13

1221 Kata
Bab 13 Setelah mematikan sambunan telepon dengan Erika, aku mencoba menghubungi Mas Reino. Namun belum juga tersambung , terdenar ketukan pintu ruanganku. “Maaf, Mbak. Ada yang mencari Mbak Jasmine. Katanya sudah menhubuni Mbak Jasmine, namun tidak tersambung.” “Siapa, Ta?” “Pak Ryan, dari Ansa, Mbak?” “Ya sudah suruh masuk, Ta. Sekalian tolong buatin minuman ya, Ta.” “Siap, Mbak.” Tidak terlalu lama pintu Kembali diketuk, aku mempersilahkan masuk dengan ramah. “Selamat siang Pak Ryan.” “Siang juga, Jasmine. Maaf saya datang tanpa membuat janji temu dulu. Tadi saya sudah mencoba menghubungi lewat telepon, tapi nggak diangkat. Mumpung saya berada di sekitar sini, jadi saya mampir sekalian.” “Maaf, Pak Ryan. Jadi ada perlu apa Pak Ryan sampai repot-repot kesini? Seingat saya, kita ada schedule meeting masih minggu depan.” “Jangan panggil Pak, Jasmine.” “He… he …. Udah kebiasaan, Mas.” Aku agak kaku menyebut Pak Ryan dengan sebutan Mas. Bang Adnan pun juga meminta aku memanggil dengan sebutan tersebut. Yah walaupun mulut ini terasa kaku sekali. “Kan tinggal di rubah aja, Mine, kan gampang Pak di rubah jadi Mas.” “Siap Bos.” Aku meletakkan telapak tangan seolah memberi hormat. “Si Bos teriak Bos ini gimana sih!!! Aku ini loh masih karyawan, Mine.” “Bisa aja ngerendahnya, Mas.” Mas Ryan menyunggingkan senyumnya. Entah pemikiran darimana, aku merasa sudah pernah melihat Mas Ryan. Ini bukan kali pertama aku merasa tak asing dengan wajah Mas Ryan. “Jadi begini Jasmine, saya sudah berdiskusi dengan Adnan, jadi pengiriman barang skema nya akan di rubah. Garis besarnya, saya sudah sampaikan ke Adnan, ini untuk detailnya bisa kamu baca. Nanti kalau ada yang kurang jelas atau ada yang perlu di koreksi, kita diskusikan lagi.” Ucap Mas Ryan, seraya menyerahkan tumpukan kertas ke arahku. Dengan cermat aku membaca setiap point nya. Ada beberapa point yang tidak aku setujui, akhirnya kami pun mendiskusikannya hingga mencapai kesapakan akhir. Aku tidak menyangka Mas Ryan, orangnya sangat asik untuk di ajak berdiskusi, mengingat aku adalah orang baru yang terjun langsung dalam urusan logistic Kafe. Di tengah ketidak jelasan dalam rumah tanggaku, aku masih bisa merasakan kebaikan orang-orang di sekeliling dalam membatuku mengurus Kafe ini. *** Senja dengan sinar kuningnya telah menampakan kecantikannya di langit. Aku bersiap untuk pulang. Rencananya nanti akan menanyakan semua pertanyaan yang ada di kepala kepada Mas Reino. Entah kemana perginya Mas reino yang beberapa bulan lalu berlaku manis kepadaku itu. Akankah rumah tanggaku mengalami kemunduran seperti tahun lalu. Ya Tuhan, semoga tidak terjadi hal yang tidak aku inginkan terjadi dalam rumah tangga ku. Aku melajukan mobil dengan pikiran yang menumpuk. Belum lagi dengan kondisi badanku yang mudah Lelah dan capek, ayo badan jangan sakit banyak hal yang menarik yang akan kita hadapi. Aku menyemangati diriku sendiri. Dalam perjalan ke rumah, aku mampir berhenti di Apotik, sepertinya tubuhku membutuhkan suplemen tambahan. Ketika aku memilih beberapa multivitamin yang di tawarkan petugas apotik, ekor mataku melihat jejeran alat tes kehamilan, entah bisikan darimana, aku menggerakkan kaki ke arah etalase tersebut dan mengambil tiga jenis alat tes kehamilan dari berbagai merek. Kemudian melakukan p********n di kasir beserta multivitamin. ‘Apa mungkin aku hamil lagi ya?’ Pertanyaan dalam benak ku. *** Aku melihat mobil Mas Reino sudah terparkir rapi di garasi. Jam sudah menunjuk di angka tujuh Ketika aku sampai rumah.wajar kalau Mas Reino sudah ada di rumah. Ketika aku masuk rumah, pandanganku mengitari setiap sisi rumah mencari keberadaan Mas Reino. Bi Narti menyadari sikap ku, kemudian berucap bahwa Mas Reino ada di ruang kerjanya. Ku ayunkan kaki ke arah tangga menuju kamar. Aku akan bicara dengan Mas reino setelah membersihkan badan yang terasa lengket dan gerah. “Bi, Mas Reino sudah makan malam atau belum?” “Belum, Bu. Tadi katanya nunggu Ibu dulu.” “Bibi udah selesai menyiapkan makanannya?” “Sudah, Bu.” Bi Narti ini padahal aku sudah minta untuk panggil nama saja atau Mbak. Jawabnya selalu sudah nyaman mulutnya memanggil Ibu daripada nama langsung. Akhirnya aku membiarkannya memanggil Ibu kepadaku. “Ya sudah, aku panggil Mas Reino dulu ya, Bi.” Aku melihat pintu ruang kerja tidak tertutup rapat. Aku mendorong pintu yang tak tertutup rapat tersebut. Aku melihat Mas Reino sibuk dengan tumpukan kertas di atas meja. “Mas….” Mas Reino terkesiap kaget mendengar suaraku. Aku tersenyum melihatnya. “Kamu sudah pulang, Sayang?” aku menganggukan kepala, namun tetap berdiri di depan pintu. “Mau makan sekarang?” “Iya.” Kemudian Mas Reino berdiri dari kursinya, tanpa membereskan kertas-kertas yang ada di mejanya. Berjalan ke arahku dengan senyum tersungging dari bibirnya. “Ayo.” Dengan merangkul pundakku, kami berjalan beriringan ke meja makan. Aku mengambilkan nasi beserta sayur dan lauk ke piring Mas Reino, kemudian aku serahkan piringnya. Berlanjut mengambil makanan ke piring ku. Disela-sela makan kami selipkan obrolan-obrolan ringan. Tampak wajah Mas Reino Lelah. Setau ku, Papa mulai mengurangi intensitasnya datang ke kantor, itu artinya pekerjaan banyak di limpahkan kepada Mas Reino. Setelah makanan di pring pindah ke lambung kami, kami menyudahi makan malam ini. Mas Reino mengangkat bokongnya dari kursi yang di duduki. “Mas, mau ke ruang kerja dulu ya, mau rapihin berkas-berkas. Kamu duluan saja ke kamar, Mas Cuma sebentar.” Aku menganggukan kepala melihat Mas Reino meninggalkan meja makan. Aku merapikan alat makan bekas kami, aku letakan di kitchen sink, kemudian dilanjutkan oleh Bi Narti untuk mencucinya. “Saya ke kamar dulu ya, Bi. Bi Narti habis ini langsung istirahat saja.” “Siap, Bu.” Kemudian aku tinggalkan Bi Narti menuju tangga ke arah kamar utama. Selang tiga puluh menit, Mas Reino masuk ke kamar, langsung masuk ke kamar mandi. “Sudah selesai, Mas, kerjaannya?” Ucapku Ketika melihat Mas Reino keluar dari kamar mandi dan berjalan ke arah ranjang. Duduk di sisi ranjang, kemudian meletakan ponselnya di meja nakas sebelahnya, kemudian setengah merebahkan tubuh dengan kepala menyandar di head board. “Pekerjaan di kantor lagi banyak-banyaknya, Sayang. Papa hanya seminggu sekali datang ke kantor, makanya banyak berkas yang Mas bawa pulang.” Jelas Mas Reino. “Oiyah, Mas. Kemaren lusa, Mas kemana? Kenapa nggak pulang?” Tanyaku ke Mas Reino sambal menata posisiku seperti Mas Reino dengan kepala menyandar di Head board. “Sore nya Mas pulang, sayang. Sama sekretaris Mas. Kamu belum sampai rumah. Terus Mas juga lagi buru-buru ke Bogor ketemu klien. Itu pertemuan mendadak, karena Pak Maxime mau berangkat ke Jepang. Jad mau nggak mau malam itu juga harus ketemu.” Aku menggerakan kepala naik turun mendengar penjelasan Mas Reino. “Terus Mas tidur dimana?” “Di hotel, Sayang. Badan Mas sudah capek banget, daripada membahayakan akhirnya Mas istirahat di Hotel.” Degh Kenapa Mas Reino bohong ya? Padahal Erika lihat Mas Reino keluar dari unit apartemen yang letak lantainya sama dengan unit apartemen Erika. Ada apa ini? Aku harus menyelidikinya. “Sama sekretaris, Mas, juga nginap di hotel?” “Nggak, Sayang, sekretaris Mas langsung pulang ke apartemennya. Mas sendirian di hotel.” Aku menganggukan kepala lagi mendengarnya. Saat akan menurunkan bantal, aku tak sengaja melihat tangan Mas Reino lebam kebiruan. Aku duduk menghadap ke Mas Reino dengan memicingkan mata. “Mas, kenapa tangan kamu lebab begitu?” Tanyaku dengan sedikit panik. Mas Reino terlihat gugup, kemudian menutup lengannya yang lebam dengan telapak tangannya. “Hmmmmm…. I-Ini…ini……”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN