Bab 18
Saat aku akan membaringkan badan, ponsel yang berada di nakas berkedip, notifikasi adanya pesan masuk.
Sayang, aku ada pekerjaan mendadak ke luar kota. Tadi pagi belum sempat berpamitan dengan kamu. Maaf ya..
Aku mengernyitkan dahi mebaca pesan singkat dari Mas Reno. Sungguh ini bukan gaya Mas Reino. Oke, aku ikuti alur cerita kamu atau mungkin kalian. Untuk menghindari kecurigaan, aku membalas pesan tersebut.
Iya, Mas. Ngak apa-apa. Hati-hati selama disana ya, Mas.
Aku tidak mengharapkan balasan Kembali. Aku letakan ponsel di nakas. Aku mengelus perut dengan pelan dan lembut. ‘Kita doakan Papa ya, Nak. Semoga Papa selalu dalam lindungan Nya dan berkumpul dengan kita. Sehat selalu di perut Mama ya, Sayang. Amin.’
Tidak butuh waktu lama, mata pun terpejam mengistirahatkan badan.
“Mama……Mama…..Pegang tanganku, Ma” Sosok anak laki-laki memanggil dengan di selingi tawa riang menghadap ke arahku. Aku hanya terdiam terpaku tidak mampu memberikan reaksi apapun.
“Mama sini, tidak usah ajak Papa. Papa jahat sama aku, Ma.” Ucap anak laki-laki yang wajahnya tidak terlihat jelas meskipun menghadap ke arahku. Entah mengapa, airmata ku dengan sendirinya menetes ke pipi tanpa bisa di tahan.
“Mama………Mama…….” Dengan tangan melambai-lambai memintaku untuk mendekat. Aku berjalan ke arahnya, saat aku akan menyentuh tangannya, anak tersebut berlari dan berubah menjadi cahaya. Seketika aku langsung terbangun dengan nafas terengah-engah dan pipi yang basah dengan airmata.
Mimpi ini datang lagi. Ku teguk air dalam gelas yang ada di nakas hingga tersisa setengahnya. Aku mencoba menstabilkan nafas, jam di dinding menunjukan angka tiga di jarum pendeknya, setelah aku merasa tenang, aku berjalan ke kamar mandi. Aku putuskan untuk sekalian menunaikan sholat malam.
Dalam sujudku, aku memanjatkan doa-doa untuk Kesehatan kami, keharmonisan rumah tagga dan masih banyak doa-doa yang aku panjatkan kepada sang pencipta.
***
Siang ini aku akan ke apartemen Serayu untuk memeriksa kondisi unit, karena masa sewanya baru saja berakhir dan penyewa tidak memperpanjang masa sewanya. Erika juga tinggal di Gedung apartemen ini, jadi nanti aku sekalian bertemu dengan nya. Setelah selesai memeriksa kondisi apartemen dan mencatat bagian-bagian yang butuh perbaikan dan kemungkinan akan melakukan pengecatan dinding ulang, agar penyewa berikutnya merasa nyaman menempati apartemen ini, aku menuju Kafe yang ada di lantai bawah, sekalian menunggu Erika pulang kantor. Aku sudah mengabari kalau sudah ada di apartemen Serayu, dan Erika satu jam lagi akan pulang.
Saat aku duduk menghadap ke jendela kaca yang cukup besar, aku melihat sosok yang mirip dengan Mas Reino menggandeng Wanita dengan pakaian formal namun cukup sexi karena lekuk tubuhnya sangat tercetak jelas.
Ini sudah hari ke lima Mas Reino keluar kota, katanya besok akan pulang. Aku tetap mengawasi bahkan lebih lekat untuk memastikannya. Saat sosok itu menghadap ke samping, benar sosok itu adalah Mas Reino. Aku sangat yakin, tapi kenapa dia tidak pulang ke rumah? Kenapa malah ke apartemen ini? Bukannya dia bilang kalau besok baru pulang.
Aku memotretnya untuk meyakinkan Kembali. Aku mengamati hasil jepretan di ponsel. Akhirnya aku mencoba menghubungi ponsel Mas Reino. Aku melihat Mas Reino mengeluarkan ponselnya dari kantong celana, kemudian memasukan Kembali ponselnya. Layar di ponselku pun menggelap. Kenapa tidak diangkat pangilan ku, Mas?
Mas Reino berjalan beriringan dengan perempuan di sebelahnya menaiki mobil membuka pintu penumpang di belakang. Aku memotret semua itu. Ku hembuskan nafas, lalu mengangkat cangkir di depanku. Terdengar notifikasi dari ponsel yang aku letakan di meja.
Mas lagi meeting. Nanti Mas telpon balik.
Aku hanya membaca melalui pop up yang muncul, tanpa ada niatan membuka dan membaca secara langsung. Ponsel aku letakan Kembali ke meja, ku hembuskan nafas Lelah. Aku sudah berusaha yang terbaik untuk rumah tanggaku, bahkan aku menutu mata dan telingaku tentang kamu di luaran sana, Mas. Namun sekarang aku melihat sendiri tentang apa yang orang-orang bilang tentang kamu. Untuk sekarang aku akan focus dengan kehamilanku saja, aku tidak mau stress dan berujung tidak baik pada janin.
***
“Mine, loe sakit? Muka loe pucet banget!” Baru juga duduk, suara Erika mulai menginterupsi. Kami sudah berada di apartemen Erika, Erika datang lebih cepat, sekitar empat puluh menit dari waktu yang dia bilang satu jam.
“Masuk angin kayaknya, Er. Tapi tadi di kafe gue dah mminum obat kok.”
“Mau gue antar ke dokter?
“Nggak perlu, buat tiduran juga bakal sembuh sendiri.”
“Gimana apartemen loe? Udah ada yang sewa lagi?”
“Baru juga kosong seminggu, Er. Gue mau perbaikan dulu, biar nanti penyewa baru tambah betah. Biar uang jajan gue ikut nambah.” Ucapku dengan menaik turunkan alis menggoda Erika.
“Bisa aja loe…..ha..ha…haa”
Kami sedang duduk santai di sofa dengan layar Tv menampilkan film What a Girl Wants film lawas yang berkisah tentang pencarian jati diri dan manisnya cinta pertama. Entah kenapa film ini yang di pilih Erika dari sekian ribu judul film yang ada. Dengan di temani sekotak pizza dan beberapa makanan lainnya, kami masih asyik menikmati film dengan sesekali diselingi obrolan ringan. Setelah seratus menit akhirnya film berakhir, Erika menekan tombol off pada remot TV.
“Er, gue nginep disini ya? Mager banget mau pulang.”
“Gue sih oke..oke aja. Tapi gimana laki loe? Loe udah ijin?”
“Ntar gue WA Mas Reino. Pasti di ijinin lah, orang dia juga lagi di luar kota.”
“Luar kota? Dari kapan?”
“Lima hari, hari ini. Bilangnya besok baru pulang.”
“Serius loe?” aku menganggukan kepala. Erika memicingkan mata melihat jawabanku.
“Kenapa?”
“Serius laki loe ke luar kota? Loe yakin?”
“Iya yakin. Mertua gue juga tau kok, soalnya berangkatnya pas kita lagi nginep di rumah mertua gue. Memang kenapa?” aku melihat Erika menarik nafas kemudian menghembuskannya dengan kuat.
“Rumah tangga loe baik-baik aja kan, Mine?”
“Baik-baik aja. Kenapa sih? Kayak nggak percaya gitu.”
“Loe udah Wa belum ke laki loe? Kalau nggak telpon aja kenapa. Biar cepet.” Apa Erika tau sesuatu tentang Mas Reino ya. Dari tadi aku tanya ‘kenapa’tapi nggak di jawab-jawab sama dia.
“Gue Wa ajalah, Er.”
“Telpon aja, Mine. Ini dah malem.” Aku masih kekeh untuk mengirim pesan aja tanpa harus menghubungi ponselnya. Setelah menunggu sekitar sepuluh menit pesanku belum di balas Mas Reino. Akhirnya aku menghubungi nomor ponsel Mas Reino, setelah di desak oleh Erika. Tiga kali aku menghubungi, namun tidak mendapatkan reaksi dari seberang sana hingga layar ponsel ku menghitam. Dan semua itu dilihat oleh Erika, Erika menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian mengambil ponselku dan meletakannya di meja.
“Udah nginep sini aja. Kalau laki loe marah, ntar gue yang ngomong ke dia.”
“Mine, loe baik-baik aja kan?” Erika memelukku Ketika melihat raut muka yang mulai murung.
“Mine, gue mau bilang sesuatu tentang laki loe.” Aku langsung duduk tegap menghadap ke Erika.
“Apa? Tentang apa?”
“Sebenarnya dua hari lalu, gue lihat………………….”
~~*~~