BAB 2

1098 Kata
BAB 2 “Eungg.” Terdengar suara lenguhan dari sosok wanita yang terbaring di lantai. Membuka kedua matanya secara perlahan dan kedua matanya pun membulat saat kesadarannya telah kembali. “Ini_” Fiona tak bisa melanjutkan kata-katanya saking terkejutnya. Wanita itu segera mendudukkan tubuhnya sambil memegang kepalanya yang masih sakit akibat obat bius. Saat ini ia berada di sebuah ruangan yang sangat ia kenal. “Selamat datang, Sayang.” Fiona pun menatap ke arah asal suara. “Rian,” lirih Fiona menatap sosok lelaki yang duduk di hadapannya dengan wajah angkuh. Fiona segera berdiri dan berlari menuju pintu keluar. Kedua tangan wanita itu dengan cepat memutar knop pintu. Sayangnya, pintu tak bisa terbuka dan telah dikunci. “Jangan membuang-buang energimu. Kau hanya akan semakin kelelahan. Sebaiknya kau terima saja takdirmu. Kau sudah sah menjadi istriku.” “Tidak, aku tidak mau. Lepaskan aku berengsekk. Biarkan aku pergi! Aku tidak ingin tinggal bersama lelaki berengsek sepertimu.” Perkataan Fiona membuat Rian tersulut emosi. Lelaki itu pun segera berdiri dan berjalan mendekati Fiona. “Berani sekali kau mengatai suamimu sendiri!” bentak Rian dan menarik kasar tangan Fiona lalu melemparnya ke lantai. Air mata Fiona pun kembali jatuh di pelupuk wajahnya. Lelaki yang dulunya sangat ia cintai kini memperlakukannya sangat kasar. “Kenapa kau lakukan ini padaku?” Rian kembali duduk di kursinya dan menatap Fiona dingin. “Kau masih bertanya? Kau sudah tahu alasannya ... karena orang tuamu kaluargaku hancur.” “Tidak puaskah kau memenjarakan orang tuaku dan mengambil alih perusahaan milik keluargaku?” “Ahh, tentu saja aku belum puas. Karena kau juga harus menerima konsekuensinya.” Fiona tiba-tiba menghapus air matanya dan menatap Rian dengan tatapan terluka. “Apakah kau pernah mencintaku?” tanya Fiona. Sekilas Rian terdiam dengan pertanyaan Fiona. Ia memang mencintai Fiona bahkan lebih dari apa yang Fiona bayangkan. Hanya saja, satu fakta tentang kehancurang keluarganya membuat rasa cinta itu memudar. “Aku tidak akan pernah mencintaimu,” ucap Rian membat hati Fiona semakin terluka. Rian tiba-tiba memanggil beberapa pelayan. “Cepat bersihkan dia dan kurung dia di kamarnya,” perintah Rian pada dua pelayan wanita. “Baik, Tuan.” Dua pelaya itu segera memegang Fiona. “Lepaskan aku! Aku tidak mau. Aku ingin pergi dari sini. Lepaskan aku berengsek!” pekik Fiona yang kembali memberontak tak ingin patuh pada perintah suaminya. “Jika dia tidak ingin patuh. Paksa dia hingga ia menurut,” ucap Rian memerintahkan dua pelayannya. “Baik, Tuan.” Dua pelanyan itu pun segera menyeret paksa Fiona dan memaksa wanita itu mandi dengan air hangat yang telah di siapkan. **** Saat ini Fiona berada di ruangannya. Ia memandang jendela dan memperlihatkan burung-burung yang berterbangan indah di luar sana. Sudah tiga hari dia terkurung di ruangannya. Suaminya tidak mengijinkannya untuk keluar. Ia terkuci di ruangannya sendiri, bagaikan burung dalam sangkar yang tak dibiarkan lepas oleh majikan. Ia tidak memiliki gairah untuk hidup. Wajahnya terlihat pucat pasih akibat jarang makan dan minum. Kehidupannya yang semula baik-baik saja kini hancur karena dirinya. Ia tidak menyangka ia telah membawa monster masuk ke dalam keluarganya. Ia tak menyangka di hari pernikahannya malah menjadi mala petaka baginya. Rian dengan tega memenjarakan kedua orang tuanya dan mengambil alih perusahaan keluarganya. Ia sangat menyesal telah bertemu dengan Rian. Ia menyesal telah menyukai Rian yang kini menjadi suaminya. Kini ia tidak memiliki siapa-siapa. Ayah dan ibunya kini berada di penjara. Semua pelayan-pelayan pribadinya telah di pecat dan digantikan oleh pelanyan yang baru. Saat sedang memandang keluar jendela, pintu kamarnya tiba-tiba terbuka. Fiona berbalik dan menatap lelaki yang mengurungnya berjalan masuk. Rian menatap makanan yang ada di atas meja samping ranjang Fiona. Ada nampang berisi nasi dan buah-buahan. “Lagi-lagi kau tidak memakannya. Kau ingin aku memaksamu?” tanya Rian yang mulai berjalan mendekati Fiona. Tentu saja hal itu membuat wanita itu berjalan mundur dan berhenti saat punggungnya merapat pada jendela. Ia tak akan bisa lari dari suaminya. Melihat Fiona yang berjalan mundur membuat lelaki itu tersenyum menyeringai. “Sepertinya kau takut padaku,” ucap Rian menatap remeh pada Fiona. “Aku tidak ingin makan. Lebih baik aku mati saja dibandingkan aku harus terkurung seperti ini,” lirih Fiona yang kedua matanya mulai berkaca-kaca. “Aku tidak akan pernah mengijinkanmu mati. Selama kau masih menjadi milikku, tak akan kubiarkan kau melakukan apa yang kau inginkan,” desis Rian dan dalam hitungan detik kemudian lelaki itu menarik paksa tangan Fiana dan mendorongnya ke ranjang. Salah satu tangan Rian segera mengambil nasi yang ada di atas menja. Mengambilnya dengan tangannya dan segera memaksa Fiona untuk memakannya. “TELAN!” Bentak Rian pada Fiona yang mencoba memberontak. Akhirnya, Rian pun meremas kuat rambut Fiona agar wanita itu mendongak menatap ke arahnya. Saat itulah ia memaksa Fiona untuk memakan makanannya. Dengan air mata yang bercucuran di wajahnya, Fiona memakan makanan tersebut dengan hati terluka. Entah sudah keberapa kalinya Rian melakukan kekerasan seperti ini padanya. Setelah tiga kali suapan, piring berisi nasi dan lauk itu pun jatuh ke lantai saat Fiona kembali memberontak. Rian pun melepas kasar cengkramannya hingga membuat Fiona tersungkar di ranjang. Lelaki itu menatap Fiona dengan wajah kesal. “Kau,” desisi Rian. “Aku sudah kenyang. Aku sudah tak kuat lagi untuk makan,” lirih Fiona cepat sebelum Rian menyelesaikan perkataan kasarnya sambil menghapus jejak-jejak nasi yang belepotan di wajahnya. Rian mengambil napas dalam-dalam. Ia sangat marah saat ini, tapi sebisa mungkin ia menahanya. Lelaki itu menatap sepiring buah yang ada di atas meja. “Kalau begitu buah yang ada di sana kau habiskan. Aku akan ke kantor dulu, saat aku pulang aku tak ingin buah-buah itu masih utuh di sana.” Rian pun segera keluar dari kamar Fiona dan kembali mengurung istrinya di dalam kamar. Sebelum pergi ke kantor, Rian meminta beberapa anak buahnya untuk menjaga Fiona agar tidak kabur. *** Di dalam kamarnya, Fiona menangis sesengukkan sambil membersihkan wajahnya. Tiap kali ia tak ingin makan, Rian akan memaksanya seperti tadi. Hal itu membuatnya tersakit. Ia menatap sepiring buah dan sebuah pisau tajam ada di atas meja samping ranjangnya. “Alangkah baiknya jika aku menghilang,” lirihnya. Lengan kurusnya menggapai pisau tajam itu, menatap dengan tatapan kosong dan tersenyum miris. “Aku sangat menyukainya dan aku pun sangat membencinya. Aku juga tidak punya keberanian untuk membunuhnya. Maka lebih baik aku yang yang pergi. Menghilang dari dunia yang kejam ini. Aku tidak bisa hidup seperti ini lagi ...” air asin kembali memberontak di pelupuk wajahnnya saat tangannya yang memegang pisau mulai menyanyat nadinya. “Seandainya aku bisa. Aku ingin mengulanginya kembali ... saat-saat yang membahagiakan bersama denganmu sangatlah berarti bagiku ...” “Selamat tinggal ...” _Fiona. TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN