Kalau orang-orang berpikir bahwa Kirana langsung berduaan dengan Pak Damar ketika masuk ke dalam ruangannya, maka memang benar. Ruangan Pak Damar yang jika dilihat juga ditempati oleh beberapa dosen lain ini tampak sepi penghuni. Ketika Kirana masuk, hanya terlihat Pak Damar saja yang sedang duduk santai memainkan handphone.
Terkadang, orang-orang senang mengatakan sesekali sedang memainkan handphone padahal bisa jadi, orang penting seperti Pak Damar tidak bermain ketika menggunakan benda kotak tersebut melainkan untuk bekerja. Karena sesungguhnya, beramin memiliki definisi melakukan kegiatan yang menyenangkan.
Demi menjaga kehormatannya sebagai seorang perempuan, Kirana hanya mengetuk sampai di depan pintu dan tidak beranjak sama sekali ketika belum diintruksikan oleh Pak Damar sendiri.
"Permisi, Pak?" Kirana berbicara dengan suara agak tegas agar Pak Damar yang melihatnya sadar bahwa dia sudah datang.
Seperti yang Kirana duga, Pak Damar baru mempersilakan Kirana untuk duduk di bangku depannya. Mereka akan berbicara serius. "Silakan masuk, itu pintunya diganjal saja biar tetap terbuka."
Dalam hati, Kirana bersorak gembira karena tidak perlu hanya berduaan dengan Pak Damar. Ya Kirana sadar dia siapa sampai berpikir kalau Pak Damar akan melakukan sesuatu yang tercela. Hanya saja, ini kalau masalah, agama, kehormatannya, Kirana tidak akan mau memberikan celah kepada orang lain untuk merenggutnya meski orang yang dia hormati sekalipun.
Dengan begitu cekatan, Kirana mengganjal pintu masuk dengan tas punggungnya dan untungnya bisa. Setelah memastikan aman, Kirana langsung berjalan menuju ke mejanya Pak Damar.
Meja Pak Damar ini menghadap Barat. Sementara kalau Kirana duduk menghadap Pak Damar, kalau dia menoleh ke kiri, dia akan langsung melihat ruangan luar yang tak lain adalah koridor, jadi bisa dikatakan lumayan aman. Kirana sudah berupaya sebaik mungkin untuk membentengi dirinya agar tidak terjatuh dalam usaha setan yang terkutuk.
"Baik, Kirana. Terima kasih karena sudah bersedia membantu saya. Karena ada projects di Bandung selama satu bulan penuh, saya akan memberitahukan kepada kamu H sebelum jadwal mata kuliah saya materinya."
"Maaf Pak, kalau boleh tau. Untuk materinya nanti akan disampaikan lewat apa ya, Pak?"
"Saya akan memberikan PPT kepada kamu, kemudian pelajari. Yang kamu tangkap itu, nanti sampaikan kepada teman-teman kamu. Jika ada yang membingungkan, bisa bertanya kepada saya langsung."
"Untuk media pengirimannya?" Kirana agak cemas saat bertanya seperti ini. Masalahnya kan dia tidak punya handphone android seandainya tidak tahu atau kurang memahami materi yang Pak Damar berikan. Kalau dia bertanya lewat SMS atau perpesanan biasa, apakah Pak Damar bersedia untuk menjawab?
Kirana pernah mendengar ada salah satu dosen mudanya selain Pak Damar mengatakan ini ketika dalam kelas, bukannya membahas mata kuliah yang sedang berlangsung, semua orang malah beramai-ramai mengkritisi dosen-dosen yang susah sekali dihubungi. Kalaupun membalas pesan dari mahasiswanya yang bertanya, itupun lama sekali.
Beliau mengatakan seperti ini, "dosen itu, kalau sudah mau membalas pesan kalian, bersyukurlah. Karena kalian masih menjadi mahasiswa, belum tahu rasanya jadi dosen. Jadi, kalau ada dosen yang dihubungi tak kunjung memberikan jawaban juga, maka tunggu saja sampai dibalas. Karena percayalah, pekerjaan dosen tidak haha hihi saja. Dan kalau sampai dibalas, kalian harus bersyukur sekali. Karena yang kalian rasa, hanya satu orang dan itu kamu yang sedang menghubungi dosen, padahal. Beberapa puluh atau mungkin ratus anak juga mengirimkan pesan kepada dosen yang kalian tuku itu."
Dulu, banyak yang memiliki pola pikir bahwa dosen yang tak kunjung menjawab pesan mereka karena dosennya sombong dan sebagainya. Namun setelah mendapat penjelasan dari sesama dosen yang speak up tentang pekerjaan dosen walaupun hanya sedikit saja, mahasiswa langsung bisa menangkap kalau jadi dosen memang tidak mudah. Apalagi jika dosennya seperti Pak Damar yang memang tampan. Pastilah banyak sekali mahasiswa lain yang sengaja menghubungi beliau hanya untuk hal yang tidak bermanfaat sekalipun.
Dan sekarang, Pak Damar baru menjawab. "Kamu maunya apa, akan sesuaikan dengan kemampuan kamu."
Kirana langsung paham dengan maksud kemampuan di sini. Karena memang dasarnya, Kirana tidak memilki handphone android. Kalau mau, Kirana bisa saja memberikan nomor salah satu teman-temannya. Namun, Kirana tahu kalau itu tidak pantas sekali menurutnya. Karena itu, biarlah nanti Kirana balas-membalas lewat email saja.
"Kalau email bagaimana, Pak?" Kirana bertanya agak kurang enak hati. Pasalnya, dia khawatir kalau justru permintaannya malah tidak disukai oleh Pak Damar.
"Ya, bisa." Pak Damar mengangguk. "Kalau ada yang ingin ditanyakan, di email saja, akan saya jawab kalau kebetulan saya luang. Notifikasinya pasti masuk."
Kirana mengangguk antusias. "Baik, Pak."
"Saya pergi minggu depan, jadi tolong dipersiapakan semuanya. Kalau ada kendala, hubungi saya."
Perempuan itu sekali lagi menjawab dengan jawaban yang sama seperti sebelumnya.
Kemudian, sepertinya Pak Damar yang memadai sepertinya sudah merencanakan semua ini dari jauh-jauh hari mengeluarkan laptop lain dari tas punggungnya yang berada di bawah. Jelas Kirana langsung tidak enak hati.
Mau kepedean, belum tentu laptop bermerek itu dipinjamkan kepadanya. Tidak mau kepedean, Kirana juga aku tetap melaksanakan amanah yang diberikan oleh Pak Damar meski perangkat yang dimilikinya terbatas.
"Ini tolong kamu bawa dulu. Saya tahu kamu membutuhkannya." Kirana menelan salivanya kepayahan ketika Pak Damar betulan mengulurkan laptop tetap di depan jangkauannya. Dan Kirana tahu kalau laptop di depannya ini seharga puluhan juta rupiah. Kirana hanya khawatir kalau laptopnya rusak. Bisa-bisa tidak makan kalau dia diminta ganti rugi. "Kalau nanti laptopnya rusak atau apa, saya sudah menyimpan datanya ke drive, jadi aman. Kamu juga kalau menyimpan sesuatu bisa langsung ke drive supaya. Nanti saya akses juga, biar informasinya lebih searah."
Namun tetap saja Kirana merasa berat membawa laptop ternama tersebut. "Tapi Pak, laptop ini terlalu mahal. Sayang sekali jika rusak di tangan saya, Pak."
Pak Damar tertawa pelan mendengar perkataan Kirana. "Memangnya laptopnya akan rusak kenapa? Mau kamu banting?"
"Laptop saya pernah jatuh, bagian hard disknya rusak, ada yang retak juga lewat lipatan atas."
"Tidak apa-apa," Pak Damar kembali meyakinkan. Jangan menyembut namanya Damar Anggara kalau membujuk mahasiswinya saja tidak bisa. "Tolong diterima saja, kalau tidak, saya juga tidak enak dengan kamu."
"Eh, anu itu tidak apa-apa, Pak." Kirana malah jadi gelagapan sendiri. Dia bukannya bermaksud demikianlah. Hanya memang khawatir saja memakai atau menggunakan barang orang. Seandainya Kirana dipinjami baju kemudian bajunya jatuh, kotor, bisa dicuci bersih lagi. Paling membeli sabun cair. Setelah direndam, dikasih sabun, disikat atau dikucek, bersih, selesai, dijempur, kering disetrika. Bayangkan saja jika laptopnya yang kenapa-napa? Kirana pasti bingung mencari service centernya.
"Anggap saja kalau saya sedang memfasilitasi kamu, Kirana. Itu sudah kewajiban mutlak saya karena meminta kamu untuk menjadi asisten saya. Jadi kalau kamu sendiri memiliki kekurangan ataupun keterbatasan, saya yang akan menyediakan perangkat untuk kamu. Jadi jangan takut. Justru saya yang tidak enak karena harus menyusahkan kamu ketika saya tidak bisa mengajar nanti."
Pak Damar yang sabar memberikan pengertian akhirnya membuat Kirana menerima laptop tersebut dengan akad meminjamkan, bukan memberikan dengan percuma. Suatu hari nanti, pasti diambil lagi oleh Pak Damar dan Kirana akan menjaga laptop itu dengan baik.
"Baik, Pak. Terima kasih." Kirana menunduk.
"Saya yang berterima kasih."
"Kalau begitu saya permisi dulu. Permisi, Pak."
"Silakan, laptopnya jangan ditinggal." Peringat Pak Damar yang membuat Kirana tersadar kalau dia hampir lupa betulan untuk membawa laptop tipis berwarna silver di depannya ini.
"Oh iya, itu touchscreen." Pak Damar menunduk untuk mengambil sesuatu dalam tasnya lagi. Kemudian mengulurkannya kepada Kirana. Yakni sebuah touchpen. "Sekalian." Katanya.
Kirana kembali dibuat menelan ludah. Bagaimanapun dia itu orangnya pelupa. Suka lupa jika sudah membawa sesuatu. Kalau dia lupa menaruhnya, bisa melayang percuma seharga dua juga, itu saja yang paling murah. Dan sepertinya dan sudah pasti, Pak Damar bukan orang yang akan membeli barang murahan.
"Kalau nanti ada yang rusak, saya minta maaf dari sekarang ya, Pak."
Pak Damar hanya tertawa mendengar perkataan Kirana yang malah terkesan tertekan sekali. Padahal kalau rusak pun, Pak Damar yakin dan akan percaya kalau Kirana pasti tidak sengaja kerusakannya karena melihat dari sopan santunnya saja, Pak Damar tahu kalau Kirana adalah mahasiswi baik-baik. Lagipula kalau memang rusak pun, seperti yang sudah dirinya katakan. Memang sudah waktunya rusak, mau diapakan lagi? Orang yang memiliki uang banyak dengan orang yang tidak memilki uang sebanyak orang lain, sudah pastilah pemikirannya berbeda. Baik Pak Damar maupun Kirana juga mengerti hal tersebut dengan sangat baik. Karena itu, Kirana yang Pak Damar tunjuk, bukan yang lain.