tidak keberatan jika harus bekerja keras demi mewujudkan keinginan putri semata wayang keluarga Pracandra itu.
“Yauda, yang penting nanti kalau rame … Caca jaga kasir aja sambil jaga laptop. Biar yang ngurus pelanggan nanti, Mbak sama Mas Cakra aja.” Jawab Indri dengan bijak. Karena dia memahami waktu Caca hari ini.
Namun Maya, dia merasa menantunya lupa jika cucunya yang saat ini tengah tidur di ayunan harus ada yang menjaganya.
“Lah, jadi yang jaga Cantika siapa ?” Tanyanya.
Caca langsung menyahutnya.
“Biar Caca aja, Bu.” Jawabnya lagi.
..**..
Mereka saling bekerja sama membereskan warung, karena sebentar lagi sudah waktunya masuk jam makan siang. Biasanya, pelanggan akan mulai berdatangan di jam makan siang.
Caca masih terus berada di depan laptopnya. Perasaannya gelisah menunggu hasil pengumuman tesnya.
Tapi dia sudah mewanti-wanti diri. Jika hasil tes tidak sesuai dengan harapan, maka dia harus menerimanya dengan ikhlas.
Abangnya, Cakra melihat bagaimana sang Adik sedikit khawatir dengan hasil tes nanti. Namun Cakra berusaha mendinginkan pikirannya dan mengatakan jika tidak lulus, berarti rezeki kita ada di lain Universitas.
Tidak hanya Cakra, Ayah dan Ibunya juga turut memberikan kalimat bijak untuk Caca demi semangat anak perempuan mereka agar tidak terputus. Mereka mengatakan jika Caca bisa melanjutkan pendidikan di Negeri ini dan mencari Universitas Swasta yang dia mau.
Berbeda dengan mereka, Indri justru memberikan semangat untuk Adik Iparnya. Sebelum tes diumumkan, Indri mengatakan jika harapan Caca harus besar agar namanya masuk ke dalam nominasi beasiswa di Universitas yang dia inginkan.
Karena Indri yakin sekali jika usaha dan doa Caca tidak akan sia-sia. Apalagi dia tahu kalau Caca adalah gadis cerdas dan selalu mendapatkan beasiswa sejak dia menginjak Sekolah Dasar.
Hari semakin siang, namun warung bakso mereka belum dikunjungi satu pelanggan pun. Tidak memusingkan hal itu, mereka justru ikut melihat bersama hasil pengumuman tes Caca.
…
“Sini, Cantika biar Nenek saja yang gendong.” Ucap Maya meminta sang cucu dari gendongan Indri.
Indri langsung memberikan putrinya kepada Ibu mertuanya, dan kembali duduk di sebelah Caca. Bahkan Cakra dan sang Ayah, Cipto juga berdiri di belakang mereka untuk melihat hasil pengumuman itu.
“Bismillah dulu, Nak.” Cipto mengingatkan sang putri.
Caca mengangguk mantap.
“Iya, Yah.” Jawabnya dengan suara terdengar getir.
Indri melirik ke arah kanan, mengamati ekspresi Caca yang tampak harap-harap cemas. Dia merangkul pundaknya.
“Udah … jangan gitu ah ekspresinya. Kalau rezeki, pasti Allah beri jalan.” Dia mencoba untuk menenangkan hati Adik Iparnya.
Caca mengangguk kembali dengan senyuman tipis di kedua sudut bibirnya.
Cakra, dalam hati kecilnya dia sudah berdoa seharian ini. Harapan besarnya pada Tuhan agar bisa meloloskan seleksia beasiswa Adik semata wayangnya.
Meski dia sudah menyiapkan hati teguh jika semua tidak sesuai dengan harapan mereka. Tapi dia sudah menyiapkan pilihan kampus untuk Adiknya nanti.
Cipto dan Maya, jangan tanya bagaimana perasaan mereka saat ini. Tegang dan sudah pasti mereka tidak mau jika putri mereka kecewa dengan hasilnya nanti.
“Ibu sama Ayah gak apa-apa kan ? Kalau Caca gak lolos seleksi ?” Tanya Caca dengan kedua mata masih fokus menatap layar laptopnya.
Cakra terenyuh mendengar pertanyaan Caca. Dia langsung mendekatinya, dan merundukkan tubuhnya.
“Nanti kita bisa coba disini aja. Kalau gak lolos, berarti rezeki Caca disini.” Ucapnya menyemangati Caca dengan menepuk pelan pundaknya.
Indri turut tersenyum mendengar kalimat suaminya. Dia tahu, jika suaminya pasti peka melihat ekspresi Caca yang takut membuat mereka kecewa.
Namun mereka bingung, saat melihat Caca mulai berdiri dan menjauhi meja.
“Loh, mau kemana ?” Tanya Indri.
Mereka semua tampak bingung dengan sikap Caca yang aneh.
“Mbak, coba Mbak tekan kotak yang warna biru. Nanti akan keluar hasilnya.” Gumamnya sembari menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Maya, dia mendekati Caca dan mengelus pundaknya.
“Udah, ini kan cuma tes. Gak menentukan hidup dan mati.” Ujar Maya menenangkan putrinya.
Cipto dan Cakra juga tampak khawatir, namun mereka enggan menunjukkannya.
Indri, dia mulai menekan tombol yang dipinta oleh Caca.
“Bismillahirrohmannirrahim …”
Mereka semua kompak mengucapkan kalimat Basmalah. Jemari Indri mulai menekan kotak biru yang ada di layar laptop.
Jaringan mulai bekerja. Caca sudah menutup wajahnya. Maya terus memeluk putrinya.
Sadar dipeluk oleh Ibunya, Caca beralih memeluk Ibunya dan mencium puncak kepala keponakannya, Cantika.
Tidak lama berselang detik. Indri melihat ke layar laptop. Jantungnya berdetak cepat membaca kalimat yang ada disana.
Deg!
“Eh … lulus ini, Dek ?” Tanya Indri penasaran dan mendekati laptop Caca.
“Hah ? Serius, Mbak ?”
Cakra mendekati laptop dan membaca nama sang Adik disana. Tertera kata lulus disana.
“Ca! Kamu lulus, Dek!” Dia melihat Caca yang masih menggelengkan kepalanya.
“Jangan bohong, Mas!” Teriak Caca tidak percaya. Dia masih bersembunyi balik bahu sang Ibu.
“Iya, demi Allah … kamu lulus, Dek!”
Cipto yang tidak paham, dia melihat ke arah layar laptop. Indri berdiri dari duduknya, dan menunjukkan kata lulus kepada Ayah mertuanya.
“Lihat, Yah ? Ini lulus kan, Yah ?”
“Ya Allah Gusti … Lulus ? Anakku lulus ?” Cipto menatap Cakra tak percaya. Matanya mulai berkaca-kaca.
Cakra langsung menarik lengan Caca, dan menyuruhnya untuk melihat hasil pengumuman itu.
“Itu lihat ?! Luluskan ?” Cakra tampak antusias.
Kedua matanya mulai memerah.
“Hah ?!”
“Ibu, Caca lulus!!” Teriaknya kegirangan sambil menutup mulutnya tak percaya.
Spontan dia berjongkok, menutup rapat wajahnya. Dia langsung menangis, melihat hasil pengumuman bahwa dia lulus mendaftar beasiswa di Universitas Columbia, New York, USA. Dia tidak percaya dengan hasil pengumuman itu.
Cipto dan Maya mulai menangis melihat hasil pengumuman yang sangat mereka harapkan itu. Indri, dia memeluk Caca.
“Jangan nangis, Dek. Kamu lulus. Ya Allah, terima kasih. Adikku lulus.” Ucapnya bergemetar sembari memeluk Caca, dan menyuruhnya berdiri.
Keadaan sangat haru untuk mereka. Caca memeluk Kakak Iparnya sambil menangis. Dia juga memeluk sang Ibu dan mengucapkan banyak terima kasih untuk doanya selama ini.
Tidak lupa dia memeluk Ayahnya, Cipto. Dia terus terisak dan berterima kasih karena mau mendukung keputusannya berkuliah di Luar Negeri.
Cakra juga memeluk sang Adik. Dia berpesan kalau Caca harus semangat mulai detik ini, karena kehidupan barunya akan dimulai.
*
*
Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)