Bab 20
“Kondisi janinnya bagus ya, Bu. Sehat, berat nya cukup, tapi air ketubannya kurang ini, Bu. Ibu bisa lihat ini janin nya dan ini air ketubannya.” Ucap dokter Syifa sambil menggerakkan transducer nya. Rasa membuncah di hati sulit untuk aku jabarkan melihat perkembangan janin dalam rahimku.
Setelah selesai pemeriksaan dokter menjelaskan Kembali pertanyaan yang aku ajukan. Dengan sabar dokter Syifa menjawab setiap pertanyaanku. Beliau menekankan agar jangan stress dan memperbanyak minum air putih untuk menambah volume air ketuban. Setelah itu memberikan selembar kertas resep obat
dan print out hasil ultra sonografi kepadaku.
Ketika menunggu obat di depan apotik, ponsel yang aku letakan di dalam tas berbunyi. Notifikasi beruntun masuk, aku menunggu untuk beberapa saat. Tertera nama Erika, sosok yang mengirimkan pesan.
‘Kenapa lagi nih orang.’ Gumam ku sambil memperhatikan layar ponsel yang sedang aku pegang. Setelah lima menit, akhirnya aku membuka pesan bergambar dari Erika.
‘Ini bukannya Mas Reino ya?’ karena kurang yakin, aku memperbesar gambar. Karena focus gambar saat memotret atau membidik bukan ke Mas Reino, jadi hasil gambarnya tidak terfokus. Di gambar terdapat beberapa orang di taman memakai baju kaos senada termasuk juga Mas Reino. Tidak mau berspekulasi kemana-mana, aku menghubungi langsung pengirim pesan. Namun belum juga telephone ku tersambung, namaku di panggil oleh petugas apotik, akhirnya aku tunda untuk menghubungi Erika.
***
Aku duduk di kafetaria yang ada di rumah sakit, kemudian mengambil ponsel dalam tas, sambil menunggu pesananku di antar. Terlihat notifikasi panggilan tak terjawab dari Erika, kemudian aku menghubungi balik Erika, agar tidak nge-reog nanti dia kalau sudah aku abaikan panggilannya tadi.
“Hallo, Er. Sorry tadi nggak ke angkat telephone dari loe. Loe dapat tuh gambar dari mana?”
“Emang loe lagi dimana sih, Mine? Bisa-bisa nya loe nelpon belum juga gue angkat udah loe matiin, di telpon balik nggak diangkat.” Nah kan mode posesif nya Erika mulai on.
“Sorry…. Sorry Bos, gue kebelet tadi, oiyah loe dapat tuh foto darimana?”
“Dari temen gue. Dia abis nengokin saudaranya. Loe tau nggak itu dimana?”
“Nah itu dia yang juga mau gue tanyain. Kayak di panti gitu ya, soalnya mereka pakai baju samaan, kayak baju seragam gitu. Btw itu foto kapan emangnya?”
“Foto itu diambil beberapa minggu lalu, gue di kasih lihat foto itu tadi siang, awalnya gue biasa aja, pas gue amatin lagi, gue ngelihat laki loe di foto itu. Emang laki loe nggak cerita apa gitu ke loe?” Aku menarik nafas kemudian menghembuskan secara perlahan.
“Mine, loe masih disana kan?” Ucap Erika dari seberang sana karena aku tidak menjawab pertanyaannya tadi.
“Emang foto itu dimana, Er?”
“Ah… Sudah gue duga pasti laki loe nggak cerita atau bilang sama loe. Yang bikin loe paling penasaran yang mana, Mine? Buat meminimalisir kekagetan loe nanti… he..hee.” Mulai deh mode nyebelin dan usilnya Erika ini. Aku mendengus mendengar ucapannya.
“Apa gue ke tempat loe aja ya? Biar gue kalau kaget terus pingsan ada yang bantuin gue.”
“Nah gitu lebih bagus deh. Buruan sini, sekalian bawa cemilan ya buat temen ngegosip nanti.”
“Siap, Bos.” Panggilan pun kami akhiri.
Aku beranjak dari kursi yang aku duduki setelah menegak minuman yang ada di depanku. Kemudian membayarnya di meja kasir.
***
Di dalam mobil yang masih di parkiran Rumah sakit, aku menghubungi Mas Reino meminta ijin untuk pulang terlambat, dan Mas Reino memberi ijin karena dia juga ada pertemuan dengan kliennya dan akan pulang terlambat juga.
Aku melajukan mobil menuju apartemen Erika. Tumben banget Erika jam segini sudah ada di apartemennya, mengingat dia lumayan sibuk dan sering keluar kota pula. Aku sudah memesan pizza untuk dantar langsung ke tempa Erika untuk mempersingkat waktu.
Sesampainya di Apartemen Erika ternyata pesanan pizza juga sampai berbaringan. Efisien waktu sekali rasanya kalau begini.
Aku meletakan box pizza di meja makan, menunggu Erika yang sedang berbicara di telpon sepertinya urusan pekerjaan.
“Sorry, Mine. Bos gue sering rese’ kalau gue habis dari luar kota gini. Kita pindah di depan TV aja yuk, biar bisa lebih santai.” Dengan membawa minuman dalam gelas dan juga box pizza, kita beriringan berjalan ke sofa depan layar datar.
“Jadi gimana ceritanya, Er? Gue penasaran banget dari tadi, nunggu loe selesai telponan lama banget.” Aku lihat Erika menghabiskan potongan pizza di tangannya kemudian mangambil minuman kaleng di meja, dan meminumnya. Kemudian menjawab pertanyaan ku.
“Jadi gini, Mine. Gue ngobrol sama temen gue, dia cerita saudaranya dia ada yang di rehab, pas dia berkunjung pas disana ada kegiatan bersama. Dia photo tuh kegiatan disana buat laporan ke tantenya. Gue penasaran kan, akhirnya dia kasih lihat photo-photo yang dia ambil. Pas gue ngamatin tuh photo, mata gue langsung tertuju ke gambar itu. Gue awalnya ngira kalau hanya mirip doang. Terus gue minta dikirimin beberapa gambar yang gue duga laki loe. Coba sekarang loe amati, benar nggak itu laki loe? Gue berharap sih bukan, dan Cuma mirip aja.” Setelah cerita panjang Erika mengambil potongan pizza Kembali dan memakannya dengan lahap. Sepertnya dia sedang lapar sekarang.
Aku membuka pesan yang di kirim oleh Erika tad. Aku amati lekat-lekat, dan aku menyimpulkan kalau itu benar Mas Reino. Tapi bukankah dia waktu itu ke Bandung ya? Terus ada urusan apa dia di tempat rehab itu?
“Er, menurut loe laki gue ngapain ya disana? Maksud gue, apa dia lagi rehab atau dia jadi relawan ya?”
“Nah kan loe bini nya, kenapa nanya gue!!” Dengan nada sedikit kesal, aku pun tidak tersinggung, karena itu adalah nyatanya.
“Er, sebenernya gue lagi mengintai laki gue, tapi gue bingung.” Seketika Erika langsung menegakan badannya menghadap ke arahku yang sedang bersandar di sofa.
“Kenapa?”
“Gue bingung sama sikapnya, dan gue ngerasa ada yang di sembunyiin. Mertua gue pun sama. Namun kecurigaan gue berusaha gue tepis. Setiap gue curiga, laki gue ada aja cara untuk bikin gue percaya lagi. Berdasar dari cerita loe, cerita driver mama, sama kenyataan yang gue lihat secara langsung. Gue coba rangkai semua seperti puzzle, namun sampai sekarang belum ketemu jawaban pastinya. Gue Lelah, Er.” Detik berikutnya airmataku sudah menetes di pipi.
“Mine.” Dengan tatapan nanar Erika mengelus lengan tanganku.
“Gue nggak bermaksud ikut campur atau ngrecokin keluarga kecil loe. Tapi gue juga ngak bisa diem aja. Gue selalu siap kalau loe butuhin. Maaf ya, Mine. Kalau cerita dari mulut gue bikin loe tambah kepikiran dan sedih.”
Aku menghapus jejak airmata, dan menghadap ke Erika.
“Kenapa loe minta maaf sih, Er. Gue yang harusnya ngucapin terimakasih. Loe udah banyak ngebantu gue selama ini. Gue bersyukur banget jadi sahabat loe. Gue hanya Lelah aja, Er.” Kami pun akhirnya berpelukan menyalurkan rasa yang ada di d**a. Sungguh aku benar-benar beruntung memiliki sahabat sebaik Erika.
Setelah mendengarkan itu semua, Erika memberikan beberapa ide untuk mengintaian Mas Reino. Karena dia curiga dengan orang suruhanku yang tidak mengabarkan hal-hal yang aku curigai. Setelah kami Menyusun beberapa rencana, aku pun pamit pulang.
***
Saat aku sedang menyantap makan malam yang aku minta khusus kepada Bi Narti, aku mendengar derap Langkah kaki.
“Loh, kamu baru makan malam?”
~~*~~