Pagi yang cerah membuat mahasiswa-mahasiswi yang ingin berangkat ke kampus pun menjadi lebih bersemangat daripada saat hujan yang menyambut.
Jalanan yang ramai berdesak-desakan, belum lagi genangan keruh di jalan, dan cipatran air dari pengendara jalan lainnya, selalu menjadi hal yang biasa tapi tetap menyebalkan saja bagi sebagian orang yang terkena getahnya.
Seperti Kirana yang naik motor dibonceng oleh Nisa. Kalau hujan, tak terhitung berapa kali mereka menyebut saat pakaian yang dikenakannya terkena cipratan air hujan di jalan meskipun hujan sudah reda sekal. Kalau bersih tidak apa-apa tinggal menunggu kering saja. Namun kalau sudah kotor dan memang kebanyakan kotor semua, mereka hanya bisa mengelus d**a. Pengendara lain terkadang tidak peduli. Ada yang sempat meminta maaf. Itupun ada yang tulus dan tidak tulus, juga ada yang langsung kabur begitu saja seolah-olah tidak melakukan kesalahan sama sekali.
Mereka tahu bahkan semua orang juga tahu setiap orang memiliki kepentingan masing-masing di pagi hari. Ada yang ingin pergi bersekolah baik mulai dari anak SD, SMP yang diantarkan oleh orang tuanya, juga anak SMA dan mahasiswa yang sudah memakai sepeda motor sendiri, kemudian abang-abang ojek online yang mengantarkan pelanggannya, kemudian ada yang pergi bekerja, bahkan yang memang sekadar berputar-putar di jalanan juga ada saking tidak punya pekerjaannya di rumah. Daripada diam menyebabkan pemikiran yang berlebihan, alhasil dibuat jalan-jalan agar pikirannya lebih segar. Namun kenyataannya, bukannya pemikirannya lebih baik, yang ada malah stress karena terjebak kemacetan yang mengular seperti jalanan yang terpantau ramai penuh ini.
Kalau memakai sepeda motor seperti Nisa dan Kirana, juga seperti pengandara jalan yang lain masih bisa melipir di celah yang sempit sehingga mereka bisa beramai-ramai mencapai garis terdepan untuk terlepas dari kemacetan lebih dulu. Pekikan klakson tidak perlu dipertanyakan lagi. Suaranya seakan sambung-menyambung menjadi satu. Belum lagi orang-orang yang tidak sabar, malah dengan sengaja memainkan klakson sampai ditegur pengendara yang lain karena polusi suara atau yang paling buruk malah bersumpah serapah karena kesal jalan tak kunjung bisa bergerak. Seharusnya, jalanan di sana diberikan gardu sebagai peringatan bahwa jalan-jalan di sini hanya diperuntukkan untuk orang-orang yang sabar menghadapi kemacetan karena daerah tersebut memang rawan macet parah karena dasarnya jalan raya. Yang tidak sabar, terbang saja biar langsung sampai Seandainya kalau bisa.
Baru saja dibatin, Kirana yang memang menutup helmnya sedari tadi memekik saat roknya terkena cipratan mobil yang lewat. Padahal keadaannya sedang macet, tapi masih saja terkena imbas dari pengguna jalan yang tidak toleransi dengan rakyat kecil. "Ya Allah, basah deh." Tangannya refleks tergerak untuk mengusap-usap bagian rok yang kotor tersebut.
Perempuan itu langsung lesu, pasalnya genangan air itu berwarna keruh dan roknya yang hitam terdapat titik-titik kecoklatan.
"Kenapa, Ki?" Nisa agak memekik kencang agar Kirana yang duduk di belakang mendengar.
"Rokku kotor, terkena cipratan mobil yang lewat tadi." Pandangannya masih menunduk, menatap roknya yang kotor mengenaskan. Pasti nanti harus dibasahi kalau sampai kamar mandi agar tidak kotor lagi roknya.
"Emang bener-bener ya. Mentang-mentang kita pakai motor bisa langsung was wus aja kerjaannya. Coba aja kalau aku diantarkan sama Papa, aku balas itu yang suka nyipratin kamu air. Kalau kita punya mobil mah, milih pakai mobil kalau hujan begini. Bisa-bisanya nggak menghargai sama sekali." Nisa yang hanya terkena sedikit saja makanya tidak terlalu merasa langsung mendumel tidak suka, apalagi Kirana. Namun, ya sudahlah, sudah kejadian juga. Pasti ada hikmah yang dapat dipetik dari peristiwa sederhana barusan.
"Enggak papa lah, Nis. Mungkin tadi yang di depan juga buru-buru, jadi tidak memikirkan sekitarnya lagi, yang penting sampai tempat tujuan dengan selamat. Ini nanti sampai kampus aku bersihkan roknya, biar tidak kotor lagi."
"Itu kotor pakai banget?" Nisa kembali bertanya memastikan. Kalau iya, dia mampir ke kost temannya yang ada di depan, meminjam rok untuk Kirana daripada memakai pakaian kotor di kelas. Kirana nanti bisa dibully habis-habisan oleh teman-temannya. "Mau ganti pakaian, Ki? Aku pinjamkan ke temanku. Kostnya di depan, jadi tidak perlu putar balik."
Kirana langsung menjawab dengan kepalanya yang menggelengkan. "Ndak perlu, Nis. Pakai ini saja tidak apa-apa, ini masih bisa dibersihkan kok."
"Oalah, ok, siap Ki."
Kirana langsung menikmati perjalanannya dengan Nisa lagi. Tidak mempermasalahkannya lagi roknya. Sampai jalanan sedikit renggang, Kirana yang tadi masih ingat mobil yang menciptakannya genangan air di jalan, langsung menatap mobil itu tanpa mengalihkan tatapannya sama sekali. Tatapan yang Kirana berikan bukanlah tatapan tajam, mengolok, tanda protes atau apa. Dia hanya melihat terus karena kebetulan sejajar. Dan tiba-tiba saja kaca mobil yang hitam itu di buka. Kirana yang melihat wali kelasnya adalah orang yang di dalam sana hanya menganggukkan kepalanya pelan sebagai tanda hormat.
Bapak yang umurnya masih muda di dalam mobil tersebut juga sama mengangguk pelan, tapi tak ada rona senyum sama sekali di wajahnya yang rupawan. Kirana juga tidak masalah. Memang wajah dosen walinya seperti itu. Mau diapa-apakan juga wajahnya tetap seperti itu. Jadi ya sudah lah. Kirana juga bukan orang penting hingga pak dosen yang Kirana saja lupa namanya harus tersenyum ke arahnya.
Sampai waktu berlalu, Nisa dan Kirana berjalan lebih dulu, semuanya seakan terlewatkan begitu saja. Nisa melipir begitu lincah hingga sampai di batas kemacetannya lebih dulu. Memenangkan untuk bisa lepas dari kemacetan yang terasa penat sekali.
Namun perjalanan mereka tidak sampai di sana saja. Nisa langsung memberhentikan Kirana di depan pagar fakultasnya kemudian melanjutkan perjalanannya lagi menuju fakultas pertanian yang masih agak ke dalam. "Ki, duluan ya? Assalamualaikum." Nisa pamit bersemangat.
"Makasih, Nis. Hati-hati. Wa'alaikumsalam."
Kirana tidak beranjak kemana-mana. Dia masih menunggu di pinggir jalan sampai Nisa terlihat lebih jauh hingga tak terlihat sama sekali. Setelahnya, Kirana ingin berjalan masuk ke lingkungan fakultasnya. Namun, terdengar suara klakson mobil yang membuat Kirana terkejut sampai mengelus dadanya. 'Untung tidak tertabrak,' batinnya berteriak. Kirana langsung minggir ke tepi, dan dia juga tidak berharap ada yang meminta maaf kepadanya karena Kirana sendiri yang tidak lihat-lihat saat berjalan tadi.
Namun, begitu dilihat, Kirana baru sadar itu adalah mobil milik dosen walinya. Dia cuma geleng-geleng tidak peduli. Dia memang bukan siapa-siapa sehingga orang akan memerlakukannya bak putri maupun ratu.
Sambil berjalan menuju ruangan kelas sesuai jadwal, Kirana mengingat-ingat perjalanan menuntut ilmunya. Dia hampir tidak memilki satupun teman yang benar-benar definisi teman di dalam kelasnya. Dia hanya sendirian selama ini karena kebanyakan teman-temannya anak orang kaya semua. Tidak laki-laki, tidak perempuan, mereka suka sekali menganggu Kirana saat bertemu. Seperti mengatai pakaiannya yang itu-itu saja. Juga wajahnya yang tak pernah dihias layaknya orang mau nikahan saat pergi ke kampus, itu juga dipermasalahkan. Padahal, Kirana memang mengutamakan apa yang dia butuhkan bukan yang dia inginkan.
Jujur saja dia memang ingin sesekali berdandan, paling tidak memakai lip balm atau lipstik tipis-tipis. Namun setelah Kirana pikir-pikir, dia tidak bekerja saja berani membeli seperti itu, apalagi kalau sudah bekerja nanti?
Kirana tahu kalau bekerja nanti kebanyakan orang-orang dituntut untuk selalu berpenampilan rapi. Tapi definisi rapi apakah harus berdandan? Kirana rasa tidak seperti itu. Dia selalu berpenampilan rapi meski tidak berdandan. Hanya saja orang-orang yang melihatnya yang menganggap kalau Kirana mempermalukan dirinya sendiri. Padahal, mereka tidak tahu saja kalau Kirana sedang menghemat pengeluarannya untuk hal-hal yang penting saja. Kalau tidak penting sama sekali, Kirana akan menghindarinya.
Belum juga Kirana sampai dalam ruangan kelasnya. Dia masih di anak tangga terbawah, memilih naik tangga biar sehat, dia mendengar teman sekelasnya dengan teman satu kumpulan temannya itu juga tengah membicarakan seseorang. Kirana yang masih di bawah hanya mendengarkan, tidak mau mengusik. Jangankan diusik, Kirana tidak melakukan apa-apa saja selalu serba salah di mata mereka.
"Pak Damar makin hari makin tampan, ya? Masih jomlo lagi!" kata seorang perempuan yang tak lain adalah Bianca. Dia yang terkenal paling suka menganggu Kirana, mengomentari semua yang ada pada Kirana dari atas sampai bawah. Bahkan Kirana hanya bernafas, hanya memejamkan mata tanpa menganggu siapapun, tetap saja Kirana terlihat salah di matanya.
"Iya, Bi. Gila sih, emang tampan banget dosen kita tercinta ini. Nggak salah gue naruh hati." Mei yang sama b***k cintanya langsung menyahut antusias. Sementara Sindy hanya membekap mulut dengan tangan kanan saat menguap.
Mereka kalau pagi-pagi memang suka seperti itu, menunggu di tangga karena Pak Damar suka menaiki tangga daripada lift, sama seperti Kirana. Kalau sudah sampai tangga, Pak Damar akan digoda habis-habisan. Bahkan Bianca tak segan mengatakan sesuatu yang ada pada hatinya pada dosen wali tercintanya ini.
Kan, belum juga apa-apa, Pak Damar yang berjalan menuju tangga benar langsung dipersilakan oleh mereka, tapi tetaplah saja diganggu dengan berjalan di belakang dan berbicara yang tidak-tidak layaknya Pak Damar ini teman sebayanya, bukan dosennya.
Kirana yang masih menunggu mereka berjalan agak jauh hanya bisa menghela nafas pelan. Dia baru berjalan kalau mereka sudah berbelok dan begitu seterusnya agar Kirana tidak sampai berpapasan, bisa ricuh nanti. Daripada membuat perkara, lebih baik Kirana menunggu dengan sabar saja.
Sampai akhirnya Pak Damar masuk ruang kelas SA III dengan diikuti oleh tiga orang si belakangnya yakni Bianca, Sindy dan Mei, baru Kirana menyusul masuk sehingga Pak Damar tidak akan mempermasalahkan Kirana yang datang setelahnya. Karena Pak Damar akan mempermasalahkan mahasiswa-mahasiswinya yang baru masuk ketika doa sudah dimulai.
Tetap. Meskipun sedewasa atau setua apapun seseorang, tempat bergantung dan memohon pertolongan hanya kepada Tuhannya. Karena itu, sebelum memulai kegiatan pembelajaran atau apapun itu, pasti membaca doa menurut agama dan kepercayaan masing-masing terlebih dahulu.
Begitu ketua kelas memimpin doa, mereka lantas berdoa bersama-sama. Dan setelahnya, langsung pembelajarannya dimulai.
Kebanyakan orang-orang, lebih menyukai pengajar yang humble atau ramah daripada pengajar yang terkesan kaku atau cuek. Namun daripada itu semua, terkadang good looking menjadi tolok ukur tersendiri dalam menilai orang di zaman sekarang. Namun meksipun begitu, masih banyak juga orang yang menghargai sesamanya. Tidak melulu berpikir bahwa kecantikan dan ketampanan adalah segala-galanya. Karena itu semua tidak dibawa mati. Kalaupun mati, hanya amal soleh yang dibawa. Malaikat tidak akan bertanya skin care yang dipakai apa atau sebagainya.
Dasarnya Bianca ini memang tidak bisa diam, dia malah dengan sengaja menggoda Pak Damar secara terang-terangan di kelas. Sebenarnya, ini adalah hal yang biasa. Hanya saja, Bianca yang berbuat hal tidak seharusnya, justru orang satu kelas yang menanggung malunya.
"Sampai di sini ada yang ditanyakan?" Pak Damar bertanya dengan tatapan begitu datar ke arah depan. Dia sudah kebal seandainya ada mahasiswinya yang malah bertanya omong kosong.
"Saya belum paham, Pak. Nanti datang ke ruangan Bapak boleh, biar diajari lagi, biar paham." Bianca menyahut bahkan saat belum diizinkan.
"Tanya pada Kirana." Kata Pak Damar tanpa pikir panjang. Kirana yang mendengar jelas kebingungan sendiri. Dia yang semula menunduk jadi menatap depan, tidak sengaja melihat Pak Damar dan langsung membuat gadis itu kembali menundukkan pandangannya lagi.
"Kok si culun sih, Pak?!" jelas Bianca tidak terima diajari oleh Kirana di saat Bianca sendiri merasa paling pintar. Jelas-jelas dia tidak akan menerima saran dari Pak Damar barusan. Bianca minta diajari oleh Kirana? Mimpi. Kalaupun benar terjadi, pasti ada udang di balik batu, ada niat yang terselubung tanpa bisa orang lain prediksikan apa rencana Bianca sebenarnya.
"Dia yang nilainya paling tinggi."
Bianca hanya mencebik saat Pak Damar berbicara seperti itu. Meskipun Pak Damar di depannya sekarang tengah memakai kemeja putih yang lengannya agak ditekuk hingga terlihat ototnya, Bianca malas duluan kalau sudah membahas Kirana. Seperti perempuan di dunia ini tinggal Kirana saja.
"Nggak lah, Pak. Nanti nggak diajarin yang bener malah diajarin sesat." Masih dengan wajah cemberut, Bianca menyahut. Yang benar saja dia meminta diajari Kirana, dia yang mengajari Kirana ya baru terasa paling benar.
"Dia yang nilainya paling tinggi," balas Pak Damar kalem. Lagi pula memang itu kenyataannya.
Semua orang yang berada di sana, yang memang sudah biasa terjadi perbedaan pemikiran antara Pak Damar dengan Bianca sudah tidak asing lagi. Kalau Bianca yang membuat gaduh, membuat sesuatu yang tidak sepantasnya, satu kelas menanggung malu semua. Faisal saja yang sebagai ketua kelas sudah seperti angkat tangan. Perempuan adalah makhluk Tuhan paling ribet yang pernah dia temui.
Biasanya, hubungan mahasiswa dengan walau dosennya selalu baik, lebih menyenangkan dari pada dosen yang lain. Kalau kelas mereka tidak. Dari semester satu seperti tidak terarah karena ada Bianca yang sedari dulu suka sekali menganggu Pak Damar. Jadi Pak Damar yang dasarnya sudah cuek terlihat semakin tidak peduli padahal aslinya dia juga memperhatikan. Anak-anak kelasnya tahu itu, hanya saja ya sudahlah. Kalau tidak nyaman memang benar-benar tidak bisa dipaksakan.
Sementara Kirana sendiri saat disebut namanya tadi sudah mengangkat kepala, tapi tidak sengaja melihat Pak Damar yang masih duduk tegak di tempatnya. Sesaat kemudian, dia menunduk lagi, beristigfar dalam hati.