Bab 16
“Maksudnya?”
“Bukannya letak ruang kerja Papa ada di bawah ya, Ma? Terus kenapa Papa larang aku buat siapin baju Mas Reino?” keluar juga pertanyaan dari mulutku. Aku memperhatian gestur Mama, seperti sedang mencari jawaban atas pertanyaanku dengan muka gelisah.
“Em… Em…Mungkin Papa mau ambil barang di lantai atas, Nak. Papa kasian lihat kamu naik turun tangga, Nak. Jadi papa minta kamu bantu mama saja di sini. Apa kamu keberatan bantu Mama, Nak?” Aku langsung mengangkat tanganku menggerakan telapak tangan ke kanan ke kiri.
“Nggak, Mam. Aku seneng malahan bisa bantu Mama. Mana ada keberatan, Mam.” Mama tersenyum lebut dan membelai tanganku.
“Mama bercanda, Sayang.”
Aku menemani Mama duduk di sofa melihat acara di TV, entah acara apa itu, aku tidak focus ke layar datar tersebut, namun pikiranku memikirkan Mas Reino, apakah dia kambuh lagi penyakit lamanya. Aku akan tetap merahasiakan kehamilan ini sampai pertanyaan dalam kepalaku menemukan jawabannya. Aku merasa Mama dan Papa menyembunyikan sesuatu tentang Mas Reino.
Aku melihat Mas Reino dan Papa berjalan ke ruang kerja Papa tanpa bersuara sama sekali. Aku memandangi punggung mereka hingga menghilang di balik pintu.
“Sayang, kamu nginap di sini aja ya. Kayaknya Reino ada kerjaan sama papa kamu deh.”
“Tapi, Mas Reino nggak bilang mau nginap, Mam.”
“Nggak apa-apa, Nak. Nginap disini aja, nanti mama yang bilang ke Reino. Sudah tenang saja, pasti Reino mau kok. Sebentar Mama ke ruangan kerja Papa dulu ya, buat pastiin.” Kemudian mama berdiri berjalan melangkah keruangan kerja Papa, tak lama terdengar benda jatuh dari ruangan tersebut. Suara ap aitu? Lirihku dengan mengarahkan mata ke ruang kerja tersebut. Tidak berselang lama, Mama menghampiriku.
“Kamu tidur aja dulu, Sayang. Mama sudah bilang ke Reino, dia setuju menginap disini, toh kerjaan sepertinya lagi banyak kerjaan yang harus mereka selesaikan. Kamu kalau mau ke kamar, duluan aja nggak apa-apa. Nanti Reino susulin.”
“Baiklah, Mam. Aku ke kamar dulu ya. Mama juga istirahat ya.” Ucapku, kemudian kakiku melangkah ke tangga menuju kamar Mas Reino. Sebenarnya apa yang sekarang sedang mereka tutupi dariku. Pertanyaan itu terus berputar di otak.
Aku menutup pintu kamar, kemudian berjalan ke kamar mandi, melakukan rutinitas sebelum tidur. Aku membuka hand bag, mengambil kotak obat obat dan sebungkus s**u. Aku sengaja menyamarkan vitamin tanpa kemasan luarnya dan juga s**u ibu hamil aku kemas dalam plastic kedap. Aku tidak ingin orang-orang tau tentang kehamilanku terlebih dahulu. Kebetulan di kamar Mas Reino tersedia dispenser, jadi aku tidak perlu ke dapur hanya untuk menyeduh s**u. Setelah selesai semua, aku mencuci gelas bekas s**u yang tadi aku minum di wastafel kamar mandi.
Aku berbaring di Kasur, aku mengelus perut yang masih rata, namun sudah ada makhluk yang hidup di dalamnya. Makasih ya, Sayang. Kamu hebat, kamu pintar, sehat-sehat terus di perut mama ya sampai kita nanti akan berjumpa secara langsung. Hingga aku terlelap di kamar ini.
Sinar matahari menyusup menghangatkan ruangan berwarna abu-abu muda, aku menggeliat melenturkan otot-otot. Tidurku nyenyak sekali tadi malam. Aku menengok ke arah samping Kasur yang aku tidurin, kosong dan terlihat masih rapi, sepertinya Mas Reino tidak ke kamar semalam. Terus dia tidur dimana? Tiba-tiba perutku bergejolak seperti di aduk-aduk tak karuan. Dengan Langkah terburu-buru aku membuka pintu kamar mandi, membungkuk di atas kloset, mengeluarkan seluruh isi perut, rasanya sungguh perih di tenggorakanku. Aku terduduk di lantai, menyeka airmata yang keluar saat aku muntah tadi. Setelah merasa ada tenaga, aku berdiri menuju wastafel untuk membersihkan mulut. Setelah itu aku mandi, kemudian bersiap untuk ke Kafe.
Aku mengelus perutku, ‘anak mama lagi manja yah. Jangan sering- sering ya, Sayang. Sekarang kita turun untuk sarapan ya. Bantu mama ya, sayang’. Ucapku sambil mengelus perut.
Sesampai di bawah aku melihat Mama dan Papa sudah ada di meja makan, namun aku tidak melihat keberadaan Mas Reino.
“Pagi, Ma, Pa.”
“Pagi, Nak. Duduk sini.” Ucap mama dengan menunjuk kursi di sampingnya.
“Mas Reino mana, Ma?” Tanyaku ke mama namun mama malah mengalihkan pandangan ke papa.
“Reino ada kerjaan di luar kota, Nak. Ada kerjaan mendadak yang mengharuskan Reino tangani sendiri. Tadi mau pamitan ke kamu, tapi kamu masih tidur, katanya nggak enak kalau ganggu tidur kamu. Makanya dia titip pesan ke Mama untuk menyampaikannya.” Papa menjawab pertanyaanku, kemudian Papa melanjutkan ucapannya dengan mengarahkan pandangan ke Mama.
“Benar kan, Ma?”
“Iya, Nak. Tadi pagi Reino titip pesan ke Mama. Nanti juga bakalan telpon kamu. Maaf ya, Mama lupa bilang ke kamu.” Entah kenapa, aku melihat ketidak jujuran dari ucapan mama, namun aku juga tak membantah ucapan mama. Suasana ruang makan pagi ini berasa ada kecanggungan. Aku menikmati makanan yang di sajikan saat ini, walaupun perut sudah mulai sedikit mual, aku mengarahkan tangan ke bagian perut, lalu mengelusnya.’Tahan ya, Nak. Manja-manjanya nanti ya kalau sudah nggak ada orang.’ Ucapku dengan janin dalam perut, tentu saja aku ucapkan hanya dalam bathin saja. Setelah sarapan selesai, aku pamit untuk ke Kafe di antar oleh sopir Mama.
Ketika mobil sudah di luar gerbang, aku baru teringat kalau ponsel ku tertinggal di kamar Mas Reino, aku meminta Pak Yanto untuk memutar Kembali ke rumah. Sebenarnya bisa saja mobil tunggu di depan gerbang, mengingat aku sedang hamil, jadi aku tidak mau mengambil resiko. Jarak antara gerbang dan pintu utama bagiku untuk saat ini itu adalah road race. Samar-samar terdengar obrolan Papa dan Mama saat aku sudah berada di ruang tamu.
“Kita harus gimana, Pa?”
“Tenang, Ma. Kita jangan panik. Dia hanya beberapa hari saja disana. Papa berharap cara ini ampuh untuk mengobatinya.”
“Kita harus beri alasan apa? Mama nggak tega, Pa?”
“Mbak Jasmine.” Suara Mbok Dar mengagetkanku saat aku focus mendengarkan obrolan mertuaku itu. Suara itu juga menghentikan obrolan Mama dan Papa.
“Jasmine, nggak jadi ke Kafe?” Suara Papa membuatku gugup.
“Em….. Em…. Itu….Itu…..”
~~*~~