Bab 19
Aku hanya bermalas-malasan di ruanganku tanpa melakukan apapun sejak datang satu jam lalu. Semalam aku menginap di apartemen Erika, sungguh mengenaskan, Erika harus mengetahui tentang rumah tanggaku yang sangat aneh ini. Namun dia belum mengetahui tentang kehamilanku, tidak terbayangkan oleh ku, kalau Erika tau tentang kehamilanku saat ini. Pasti bakalan ngereog ke Mas Reino.
Sesampainya di rumah tadi pagi sebelum ke kafe, aku bertanya ke Bibi, Bibi bilang kalau Mas Reino belum pulang. Jadi dia tinggal dimana? Apakah pulang ke rumah orangtuanya?
Sepertinya aku harus segera menyelidiki semuanya. Beruntungnya hari ini urusan kafe tidak terlalu banyak. Terlintas ide untuk menghubungi mama, mungkin aku sedikit bisa menemukan jawabannya. Aku raih ponsel yang tergeletak di meja, aku menekan ikon warna hijau setelah menemukan nama Mama. Tidak menunggu lama, dering kedua sudah terdengar suara Mama.
“Assalamualaikum, Ma. Gimana kabarnya?”
“Waalaikumussalam. Alhamdulilah sehat, Nak.”
Setelah berbasa-basi dengan mama, akhirnya pertanyaan yang ada di kepala keluar juga melalui mulut ini.
“Maaf, Ma. Apa Mas Reino menginap di rumah?”
“Loh Reino kan masih di Bandung, Nak. Kata Papa belum beres urusan disana. Selasa besok kemungkinan baru balik Jakarta. Emang Reino nggak bilang sama kamu, Nak?”
“Ya ampun, Ma. Aku kira hari ini selasa. Makanya aku tanya Mama, kirain Mas Reino pulang ke rumah dulu. Maaf ya, Ma. Aku nya yang lupa hari.” Aku nggak mau Mama tau, kalau aku sudah mulai curiga. Hanya alasan itu yang terlintas di kepalaku. Sungguh sangat konyol sekali alasan itu.
“Ya ampun, Nak. Mama kira kenapa kok kamu tumbenan nanya Reino ke Mama. Apa efek kangen ya?” Terdengar suara tertawa pelan di seberang sana.
“Kayaknya seperti itu deh, Ma.” Jawabku dengan diikuti kekehan dari mulutku.
Panggilan telephone pun kami akhiri, setelah mengucapkan salam.
Aku mengetuk-ngetuk jari kemeja sambil bergumam sendiri. Apa yang sebenarnya mereka tutupi dan sembunyikan dariku? Dari cerita Erika, Pak Yanto, Mama kenapa semua berbeda, maksudku tidak menemukan sinkronasi nya, padahal di waktu yang sama. Mana yang dapat aku percaya. Aku butuh orang untuk membantuku, tidak mungkin aku menyelidiki sendiri dengan kondisi kehamilanku yang masih muda ini.
***
Tet ……… Tet
Aku menekan bel pintu. Tak menunggu lama keluarlah laki-laki yang sangat aku sayangi sedang menggosok rambut basahnya dengan menggunakan handuk.
“Masuk”
“Makasih, Bang.” Aku langsung menuju ke dapur mengambil piring dan memindahkan makanan yang tadi aku bawa, kemudian membawanya ke meja depan Tv. Abang keluar dari kamarnya dengan penampilan yang lebih rapi meskipun menggunakan pakaian santai.
“Mantab, Dek. Ini martabak biasanya kan?” Dengan santainya Abang mengambil satu potong lalu memasukkan ke mulutnya.
“Kenapa?” Dengan mulut masih penuh makanan, Abang memperhatikanku dengan lekat.
Aku tidak menjawab apapun, namun airmataku tiba-tiba menggenang lalu menetes ke pipi. Abang dengan buru-buru menelan makanan di mulutnya, lalu membersihkan bekasnya dengan tisu. Kemudian memelukku dengan erat. Tanpa bisa di tahan airmata pun mengalir dengan cepat dengan bahu bergetar. Abang mengelus punggungku dengan sabar. Setelah aku merasa sedikit lega dan tangis pun sudah berhenti, aku melepaskan pelukan Abang. Abang mengambil tisu lalu mengelap sisa airmata di pipiku. Setelah di rasa cukup tenang, akhirnya Abang bersuara.
“Ada apa? Jangan seperti ini, Dek. Kamu itu tanggung jawab Abang. Kamu boleh cerita apapun ke Abang.”
“Capek, Bang. Rasanya aku mau nyerah saja.”
“Kamu capek ngurus kafe, Dek? Kenapa sampai nangis gini? Kamu kan tinggal bilang aja, Dek. Gawat kalau Bunda sampai tau, bisa di presto abang, Dek.”
“Ya ampun, Bang. Bisa-bisanya Abang punya pikiran kayak gitu.” Aku mengerucutkan bibir, seperti anak kecil yang tidak kebagian permen.
“Lah terus capek kenapa? Ambigu deh ucapan kamu, Dek.”
Ah… aku jadi ragu begini mau cerita ke Abang, yang awalnya suasana mellow sekarang berubah menjadi canggung.
“Bang.” Aku bersuara Kembali setelah menarik nafas berulang-ulang. Abang pun sudah selesai memakan martabak yang ada di tangannya.
“Cerita aja, Dek. Kalau sekiranya abang bisa bantu, pasti abang akan bantu semampu abang. Jangan kamu pendam sendiri. Abang liat bobot tubuh kamu sepertinya turun.”
Aku menarik nafas dan menhembuskan perlahan. Akhirnya aku menceritakan tentag kecurigaanku tentang Mas Reino kepada Abang. Dan meminta saran bagaimana aku harus bertindak.
“Apa Abang ada orang yang bisa mengintai gitu? Aku pingin tau semua sebelum mengambil tindakan, Bang.”
“Kenapa baru cerita sekarang sih, Dek!! Apa Abang sudah nggak kamu anggap? Bagaimana kalau sampai Bunda tau, Dek?” Abang meraup mukanya kemudian mengacak-acak rambutnya untuk menyakurkan kekesalannya.
“Maaf, Bang.” Airmata yang tadi sudah mengering kini menetes Kembali ke pipi. Dengan gerak cepat Abang langsung memeluk dengan erat tubuhku. Sambil merapal kata maaf berulang kali.
“Maaf, Dek. Abang nggak bermaksud marah sama kamu. Maaf …. Maaf, Dek.” Kemudian membuka rengkuhan tangannya dan menatap dengan perasaan bersalahnya.
“Sekarang apa rencana kamu? Abang akan bantu, atau kalau perlu abang sendiri yang akan turun tangan.”
Aku menjelaskan tentang rencanaku semuanya, dan abang akan meminta bantuan temannya untuk mengintai. Untuk sekarang itu yang aku butuhkan. Setelah pembicaraan kami selesai, aku pamit pulang. Awalnya Abang mau mengantarku, namun aku tolak. Aku ke sini menggunakan mobil, dan juga menghindari kecurigaan Mas Reino.
***
Aku sangat bersyukur belakangan ini kehamilanku tidak rewel, meskipun masih sedikit mual, namun dengan cepat bisa diatasi, biarpun untuk urusan makanan sangat pemilih.
Untuk urusan pengintaian, orang suruhan abang sudah bergerak. Sejauh ini laporannya belum menunjukan perubahan Mas Reino yang signifikan, artinya pergerakan Mas Reino masih di batas normal. Aku masih terus memintanya untuk mengikuti Mas Reino.
Sikap ku ke Mas Reino pun aku buat senormal mungkin, aku tetap melayani kebutuhannya. Begitupun sikap Mas Reino kepadaku tidak ada yang berubah.
Hari ini jadwal untuk memeriksa kandunganku. Sampai detik ini tidak ada satupun yang aku beri tau tentang kehamilanku. Sengaja aku tidak ke rumah sakit tempat Adelia koas. Sesampainya di rumah sakit, aku langsung menuju ke poli Obgyn, tinggal menunggu namaku di panggil, karena sudah mendaftar sebelumnya.
Tring …. Tring
Bunyi notifikasi di ponsel secara beruntun. Muncul nama Erika di layar ponselku. Erika mengirimi pesan gambar sebanyak lima pesan bergambar. Gegas kubuka pesannya. Astaga, ini foto …………..
~~*~~