“Senja Kirani Ananta, secara sadar dan tanpa paksaan, aku jatuhkan talak atas kamu. Mulai sekarang kamu bukan istriku lagi!”
Kata-kata itu terucap dari bibir sang suami karena Senja tidak mau memilih antara janin di kandungan atau Abi, suaminya. Jika orang lain akan bahagia ketika istrinya hamil, berbeda dengan Abiyan yang justru tega menceraikan sang istri.
Begitu mendengar kata-kata itu, Senja diam tanpa kata. Bibir wanita itu sedikit bergetar, ingin memprotes apa yang baru saja diucapkan oleh suaminya. Namun, kerongkongan terasa tercekat, lidah pun kelu untuk sekedar bertanya apa alasan Abi tega melakukan itu padanya.
“Kembalilah pada orang tuamu. Aku sudah tidak mau hidup bersama wanita keras kepala seperti kamu.”
Tetesan air mata pun luruh, tetapi Senja berusaha tersenyum. Kini dia paham dengan keadaan yang saat ini terjadi. Dia juga sadar, bahwa ini bukanlah mimpi.
“K-keras kepala? Kamu tidak sadar, Bi? Kamu yang egois.” Meski susah payah, ternyata Senja mampu mengatakan itu.
“Terserah! Yang jelas, mulai besok, aku tidak mau lagi melihatmu ada di sini.” Bukan hanya tega menjatuhkan talak, tetapi Abiyan juga tega mengusir Senja terang-terangan.
Bagaikan luka yang masih basah, dan Abi menyiramkan air garam di atas luka tersebut. Pedih, tetapi tidak berdarah. Namun, jika boleh memilih, Senja akan lebih kuat jika harus berdarah daripada menerima pahitnya dibuang suami saat hamil.
“Setahun lalu, kamu yang memintaku pada Bapak, Bi. Sekarang kamu juga yang harus mengembalikan aku pada orang tuaku,” ucap Senja, suaranya parau, menahan tangis.
Mendengar itu, Abi meludah tepat di hadapan Senja. Senja sampai memejamkan matanya, tidak kuat melihat kekejaman suaminya saat ini.
“Aku tidak Sudi mengantarmu pulang. Pulanglah sendiri, aku akan pesankan taksi untukmu.”
Lelaki itu pergi setelah menorehkan luka pada istrinya. Tangis Senja pecah setelah sang suami pergi meninggalkannya. Benar kata orang, Tuhan selalu menghadirkan rasa kantuk untuk hamba-Nya yang sedang merasa sedih, setelah lelah menangis dan meratapi nasibnya, Senja tertidur masih dengan jejak air mata di pipi.
Saat bangun, hari sudah sore. Senja mengucek matanya, dia melihat pantulan cermin di hadapannya. Dari sana tampak matanya yang sembab, dan wajah lesunya. Senja kembali memaksa bibirnya untuk mengulas senyum.
“Aku harus pergi secepatnya. Abi sudah mengusirku dari sini,” ucap Senja penuh tekad.
Dia bergegas membereskan barang-barang miliknya, memasukkan ke dalam koper. Meski hanya beberapa pakaian dan perhiasan pribadi miliknya yang dibeli sebelum menikah.
Senja telah selesai bersiap. Dia sudah keluar dari unit apartemen yang ditinggalinya selama setahun bersama Abi. Ketika akan menutup pintu, Senja sempat menatap nanar hunian itu. Saksi bisu atas suka dukanya menjadi istri Abiyan Prakarsa, lelaki manja yang hobi foya-foya.
Berat rasanya harus menyerah oleh keadaan. Namun, apa yang bisa diperjuangkan jika suaminya lah yang ingin mengakhiri. Kata talak bukan suatu kata yang bisa dijadikan bahan guyonan. Sekali jatuh, meski hanya dalam keadaan bercanda pun tetap berlaku.
Senja memang bukan wanita yang pandai dalam hal agama. Akan tetapi, hal seperti ini tentu dia tidak terlalu bodoh. Tangan Senja mengelus perutnya yang masih rata, kesedihan itu enggan untuk diperlihatkan Senja pada sang calon anak.
“Maafkan Mama, Nak. Mama tidak bisa memberikan keluarga yang utuh untuk kamu,” ucapnya sendu.
Setengah 8 malam, Senja baru saja sampai di sebuah rumah sederhana. Di tempat inilah Senja menghabiskan masa kecil hingga remajanya, sebelum mengenal Abi dan akhirnya ikut pindah ke Jakarta dengan alasan bekerja di sana sebelum menikah dengan lelaki itu.
Senja menghela napas, sebelum memaksa tangannya untuk mengetuk pintu rumah tersebut. Beberapa kali dia melakukan itu hingga terdengar sahutan dari dalam. Tidak berselang lama, pintu terbuka.
“Senja!” seru seorang wanita yang membukakan pintu.
“I-ibu,” panggil Senja lirih, tanpa kata lagi, Senja memeluk tubuh wanita paruh baya di hadapannya.
Keduanya berpelukan cukup lama. Senja masih berusaha menahan diri untuk tidak kalah oleh perasaan sedih. Dia tidak ingin ibunya ikut meratapi atas nasibnya yang malang.
“Siapa yang datang, Bu?” Suara dari belakang, membuat kedua wanita itu melerai pelukan.
Saat menatap wajah pria paruh baya yang berseri-seri ketika melihatnya, hati Senja terasa tercabik. Sakit, membayangkan bagaimana caranya dia akan memberitahu kedua orang tua yang begitu menyayangi dirinya tentang pernikahan yang terpaksa kandas.
*
Di sisi lain, pintu unit apartemen Abiyan digedor oleh seseorang. Saat pintu tersebut dibuka, sebuah bogem mentah didapatkan oleh lelaki pengecut itu. Dia bahkan sampai terpelanting jatuh.
“Dasar b******k! Lagi-lagi kamu membuat ulah, Abi. Kali ini tingkahmu sudah di luar batas! Saya tidak bisa mentolerir kelakuan b***t kamu sekarang.” Seakan tidak puas, orang itu kembali menghadiahkan pukulan, hingga sudut bibir Abiyan berdarah.
“Ada apa, sih, Mas?” Abiyan bertanya setelah mengusap darah yang ada di sudut bibirnya.
“Tidak usah pura-pura bodoh, Abi. Saya benar-benar malu atas kelakuan kamu sekarang!” bentak orang itu.
Abiyan menatap remeh sang kakak yang terlihat sangat marah. Lelaki pendiam itu sekarang menjelma menjadi singa lapar.
“Hm, Mas Agung sudah tahu tentang rumah tanggaku dengan Senja?” tebaknya santai, dia berusaha berdiri. “Sudahlah. Mas jangan ikut campur urusan rumah tangga orang,” lanjutnya tanpa rasa malu.
“Jangan pernah berani membatasi saya jika hidup kamu saja saya yang tanggung.” Agung menjawab dengan tegas.
Bukannya takut, Abiyan justru berlaga seperti model catwalk. Dia menyugar rambutnya ke belakang. “Mas memang bertanggung jawab atas materi dalam hidupku, tapi bukan berarti Mas bisa seenaknya ikut campur tentang urusan pribadiku,” katanya tanpa beban.
Kedua tangan Agung mengepal kuat. Rasanya ingin kembali menghajar sang adik yang kian hari kian semena-mena.
“Cepat susul Senja. Perbaiki pernikahan kalian!” titah Agung, tetapi justru ditertawakan oleh Abiyan.
“Jangan mimpi, Mas!”
“Kamu menolak? Kamu berani menolak perintah saya?”
“Ya, aku berani. Aku bukan anak kecil yang bisa Mas gertak dengan ancaman seperti dulu lagi,” jawabnya masih dengan nada dan ekspresi santai. Tidak ada ketegangan apapun meski sang kakak menatapnya garang.
Agung menganggukkan kepalanya. “Yah, saya lupa jika kamu sudah dewasa, Abi. Kamu tahu, kenapa saya lupa? Karena yang dewasa hanya angka usiamu, tapi tidak dengan pemikiran dan sikapmu.” Lelaki itu menjeda ucapannya, tatapan matanya tidak berpindah sedikitpun dari sosok sang adik.
“Saya tidak tahu dari mana kamu dapatkan sifat ini. Tapi sebagai kakak, tentu saya malu memiliki adik sepertimu.” Agung yang sudah kehilangan kesabaran, akhirnya mengucapkan kata-kata itu.
Abiyan masih menganggap remeh ucapan sang kakak. Dia juga masih bisa menjawab, “jika Mas malu, ya, tinggal enggak usah anggap aku sebagai adik. Gampang, ‘kan?”
“Jika bukan karena Mama yang selalu membelamu, sudah saya biarkan kamu hidup lontang-lantung di jalanan,” sahut Agung penuh amarah.
“Mas tega membuangku demi orang lain,” protes Abi, dia mulai sadar bahwa sang kakak tidak hanya memberikan ancaman, tetapi peringatan yang tidak main-main.
“Kamu saja berani membuang istri dan anak kamu, kenapa saya tidak boleh membuang beban keluarga sepertimu?”
Dilabeli dengan julukan Beban keluarga, membuat Abi tidak terima. Dia menatap tidak percaya bahwa kakaknya tega mengatakan hal tersebut.
“Sepertinya Mas terlalu mengistimewakan Senja dan calon anaknya. Kenapa tidak Mas saja yang menjadi ayah untuk anak itu?”