13. Dalam Perjalanan

1042 Kata
Sepanjang jalan diantarkan pulang oleh Pak Damar, Kirana antara lupa dan tidak dengan siapa yang mengantarkan dirinya bersama dengan Anggi. Yang jelas, Kirana tahu kalau tadi ada Pak Damar yang datang ketika sampai di depan rumah sakit ketika Anggi ingin mencari kendaraan. "Nggi, yang tolong aku siapa, ya?" Kirana bertanya pelan saat kepalanya agak pening. Dia ingin berbicara siapa tahu saja rasa sakitnya berkurang sehingga dia tidak perlu sakit kepala lagi yang menjadi indikasi akan mabuk perjalanan, karena perjalanannya juga tidak terlalu jauh dari rumah sakit. Sekitar 20 menitan. Hanya saja, hampir petang membuat jalanan ramai sekali. Entah kenapa orang-orang suka memenuhi jalan ketika pagi dan petang. Ya mau bagaimana lagi, memang sudah jalannya. Memangnya orang mau terbang kalau berpergian meskipun hanya membeli makanan di warung. Kalau begitu, bisa-bisa jalan di Indonesia jadi tempat lepas landas pesawat terbang semua. Sementara Anggi yang ditanyai juga tidak tahu menahu. Dia mungkin tahu yang tadi ada bersama dengan Bu dokter di ruangannya juga sama dosennya. Hanya saja, Anggi tidak terlalu peduli meskipun tadi wajahnya setampan apa. Yang Anggi khawatirkan cuma keadaan Kirana. Dia ingin melihat keadaan Kirana. Selain itu, yang Anggi tahu tadi, Kirana pingsan dibawa oleh dosennya dari kamar mandi, tidak tahu bagaimana kejadiannya dan kenapa bisa terjadi. Yang pasti, Anggi belum tahu kalau Kirana dibully oleh teman-temannya sendiri. Di kampus mereka ada nilai dan norma yang harus dijaga. Hal yang terjadi pada Kirana adalah sesuatu yang sangat rendah sekali. Tindakan yang tidak memanusiakan manusia. Pak Damar yang biasanya tidak mau peduli dengan penindasan seperti ini sampai menyuruh petugas keamanan segera mengusut tuntas siapa pelakunya, karena itu juga pelakunya sudah diketahui. Pak Damar yang sebenarnya mendengar di depan ingin bertanya banyak hal pada Kirana perihal yang terjadi dengan gadis ini, tapi karena melihat keadaaan Kirana yang masih lemah seperti itu, dia jadi kasihan kalau mau ditanyakan sekarang. Jadi Pak Damar menunggui waktu yang tepat saja untuk bertanya lebih dalam. Lagipula Pak Damar sudah memiliki nomor Anggi tadi untuk kelanjutan kasusnya seperti apa. Dia akan menghubungi Anggi karena yang datang pertama kali tadi memang Anggi. Yang masih tak habis pikir oleh Pak Damar karena tadi Kirana habis dari kelasnya. Semuanya juga terlihat baik-baik saja. Pak Damar jadi tidak bisa membayangkan kalau ada sesuatu yang buruk yang terjadi dengan Kirana seandainya dia tidak datang. Bagimana kalau serangan paniknya yang begitu besar membuat jantungnya berhenti berdetak saking takutnya? "Emang tadi kamu nggak tau, Na?" Anggi malah balik bertanya. Dia mana tahu. "Bukannya dosen kamu sendiri?" "Dosenku? Siapa?" Kirana bertanya makin bingung. "Aku ndak inget apa-apa," katanya. "Ya udah, ndak usah diingat-ingat lagi. Tidur aja, macet ini." Dengan begitu perhatian, Anggi menepuk-nepuk paha Kirana, agar sahabatnya ini lebih rileks. "Aku pengen muntah, Nggi." Kirana hanya berujar lesu. Keningnya sudah dipenuhi dengan keringat dingin. Suaranya lemah, gerakannya apalagi, lemas sekali. "Duh ndak bawa kresek." Kata Anggi bingung sendiri. Pak Damar yang tidak mungkin pura-pura tuli sehingga mobilnya yang jadi korban muntahan, langsung mengambilkan kresek yang memang selalu dirinya sempan di dasbor mobil untuk jaga-jaga. Ya walaupun keluarganya atau teman-temannya tidak ada yang pemabuk, tapi lihat sekarang, kreseknya berguna juga, kan? Karena memang jalannya macet, Pak Damar menoleh dan mengulurkan keresek hitam itu kepada Anggi. "Ini." Katanya. Anggi buru-buru membukakan plastiknya untuk Kirana dan memijat tengkuk leher sahabatnya ini. Pak Damar sudah kembali menatap depan dengan kening yang agak berkerut mendengar muntahan anak didiknya sendiri. Dia seperti ingin muntah juga. "Bawa minyak kayu putih ndak, Na? Dipakai dulu." Kata Anggi setelah gadis itu selesai mengeluarkan isi perutnya. "Nanti mobilnya bau." Kirana lebih lega sekarang meski rasa mual itu tidak menghilang secara keseluruhan. Karena memang kalau dia mabuk, pasti tidak hanya sekali muntahnya. Apalagi kalau masih di dalam kendaraan, ya sudah tidak pulih-pulih. Mmebau polusi di luar kendarannya saja sudah membuat Kirana mau pingsan saking mualnya. Menjadi orang yang pemabuk memang kurang menyenangkan. Tapi bagaimanapun keadaannya, harus tetap disyukuri. Diambil nilai positifnya saja jika segala sesuatu pasti ada hikmah yang dapat dijadikan pelajaran hidup. Sesederhana apapun itu pengalamannya, bahkan mabuk perjalanan yang suka dianggap remeh oleh sebagian orang. "Pakai saja." Pak Damar langsung menyahut dari depan. Daripada mobilnya bau muntahan, lebih baik bau minyak kayu putih. Mendapat lampu hijau dari sang pemilik mobil, Anggi langsung mengambilkan minyak kayu putih Kirana dan membiarkan Kirana memakainya sendiri. "Jadi orang kok mabuk terus to, Na. Na. Aku lhoh pegel liat kamu muntah-muntah. Lhah nanti kalau kamu sudah jadi orang kaya, terus punya mobil, ya mabukkan kayak begini? Ndak guna dong punya mobil, enakan motoran."" Kirana tersenyum mendengar Anggi mengatainya seperti itu. Kalau boleh memilih, Kirana juga tidak ingin menjadi orang yang suka mabuk dalam perjalanan karena rasanya sakit. Bahkan pernah ada yang mendengar kalau ada yang meninggal ketika perjalanan karena mabuk? Itu pasti sangat mengerikan sekali. Kirana kalau sudah mabuk itu seperti orang yang lupa caranya berdiri seandainya tubuhnya tidak kuat benar. "Yo ndak papa, Nggi. Naik sepeda motor juga tetap sampai tujuan, malah enak, anginnya semilir." Anggi kalau berdebat dengan Kirana mana pernah menang? Yang ada dia ingin tertawa mendengar jawaban sahabat karibnya. "Yo wis lah, terserah kamu, bicara sama kamu itu sama aja ndak ada orangnya." Di kursi kemudi, Pak Damar ingin tertawa tapi ditahan-tahan. Mungkin kedua orang ini menganggapnya sebagai supir betulan. Pak Damar jadi penasaran kalau seandainya dia muncul di depan Kirana waktu turun nanti. Anak didiknya ini sadar atau tidak. Kalau tidak ya syukur, kalau iya ya malah tambah syukur. "Ini belum Magrib, kan?" Kirana kembali bertanya lesu. Masalahnya kalau mabuk, dia mana kuat berdiri lama-lama. Perutnya pasti kembali bergejolak. Sungguh, orang mabuk itu sakit. Jadi jangan dihinakan ketika ada orang di transportasi umun tiba-tiba mabuk perjalanan. Karena sungguh mabuk perjalanan itu tidak enak. Mana yang paling menyebalkannya lagi ketika naik transportasi umum seperti bus antar kota dan penumpangnya ada yang perokok, ketika di perjalanan dalam bus selalu merokok tanpa memikirkan yang lain. Kirana sungguh ingin mengusir mereka dari dalam bus, tapi ya orang supirnya sendiri juga merokok. Kirana ini mudah sekali mabuk perjalanan. Jangankan mencium bau rokok, mencium bau bayi saja kepalanya pusing bukan kepalang. Dia akan merasa lebih baik kalau memakai masker sehingga baunya tidak terlalu menyengat walaupun tidak hilang sepenuhnya. Memang perjuangan mencari ilmu. Kirana berusaha tidak mengeluh meskipun lelah. Karena Kirana tahu, selelah-lelahnya dirinya, ibunya yang paling lelah. Jadi, Kirana tidak boleh memanjakan dirinya sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN