9

1355 Kata
“Mas, sejak kapan ada di sini?” “Kamu terlalu fokus, sayang. Sampai Mas datang aja nggak tau.” Mas Reino berjalan mendekat ke arah ku lalu mengecup bibir. “Masih banyak kerjaannya? Mau Mas bantu?” “Nggak, Mas. Udah selesai kok. Bentar ya aku rapiin dulu. Mas duduk aja dulu.” Mas Reino pun patuh, dia duduk di sofa yang ada di ruanganku, sambal memainkan ponselnya. Kurang lebih 10 menit aku merapikan pekerjaan dan membereskan meja yang agak berantakan. “Ah…… Selesai juga akhirnya.” Aku menatap Mas Reino yang masih sibuk dengan ponsel di tangannya. “Mas.” “Sudah selesai, sayang?” Aku menganggukan kepala, Mas Reino menarik tanganku dengan lembut kemudian kami keluar dengan tangan saling bertaut. “Kita langsung ke hotel aja ya, nanti beli baju ganti aja. Jadi nggak usah pulang dulu.” “Oke Bos.” Jawabku dengan tangan terangkat mengarah ke dahi seperti sikap mmemberi hormat. Mas Reino senyum-senyum mendengar jawabanku. *** “Wah ……. Pemandangan nya bagus banget disini.” Walaupun malam hari namun view dari balkon kamar sangat bagus, karena memang cuaca malam ini cerah dengan bintang dan bulan purnama yang memancarkan sinar nya dari langit. “Lihat apa, sayang?” Aku tersentak kaget Ketika ada tangan memeluk perutku dari belakang. Tercium aroma sabun yang menguar dari badannya. “View nya indah banget, Mas. Mas tau hotel ini dari mana?” “Dari Siska.” Aku merasa tak mengenal nama yang di sebutkan Mas Reino, akhirnya aku membalikkan badan ke arah Mas Reino. Kami sekarang sedang berhadap-hadapan. “Siska??” Aku mengulang nama yang disebutkannya tadi. “Sekretaris di kantor, Sayang. Kan kamu udah pernah ketemu kan?” “Ohh ……. Namanya Siska. Oh ya Mas, Siska dekat dengan Mama ya?” “Maksudnya??” “Waktu acara anniversary Mama, aku liat Siska akrab gitu sama Mama. Bukan seperti karyawan lain nya, akrabnya tuh kayak udah kenal lama gitu loh, Mas.” “Siska itu anak dari temam Mama, Sayang. Meskipun bukan teman dekat kata Mama.” Jawab Mas Reino dengan tangannya yang mulai tidak terkontrol megelus titik-titik sensitive ku. “Mas……” Ucapku mencoba menghentikan Gerakan tangannya, karena aku mulai merasa kegelian. “Ya, Sayang. Mas kangen.” Tanpa ada aba-aba, Mas Reino mendaratkan bibirnya ke bibirku. Dengan Gerakan lembut bibirnya terus menyesap, aku membalas ciuman nya. Mas Reino menghentikan ciuman kami, saat merasa pasokan oksigen kami berkurang, namun tetap dalam posisi berpelukan. “Kita selesaikan di kamar, Sayang.” Mas Reino langsung mengangkat tubuhku ala bridal style, meletakan di atas Kasur secara perlahan seolah takut merusaknya. Dengan senyum tersungging di bibir, aku menyambut semua yang Mas Reino lakukan. Hanya terdengar suara kecupan dan desahan yang terdengar d rungu dalam ruang sebesar ini, hingga suara desahan penjang mengakhiri sesi penyatuan cinta kami. “I love you, sayang.” Mas Reino mengecup keningku, kemudian kami terbang ke alam mimpi dengan senyum tak lepas dari bibir. *** “Besok saja saya ambil barangnya. Nanti uangnya saya transfer. Kamu bawa lebih banyak dari yang kemaren. Oke.” Terdengar suara Mas Reino di ruang kerjanya, saat aku akan masuk ke ruangan itu. “Mas……………..” Nampak wajah kaget dari Mas Reino Ketika mendengar suaraku, namun hanya sebentar dia Kembali menormalkan kekagetannya. “Iya, sayang.” “Masih banyak kah kerjaannya? Ayo kita makan dulu.” Ini sudah satu bulan lebih dari kita stay cation terakir, hubungan kami semakin hangat dan nyaman. Mas Reino benar-benar berubah menjadi lebih baik dan selalu mengutamakan keluarga, dalam hal ini adalah dia lebih mengutamakan aku. “Sudah selesai kok, ayo kita makan.” Kami berjalan beriringan menuju meja makan. Bi Narti dengan sigap menyiapkan semuanya. Suasana makan kami di isi dengan obrolan ringan dan canda tawa kami. Aku membayangkan bagaimana kalau ada sosok anak di antara kami. Pasti rumah ini akan semakin ramai dengan suara anak kami nanti. Baru membayangkan saja, aku sudah senyum-senyum sendiri. “Sayang, kenapa senyum-senyum begitu?” “Iya kah, Mas??” “Lagi mikirin atau bayangin apa? Hemmm?” Dengan lembut terdengar di runguku suara Mas Reino, sambal mengelus punggung tanganku. “Lagi ngebayangin keseruan kalau ada sosok anak di rumah ini. Pasti…….” Aku tak melanjutkan ucapanku, tiba-tiba saja bayangan Ketika aku keguguran terlintas begitu saja di depan mataku. Dimana aku merakan kesakitan seorang diri saat itu dan penyebab keguguran itu sendiri. “Semoga ya, Sayang. Kita segera diberi momongan yang akan meramaikan rumah tangga kita.” “Amin.” Aku meng-aminkan ucapan Mas Reino dan menampilkan seutas senyum di bibir. *** Sudah tiga hari Mas Reino pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Aku seperti biasa, pergi ke Kafe dan sesekali ke Restoran, selain untuk bertemu dengan Bunda, juga untuk berguru dengan Bunda tentang pengelolaan Kafe. Entah kenapa hari ini aku merasa badanku lemas seperti hilang tenaga dan kepala pusing. Ah… mungkin masuk angin seperti biasa. Aku mengabaikan rasa yang aku rasa, aku tetap mengerjakan urusan di Kafe. Hari berganti hari, aku masih merasakan pusing dan lemas, dan akhir-akhir ini muntah-muntah di pagi hari, dan akan mual saat mencium bau yang sedikit menyengat. Ketika aku membuka rak vanities yang ada di kamar mandi, aku melihat stok pembalut masih utuh, aku teringat kalau sudah tidak mengalami menstruasi hampir dua bulan. Dalam perjalanan menuju Kafe, aku mampir ke sebuah apotek untuk membeli alat tes kehamilan. Apakah mungkin aku sedang hamil saat ini? Degup jantungku mulai meningkat. Rasa khawatir mulai menggelayut di hati. Kenangan-kenangan saat keguguran mulai merajai pikiran. Aku menarik nafas dalam-dalam kemudian kuhembuskan, aku mengulangnya ber kali-kali hingga aku merasa sedikit tenang. Semoga ketakutanku tidak akan terjadi. Aku meng-sugesti diri berulang-ulang. Aku melajukan mobil kembali menuju Kafe. *** “Mbak Jasmine.” “Iya, Ta. Kenapa?” Salah satu karyawanku memanggilku, saat aku sampai di Kafe. “Nanti malam ada yang booking untuk acara kantor, Mbak.” “Wah…Bagus dong, Ta. Tapi kenapa kamu kelihatan bingung gitu?” “Hari ini ada tiga orang yang libur, Mbak. Bukan hanya itu, ada beberapa bahan yang sepertinya bakalan kurang, Mbak. Ini catatan bahan-bahan dari Cheff Niko, Mbak.” Aku menerima kertas catatan dari Nata dan membacanya. “Bukannya ini bahan dari Ansa ya, Ta? Ada masalah lagi kah?” “Iya, Mbak. Sebagian barang dari Ansa. Jadwalnya dua hari lagi baru barang di kirim, Mbak. Cheff bilang barang itu akan di butuhin hari ini, Mbak. Tadi pihak yang booking sudah sekalian menyebutkan pesanannya, Mbak.” “Oke. Kamu tolong panggil Cheff Niko untuk kesini ya.” “Baik, Mbak. Kalau begitu saya permisi.” Tak lama setelah Nata keluar, terdengar suara ketukan pintu. Aku mempersilahkan Cheff Niko masuk. Kemudian dia menjelaskan semuanya tentang kondisi dapur yag menjadi ranah tanggung jawabnya. Biasanya evaluasi akan aku lakukan di hari selasa, namun kali ini kondisi berbeda. Aku menganggukan kepala Ketika Cheff Niko menjelaskan semua, tak lupa aku meminta saran-saran nya juga. Mau bagaimanapun cheff Niko lebih tau kondisi dapur secara real nya. Aku menghubungi Bang Adnan meminta saran untuk masalah Kafe. Dengan rinci Bang Adnan memberikan masukannya, aku juga menghubungi Bunda. Dua orang kesayanganku itu lebih berpengalaman, jadi aku sangat terbantu. Kondisi Kafe sangat ramai hari ini,meskipun bukan week and. Aku sangat bersyukur dengan kondisi ini, sampai-sampai aku melupakan kegalauan ku tentang kehamilan. *** Dengan Langkah gontai aku memasuki rumah dan langsung merebahkan diri di sofa depan layar televsi. Bi Narti menghampiriku. “Ibu sudah sampai. Mau dibuatkan minum apa?” “Nggak usah, Bi. Mas Reino belum pulang ya, Bi?” Aku mendudukan badan karena tak mendengar jawaban dari Bi Narti. Aku melihat ke mata Bi Narti, terlihat ke ragu-raguan untuk berbicara. “Bi..” “I..Iya, Bu.” “Mas Reino udah pulang?” Aku mengulang pertanyaanku lagi. “Tadi sudah pulang, Bu. Tapi ……” Kembali keraguan aku lihat dari Bi Narti. “Tapia pa, Bi? Jangan bicara nanggung gitu dong, Bi.” “Eh.. anu .. itu, Bu. Bapak pergi lagi. Tapi sama seorang perempuan.” “Perempuan??” Aku membeo mendengarnya. Siapa perempuan yang Bersama Mas Reino?? Aku mencoba menghubungi ponsel Mas Reino, namun tak di jawabnya hingga layar ponsel Kembali menghitam. Kenapa nggak diangkat, Mas?? Pikiran buruk mulai berkeliaran di kepalaku. ~~*~~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN