‘Apa itu?’ bathinnya melirik ke arah lembaran tebal yang disodorkan padanya.
“Oh Maii??” Caca menganga, mulutnya terbuka lebar.
“Kau bekerja padaku mulai hari ini,” ujar Aiyaz dengan nada datar. Lalu berpura-pura fokus membaca berkas yang ada di tangannya.
Deg!
Perlahan, dia menatap pria itu. Matanya mengerjap berulang kali.
“Kerja? Mak-maksudnya kerja apa?” tanya Caca mulai bergidik ngeri.
Aiyaz mengerutkan kening melihat ekspresi tak biasa dari Caca.
“Kerja. Kau magang di perusahaan ini sekaligus bekerja padaku. Kau … membantu segala pekerjaanku. Aku akan menyuruhmu membereskan beberapa hal, mempermudah segala urusanku,” ujarnya sambil menggerakkan jari kiri, untuk meyakinkan Caca akan semua kebohongan manisnya barusan.
Caca masih tertegun menatap lekat Aiyaz.
‘Kerja? Ap-apa aku tidak salah dengar?’ bathinnya masih tidak percaya.
Glek!
Aiyaz merasa berat menegukkan salivanya sendiri. Eskpresi Caca dengan bibir menganga seperti itu, membuatnya susah bernapas.
Tapi dia sedikit takut. Apakah Caca memiliki penyakit langka lain. Kenapa dia diam saja dan mematung seperti itu, seperti penyakit ayan, pikirnya.
“Hey??” Aiyaz berusaha menyadarkan Caca dengan mengibaskan telapak tangan kanannya ke arah wajah melamun itu.
Caca terkesiap.
Glek!
“Aahh, iya? Iya, Mas Aka? Ah, maaf. Maksud saya, Pak.” Caca membenarkan posisi duduknya, lalu tersenyum kaku.
Aiyaz berdehem dan kembali mendatarkan ekspresinya. Syukurlah Caca masih normal, pikirnya lagi.
Dia menaik turunkan kedua alisnya, sambil memberi isyarat melalui dagu, menunjuk ke arah tulisan yang ia sodorkan ke arah Caca. Tanpa suara, dia bertanya mengenai persetujuan Caca.
Tentu saja dia bingung dengan bahasa isyarat itu. Keningnya bahkan berkerut. Dia memajukan wajahnya ke depan, menekan tubuhnya sampai menyentuh meja, menatap lekat, memperhatikan ekspresi Aiyaz terhadapnya.
‘Kenapa dia? Kenapa alisnya naik turun? Apa dia ada sawan langka?’ bathin Caca masih menerka-nerka maksud dari Bossnya ini.
Kalimat bisikan hati Caca membuat eskpresi Aiyaz datar seketika.
“Maaf, Pak? Anda menyuruh saya apa??” tanya Caca bingung.
Aiyaz menarik panjang napasnya, demi menetralkan emosinya sendiri. Kenapa wanita ini tidak memahami isyaratnya. Sungguh menyebalkan sekali.
Tangan kanannya semakin menyodorkan buku cek itu ke arah Caca hingga tanpa sengaja mengenai gunung kembarnya.
“Astaga!” pekik Caca langsung terkejut, lalu membenarkan posisi duduknya.
“Maaf-maaf,” ujar Aiyaz sedikit tidak nyaman dengan duduknya saat ini.
Dia kembali bersikap tenang. Sesekali melirik Caca yang masih terdiam melihat buku cek yang ia beri.
Caca memegang buku cek itu, dan melihat nominal disana tertulis 5000 USD untuk satu bulan.
‘I-ini? Apa benar 5000 USD untuk satu bulan? Serius 5000 USD?’ bathin Caca masih tidak menyangka.
Aiyaz mengernyitkan keningnya, mencurigai ekspresi Caca saat ini. Tapi dia berusaha biasa saja, dan terus membolak balik berkas yang ada di hadapannya. Tentu saja dia akan bersikap professional dalam hal ini, meski hanya pura-pura semata.
Tapi Caca merasa ini semua tidak seimbang. Dia meletakkan kembali buku cek itu diatas meja, lalu menyodorkannya ke arah Aiyaz.
Aiyaz melihat ekspresi Caca berubah. Sepertinya dia harus melakukan sesuatu sebelum wanita cerewet ini menolak cek darinya.
“Hhmm … baiklah. Sebelumnya, saya tahu kalau kamu adalah teman dari ketiga adik saya. Yaitu Azathea, Bening, dan Embun.” Aiyaz mulai menatapnya lekat, dengan kedua jemari saling bersemat.
Deg!
Caca tertegun mendengar penuturan rapi pria ini. Nada bicaranya terdengar berwibawa, dan sepertinya dia mulai serius dengan pembicaraan mereka.
“Dan … saya hanya mau melihat bagaimana reaksi kamu saat tahu kalau saya ternyata adalah Aka yang kamu kenal,” ujar Aiyaz menjelaskan sembari memperhatikan ekspresi diam Caca.
“Hhhmmm …” Aiyaz kembali berdehem pelan, menetralkan perasaannya sendiri.
“Begini … saya tidak menduga kalau kamu ternyata salah satu mahasiswa berprestasi di Universitas Columbia. Dan ternyata kamu menerima surat undangan magang itu. Akhirnya kita bertemu lagi disini,” sambungnya lagi.
Caca masih diam melihat cara bicara pria ini. Dia bahkan tidak bisa berkata apa-apa. Selain aroma ruangan yang wangi, tetapi pria ini juga sangat wangi. Ketika berbicara saja, mulutnya terasa segar sekali, pikirnya.
Glek!
Aiyaz sedikit gugup melihat Caca memandanginya sejak tadi. Dia mulai mengalihkan matanya ke arah berkas yang tengah ia pegang.
“Bagaimana? Kamu menerima pekerjaan ini? Kamu magang sekaligus bekerja dengan saya,” jelas Aiyaz kembali memberi tawaran.
Caca mulai menggerakkan bagian tubuhnya. Dia tersenyum tipis dan melihat buku cek yang masih ada disana.
Perusahaan ini sudah memberinya tempat untuk magang. Itu artinya dia sudah pasti bisa melakukan penelitian disini dengan mudah.
Siapa yang tidak bahagia jika keadaan magang kita ternyata bisa dijadikan sebagai tempat untuk bekerja. Magang sekaligus dibayar seperti para pekerja Althafiance yang lain.
Tentu saja Caca akan bersyukur berkali-kali lipat untuk ini. Apalagi melihat nominal gaji yang diberikan bahkan membuat Caca hampir tidak percaya.
Siapa saja pasti akan langsung menerima pekerjaan ini. Tapi tidak dengannya. Caca akan berpikir ulang, kenapa pria ini memberinya gaji sebesar itu kepada mahasiswa magang seperti dirinya.
Mahasiswa yang sudah pasti belum memiliki pengalaman dalam dunia kerja. Apalagi dia tidak tahu menahu mengenai sistem kerja di Althafiance.
Caca merasa curiga dengan pekerjaan yang akan dibebankan kepada dirinya. Terlebih lagi, pria ini adalah Abang dari Azathea, Bening, dan Embun.
Apakah ada alasan lain dibalik pekerjaan yang akan ia tanggung, pikirnya bertanya-tanya. Bukankah setiap Boss selalu memiliki sisi buruk.
Dia sering mendengar istilah perselingkuhan dalam dunia perkantoran. Apalagi seorang Boss yang memiliki jabatan tinggi sering mendapat notabene sebagai pria yang suka bermain api dengan para pekerja wanitanya sendiri.
Caca mulai bergidik ngeri menimbang semua yang ada di pikirannya. Tidak, dia tidak mau menjadi korban dari kekejaman Boss yang biadab. Karena dia akan memberikan mahkotanya hanya untuk suaminya seorang.
Dia menelaah baik-baik pertanyaan dari pria pemimpin perusahaan raksasa ini.
‘Magang sekaligus bekerja?’ bathinnya bertanya-tanya.
Aiyaz masih diam, menatap lekat Caca. Dia sungguh tidak tahu apa yang sedang wanita ini pikirkan.
“Maaf, Pak. Bisa Anda jelaskan mengenai pekerjaan saya? Kenapa Anda memberi upah itu dalam satu bulan?” tanya Caca sopan sembari menunjuk buku cek disana.
Glek!
Aiyaz mulai bingung. Dia berusaha menerka maksud dari pertanyaan Caca. Kenapa wanita ini bertanya kembali padanya. Bukankah dia sudah menjelaskannya tadi.
Atau, apakah upah yang dia beri terlalu kecil. Apakah tidak sepadan dengan pekerjaan yang akan ia berikan untuk Caca. Padahal, dia sendiri tidak tahu harus memberikan tugas apa untuk Caca.
Sial sekali. Niatnya hanya untuk mengerjai saja, tetapi kenapa justru dia yang bingung.
Sikap professional harus terlihat dari penampilannya saat ini. Aiyaz kembali membuka suaranya, menanggapi pertanyaan Caca barusan.
“Kamu akan bekerja dengan saya, di ruangan saya. Kamu membantu saya mengecek beberapa berkas. Karena—” ucapannya terhenti karena otaknya masih berpikir.
‘Ayolah, Aka! Berpikirlah cepat! Beri dia pekerjaan!’
Caca masih menatap lekat Bossnya ini.
Aiyaz berdehem pelan, dan melanjutkan kalimatnya yang terputus.
“Karena Bobby. Ah, Bobby adalah sekretaris pribadi saya. Biasanya dia memberikan segala berkas yang harus saya tanda tangani. Setelah itu, dia akan mengambilnya kembali. Dan tugas kamu … mengecek segala berkas yang sudah saya baca. Karena—”
Glek!
Sialnya, tatapan lekat Caca membuatnya gugup. Keadaan macam apa ini. Ini benar-benar tidak adil, pikirnya.
“Karena saya sering melupakan satu tanda tangan. Dan saya mau, kamu teliti akan hal itu. Hanya itu saja,” ujarnya sambil menganggukkan kepala.
Entah apa yang ada di pikiran Caca, dia ikut menganggukkan kepala memahami semua penjelasan dan pekerjaannya. Tapi, ada kejanggalan di hatinya.
“Maaf, Pak. Apa saya boleh mengutarakan sesuatu?”
Aiyaz mengerjapkan matanya perlahan. Wanita ini benar-benar tidak memahami adab ketika berhadapan dengan atasan. Seharusnya dia tidak bisa membuka suara, sebelum dipersilahkan untuk berbicara.
Tapi tidak masalah. Caca bukan pekerja, melainkan sebuah boneka. Yah, boneka dalam beberapa waktu ke depan. Dia akan menganggap Caca sebagai boneka dalam permainannya.
“Silahkan,” jawab Aiyaz mulai menyandarkan nyaman punggungnya disana, lalu sedikit memutar kursi kebesarannya ke kanan dan ke kiri.
Caca tersenyum tipis. Entahlah, dia tidak mau menjadi orang yang munafik menolak upah sebanyak itu.
Tapi Caca merasa jika pekerjaan yang dia lakukan sangat tidak sebanding dengan upah yang dia terima. Upah itu sangat besar sekali. Bahkan sangat jauh dari ekspetasi upah yang sangat ia inginkan ketika bekerja nanti.
“Pekerjaan yang saya lakukan adalah membantu Anda mengecek semua berkas. Dan jam saya selesai magang sampai jam 2 siang. Kalau saya bekerja dengan Anda sampai sore, lalu mendapatkan upah sebanyak itu. Saya tidak bisa, Pak. Upah itu terlalu banyak untuk saya,” jelas Caca panjang lebar dengan senyuman tipis.
Deg!
Aiyaz tertegun mendengarnya.
‘Apa maksudnya? Upah yang terlalu banyak? Apa dia menyindirku?’ bathin Aiyaz menerka-nerka.
Yah, bagaimana dia tidak menerka. Sedangkan upah 5000 USD adalah upah paling sedikit yang diterima oleh pekerja baru di perusahaan mereka.
Apakah dia keberatan dengan upah 5000 USD untuk satu bulan, pikirnya bertanya-tanya.
“Baiklah,” balasnya lalu menarik buku cek itu.
Dia mengoyak cek pertama yang ia tulis, lalu menuliskan nominal lain pada lembar cek yang baru.
“Ini upah kamu dalam satu bulan. Dan kamu bekerja dengan saya selama 3 bulan masa percobaan,” ujarnya lalu memberikan kembali buku cek itu ke arah Caca.
Caca mengerutkan keningnya, lalu melihat cek baru yang ditulis.
“Hahhh??”
Kepalanya menggeleng cepat. Tidak, dia tidak bisa menerima upah sebanyak itu. Sangat tidak cocok dengan pekerjaannya yang tidak seberapa, pikirnya.
“Tidak, Pak. Maaf, saya tidak bisa menerima upah ini.” Caca tersenyum kecut, dan menyodorkan kembali buku cek itu kepada pria di hadapannya.
Aiyaz semakin bingung. Ada apa dengan wanita ini. Disaat para pekerjanya mengharapkan kenaikan gaji setiap 6 bulan sekali. Wanita ini justru menolak gaji 10.000 USD darinya.
Dia pikir kalau Caca merasa keberatan dengan gaji yang menurutnya mungkin tidak sesuai.
“Baiklah. Kalau begitu, katakan. Kau mau upah berapa? Biar aku tulis dan aku bayar di muka untuk bulan ini,” ujarnya lalu mengoyak cek disana, dan hendak menuliskan cek yang baru.
Caca tidak percaya dengan pria ini.
‘Dia kenapa sih? Udah dibilang gak mau. Sebenarnya terserah dia mau kasih upah berapa!’ bathinnya kesal.
“Itu terserah Anda saja, Pak.” Caca menjawabnya dengan sopan.
Aiyaz mulai menghela panjang napasnya, berusaha untuk sabar.
“Kamu, kenapa menolak upah yang saya beri sejak tadi?” tanyanya dengan wajah serius.
Glek!
Caca susah menegukkan salivanya sendiri. Kini, kedua jemarinya saling meremas diantara pahanya yang terkatup rapat.
“Saya merasa tidak sesuai dengan pekerjaan saya, Pak.” Dia berusaha menjawab dengan jujur.
Benar dugaannya, wanita ini merasa kalau upahnya tidak sesuai. Tapi, seharusnya dia bisa mengatakan berapa upah yang dia mau. Aiyaz benar-benar semakin pusing dengan wanita ini.
“Kalau begitu katakan saja. Berapa upah yang menurutmu pantas,” ujarnya sambil bersiap menuliskan upah yang diinginkan oleh Caca.
Caca berpikir cepat. Kebutuhannya selama satu bulan membutuhkan uang lebih dari 2000 USD. Sedangkan selama ini, dia masih diberi jatah bulanan oleh keluarganya. Sejujurnya dia tidak mau jika keluarganya mengirim uang lagi untuknya.
Sudah ada uang saku dari kampus. Beasiswa dari kampus juga masih berjalan sampai sekarang. Dia juga diberi uang tambahan dari Professor Joseph Mills karena telah membantu penelitiannya selama ini.
Dia hanya butuh uang untuk ongkos dan segala kebutuhannya sehari-hari. Mungkin 3500 USD sudah cukup untuknya. Karena apartemennya juga sudah dibayar sampai beberapa bulan ke depan, pikirnya.
“Kalau 3500 USD saja bagaimana, Pak?” tanya Caca mengatakan permintaan gajinya.
Kening Aiyaz berkerut.
‘3500 USD? Apa dia yakin? Uang segitu hanya cukup untuk beli permen saja,’ bathinnya bergumam sendiri, berusaha menerka kembali maksud Caca.
Ah, dia mulai paham. Sepertinya Caca memang sengaja menyindirnya. Dia tahu kalau wanita ini pasti tengah merendahkan harga dirinya.
Yah, mungkin saja Caca sedang mengujinya apakah dia cerdas memahami maksudnya atau tidak. Tentu saja dia pasti paham. Dia adalah pria cerdas yang sudah mendapatkan banyak pernghargaan. Mustahil baginya untuk tidak tahu maksud Caca.
Aiyaz langsung menuliskan nominal gaji terbaru untuk Caca, lalu mengobek cek itu, menyodorkannya ke arah Caca.
“Baiklah. Ini upah untukmu. Kau akan bekerja mulai hari ini,” ujar Aiyaz membuat keputusannya.
Setelah Caca melihat itu, dia tersenyum sambil menyodorkan kembali cek itu ke arah Bossnya.
“Tidak, Pak. Maaf, saya tidak bisa.” Dia menolak halus cek berisi nominal 35.000 USD untuk satu bulan.
Aiyaz tersenyum dan menghela panjang napasnya. Dia menyerahkannya lagi pada Caca.
“Tidak. Saya paham maksud kamu. Ya sudah, terimalah. Itu tidak masalah,” ujarnya sambil mengendikkan bahu, memberi isyarat pada Caca bahwa memberi gaji 35.000 USD untuk satu bulan adalah hal yang sangat mudah untuknya.
Caca menggelengkan kepalanya.
“Tidak, Pak. Saya tidak bisa. Kalau Bapak bersedia, saya hanya mau 3500 USD saja.” Caca kembali menegaskan.
Aiyaz menyeringai tipis. Berani sekali wanita ini merendahkan dia, pikirnya.
“Iya, saya tahu. Ambil saja. Saya akan menyuruh Bobby untuk mengirim upah kamu bulan ini,” ujarnya lalu menjangkau ponselnya yang ada disana.
“Jangan, Pak!!” Caca keceplosan berteriak kuat, hingga membuat pria di depannya langsung menatapnya aneh.
Glek!
“Pak, saya tidak mau kalau sebanyak itu. Saya hanya butuh 3500 USD untuk biaya hidup, Pak Itu saja sudah cukup,” ujarnya lagi merendahkan suara, dengan bibir tersenyum kecut.
Aiyaz mengangguk paham, lalu menghubungi Bobby saat itu juga.
“…”
“Kirim upah 35.000 USD ke rekening Caca. Sekarang,” ujarnya memerintah.
“…”
Tutt… Tutt… Tutt…
Caca membelalakkan matanya.
“Pak?? Maksud, Anda??”
Aiyaz tersenyum dan menyandarkan punggungnya disana.
“Kau sudah bisa bekerja mulai hari ini. Dan upahmu sudah masuk ke rekeningmu,” ujarnya santai sambil bersidekap d**a.
Tidak, Caca tidak bisa menerima ini. Dia sudah jelas-jelas menolak upah yang ditawarkan. Bahkan dia hanya meminta 3500 USD saja, lalu kenapa pria ini justru akan mengirim 35.000 USD untuknya.
“Tidak, Pak! Saya tidak bisa menerima ini! Saya hanya meminta 3500 USD saja! Dan seharusnya saya diberi upah setelah saya bekerja satu bulan!” ketusnya tidak terima.
Aiyaz mengerjapkan matanya. Kenapa wanita ini bersikap menentang. Apa lagi salahnya. Seharusnya dia bahagia karena upah yang dikirim bahkan sebelum dia memulai pekerjaan dalam satu hari, pikirnya.
“Tidak perlu sungkan. Aku paham maksudmu,” ujarnya menebak pasti.
Belum sempat Caca membalas kalimat Bossnya, notifikasi pesan masuk di ponselnya.
Aiyaz menyeringai, membanggakan kehebatannya.
“Coba cek,” ujarnya lagi.
Glek!
Caca melihat ekspresi pria di hadapannya begitu menakutkan. Dia tidak tahu kenapa pria ini tidak bisa memahami kalimatnya.
Saat dia melihat notifikasi pesan yang masuk.
“Haaahh??” Caca menganga.
Dadanya mulai naik turun, menetralkan degup jantungnya. Uang lebih dari 490 juta rupiah telah masuk ke dalam rekeningnya. Uang itu bahkan cukup untuk kebutuhannya sampai 8 bulan ke depan.
“I-ni??”
Caca menggelengkan pelan kepalanya. Tubuhnya mulai bergemetar. Pikirannya sudah berlari ke arah yang tidak-tidak.
Sangat mustahil dia bisa mendapatkan gaji sebesar 35.000 USD dalam satu bulan jika tidak ada pekerjaan lain yang pasti akan menguntungkan pria ini, pikirnya. Tidak, Caca tidak mau mengorbankan harga dirinya.
Dia mulai ketakutan sekarang.
“Ti-tidak, Pak. Saya tidak mau bekerja dengan Anda,” gumamnya gugup dengan napas tersengal.
Aiyaz membelalakkan matanya, melihat wajah Caca mulai pucat pasi.
“Hey? Kau baik-baik saja?”
Caca mengangguk iya. Dia tidak tahu kenapa tubuhnya terasa dingin sekali. Tidak bisa bergerak, bahkan bibirnya terasa membeku.
“Sa-saya—” dia memandang pria itu dengan tatapan penuh ketakutan.
Belum sempat Caca melanjutkan kalimatnya, Aiyaz langsung menyelanya.
“Baiklah. Mungkin ini bisa membuatmu jauh lebih baik. Maaf kalau tadi terlalu sedikit,” ujarnya langsung memberi nominal berbeda dari upah yang baru saja terkirim ke rekening Caca.
Dia menyodorkannya kembali ke arah Caca.
“Itu upah untuk bulan kedua kau bekerja,” ujar Aiyaz meyakinkan Caca.
Tubuhnya saja sudah membeku. Dia bahkan sangat susah bernapas lega. Saat dia melihat nominal di buku cek itu, tubuhnya mulai bergetar hebat.
“I-ini?? Ti-tidak, Pak. Sa—”
Aiyaz langsung beranjak dari duduknya. Dia mulai khawatir dengan kondisi Caca semakin pucat.
“Hey? Kau baik-baik saja? Baiklah. Sekarang katakan saja, kau mau upah berapa?? Aku akan membayar berapapun kau mau?? Hey??” tanya Aiyaz dengan posisi berdiri, berjaga-jaga.
Caca menggelengkan kepalanya.
Takk!
Ponselnya terjatuh di lantai. Tapi matanya masih tertuju pada cek dengan nominal 350.000 USD untuk satu bulan. Dia tidak pernah melihat angka itu sebelumnya. Bagaimana mungkin dia bisa bernapas.
“Ti-tidak, Pak. Sa-saya … saya—”
Bayangannya memudar. Kepalanya sangat pusing sekali. Caca mulai beranjak dari duduknya.
Aiyaz langsung melangkah lebar, memutari meja kerjanya.
“Hey?? Kau baik-baik saja??”
“Caca! Astaga!”
Rahangnya mengeras. Tubuhnya membungkuk, menahan Caca yang telah pingsan.
“Hey, Ca! Bangun?? Ada apa denganmu?? Apa kau belum sarapan??”
Aiyaz berulang kali menyadarkan Caca, menepuk pelan wajahnya yang begitu pucat dan terasa dingin. Dia semakin khawatir saat melihat buliran keringat bermunculan di kening Caca.
“Caca! Bangun! Jangan membodohiku, hey!”
Caca tidak bergeming, hingga membuat Aiyaz menjangkau ponselnya disana.
“Shitt!!”
Dia langsung menghubungi sekretaris pribadinya, Bobby.
“…”
“Cepat panggilkan Dokter! Ke ruanganku sekarang!!”
“…”
Brraaakkk!
Tanpa memutuskan sambungan telepon, Aiyaz melempar kasar ponselnya ke atas meja. Dia menahan tubuh Caca setengah berdiri.
Srreekkk!
Satu kaki Aiyaz mendorong kursi agar menjauh dari mereka. Dia langsung menggendong Caca dengan mudah.
“Caca! Astaga! Kau menyusahkanku saja!” gumamnya lalu berjalan menuju ruangan kamarnya yang ada di ujung sana.
Saat dia melangkahkan lebar untuk membaringkan Caca di kamarnya, pintu ruangannya terbuka cepat.
“Tuan! Ada apa?!”
Bobby langsung masuk ke dalam sana, dan melihat Tuan Besarnya telah menggendong seorang wanita yang ia tahu adalah Caca.
“Jangan banyak bicara!!” sahut Aiyaz memberi isyarat.
Bobby dan dua orang Dokter serta 3 orang perawat berjalan cepat menyeimbangi langkah kaki Tuan Besar mereka.
..**..
Aiyaz membaringkan Caca di ranjang yang sangat jarang sekali ia pakai. Kini, ranjang itu digunakan oleh seorang wanita untuk pertama kalinya. Dan wanita itu adalah wanita paling cerewet yang pernah ia temui.
Dia melihat para Dokter memerika keadaan Caca. Entah kenapa, dia khawatir. Bukan khawatir mengenai hal yang macam-macam.
Tentu saja dia tidak mau terjadi sesuatu dengan anak orang yang tidak dia kenal. Apalagi dia berdarah Indonesia. Kalau sampai keluarganya tahu ini, orang yang pertama kali memarahinya habis-habisan adalah sang Grandma, Anta.
Yah, dia yakin sekali. Dan dia harus menyembunyikan kejadian ini dari siapapun, termasuk ketiga saudaranya.
Setelah Dokter memeriksa keadaan Caca, mereka mengatakan jika Caca mengalami syok berat secara tiba-tiba. Hal itu menyebabkan penurunan pompa darah secara drastis dan membuat metabolisme tubuhnya terganggu dalam hitungan detik.
Saran dari mereka agar Caca beristirahat sampai beberapa hari ke depan. Jangan memberitahu kejadian yang mungkin membuatnya syok. Terutama sekali tidak boleh lelah. Karena tidak menutup kemungkinan kalau kejadian ini akan terulang kembali jika dia berada dalam kondisi lelah dan perut kosong.
Aiyaz benar-benar tidak paham. Apa yang membuat Caca syok sejak tadi. Padahal, dia sama sekali tidak memberitahu berita apapun padanya.
Dia merutuki kesialannya pagi ini. Seharusnya dia yang mengerjai Caca, tapi ini justru sebaliknya. Kejadian ini benar-benar diluar rencananya. Sungguh sialan, Aiyaz benar-benar mengumpat pagi ini.
*
*
Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)