12

914 Kata
Bab 12 Back to Jasmine Entah sudah berapa kali aku menghubungi Mas Reino, namun tetap sama dengan layar ponsel menggelap sendiri yang artinya panggilan ku tidak mendapat jawaban. Tiba-tiba perutku bergejolak seperti di aduk-aduk, aku langsung berjalan cepat ke arah kamar mandi yang berada di dekat ruang makan. Aku buka penutup kloset, keluarlah semua isi perutku sampai lemas badanku tak mampu berdiri. Aku masih jongkok di depan kloset karena rasa mual belum juga hilang. Aku masih muntah-muntah hingga hanya cairan kuning yang keluar dari mulut, tenggorakan rasanya sangat perih,mulut terasa pahit, airmata pun ikut luruh tanpa di komando. “Ibu kenapa? Ya ampun, kenapa Ibu pucat sekali?” Suara Bi Narti terdengar di runguku, namun aku hanya diam saja tanpa menyahut, rasanya mulut sudah tak mampu mengeluarkan suara begitu tak bertenaganya badanku saat ini. Beruntung tadi aku tidak menutup rapat pintu kamar mandi, jadi Bi Narti bisa mengetahui kondisiku. “Bantu saya ke kamar, Bi.” Ucapku dengan suara lirih nyaris tak terdengar. Dengan sigap Bi Narti membantuku bangun. Dengan pelan dan hati-hati Bi Narti menuntunku ke kamar utama kemudian membantu merebahkan badanku. “Saya buatkan air jahe ya, Bu. Buat menghangatkan perut.” Aku menganggukan kepala, Bi Narti kemudian keluar dari kamar. Tak lama Bi Narti sudah Kembali dengan membawa cangkir yang masih terlihat uap panasnya. “Di minum dulu, Bu.” Dengan cekatan Bi Narti membantu untuk duduk, kemudian menyuapi dengan sendok. Setelah beberapa sendok air jahe masuk di perut, mual sudah mulai berkurang. “Ibu, mau dipanggil kan dokter?” dengan gurat wajah cemasnya Bi Narti membantu merebahkanku Kembali. “Nggak usah, Bi. Saya mau tidur aja dulu. Besok kalau belum membaik baru ke dokter. Bibi istirahat aja, ini udah enakan kok, Bi. Makasih ya, Bi.” “Kalau begitu, Bibi turun dulu ya, Bu. Pintu nggak saya tutup rapat. Kalau Ibu manggil Bibi biar kedengeran.” Aku menganggukkan kepala kemudian ku pejamkan mata untuk mengurangi pusing di kepala. Sekitar jam 2 dini hari aku terbangung karena ingin ke kamar mandi. Perutku terasa lapar karena memang belum makan malam ditambah muntah-muntah tadi. Sebelum keluar kamar tatapanku mengarah ke sisi Kasur tempatku tidur tadi, ternyata kosong dan terlihat masih rapi, sepertinya Mas Reino belum pulang. Kuhembuskan nafas panjang kemudian berlalu menuju pintu. Alangkah kagetnya aku melihat Bi Narti ternyata tidur di sofa yang ada di dekat kamar. Kemungkinan Bi Narti takut kalau aku membutuhkannya dan Bi Narti tak mendengar panggilanku. Aku Kembali ke kamar untuk mengambil selimut. Aku tak tega untuk membangunkannya, aku tutup Sebagian badannya dengan selimut yang aku ambil dari kamar tadi, kemudian aku lanjutkan langkahku ke dapur. Sepertinya makan mie instan ditambah telur dan cabe enak. Langsung saja aku memasak mie instan tak menunggu lama semua sudah aku tuang di mangkok. Rasanya sungguh nikmat sekali. Setelah semua isi mangkok pindah ke perutku, aku merapikan peralatan bekas makanku. Pandanganku terarah ke kamar tamu. ‘Apa mungkin Mas Reino tidur disana?’ Aku bermonolog. Dengan Langkah pelan aku membuka kamar, namun tak ku temukan siapapun. ‘Atau ada di ruang kerjanya ya?’ Aku masuk ke ruang kerja Mas Reino, ruangan ini pun kosong. Ada rasa keingintahuan ku apa saja yang di kerjakan Mas Reino. Aku mendekat ke arah meja kerjanya. Aku mengamati apapun yang ada di meja, hingga pandanganku tertuju pada laci meja yang masing menggantung kuncinya. Dengan rasa penasaran aku membuka laci tersebut. Entah mengapa aku membuka box hitam yang ada di laci tersebut, aku Kembali menemukan bubuk putih terbungkus plastik seperti yang waktu itu aku temukan di kantong celana Mas Reino. Namun ini jumlahnya lebih banyak, ada sekitar 10 bungkus plastic kecil. Benda apakah ini? Pertanyaan dalam kepalaku. Aku letakkan Kembali box hitam itu ketempat asalnya. Saat aku akan menutup laci, aku melihat map berwarna putih, Kembali jiwa penasaranku timbul. Akhirnya aku ambil map tersebut. Terdapat kwitansi p********n apartemen sebesar dua miliar. Untuk apa Mas Reino membeli apartemen. Melihat harganya, pasti bukan apartemen dengan kelas standart. Aku baru ingat kalau aku juga punya unit di gedung apartemen ini. Nanti aku coba untuk mencari tau untuk apa Mas Reino membeli apartemen tersebut. Apa mungkin sekarang Mas Reino ada di apartemen? *** Bangun tidur aku merasa badanku sudah sehat Kembali. Dengan semangat aku bersiap menuju ke Kafe. “Ibu, sudah enakan badannya? Maaf semalam saya tertidur di sofa atas ya, Bu.” Bi Narti kaget melihatku sudah rapi. “Sudah enakan, Bi. Nggak apa-apa, Bi. Pasti Bibi Lelah banget kemaren. Oiyah, Bi. Mas Reino ada atau nggak?” “Sepertinya Bapak tidak pulang, Bu.” Aku menganggukan kepala. Setelah selesai sarapan aku melajukan mobil ku menuju kafe. Jalanan begitu padat, begitu banyak kendaraan berebut jalan untuk menuju tempat kerja. Siang hari ini pekerjaan di Kafe tidak terlalu sibuk, aku merebahkan badan di sofa yang ada di ruanganku. Terdengar bunyi notifikasi di ponselku. Dengan enggan aku mengambil ponsel yang aku letakkan di meja. Erika? Tumben sekali dia kirim pesan, biasa juga langsung telepon. Aku membuka aplikasi perpesanan berwarna hijau. Kirim foto apa nih si Erika? Belum sempat aku men download file nya, Erika sudah menghubungiku. “Minnie…..” suara cempreng Erika terdengar di telingaku, reflek aku menjauhkan ponsel dari telinga. Gila ni orang, bukannya ngucapin salam malah bikin kupingku b***k. “Suaranya tolong di control, Nona. Gendang telinga saya langsung berdenging mendengar suara anda.” Ucapku dengan nada menyindir. “Sorry……. Sorry …. Minnie ku sayang. Loe udah buka pesan gue kan? Loe sekarang tingal di apartemen ya? Gue lihat laki loe tadi pagi.” “Hah….? Maksud loe gimana? “ ~~*~~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN