Bagian 3. Merasa Nyaman

1286 Kata
“Cahaya ...,” panggilnya ketika mendapatiku hanya terpaku. “Eh, iya,” sahutku tersadar dari lamunan. Kemudian berdiri dan mengambil posisi sebagai makmum di belakangnya. Ekor mataku menangkap dia tersenyum sambil menggelengkan kepala. Duh, malunya aku. Selanjutnya dia kembali mengimami sholatku dengan khusyuk. Setelah dua rakaat ditunaikan, dia berbalik kemudian mengangkat tangannya di atas ubun-ubunku. Terdengar ia merapalkan doa-doa kebaikan pernikahan, kemudian melabuhkan ciuman di keningku. Ada suatu desiran halus merambat di hati. Terasa begitu sejuk dan menenangkan. Baru pertama kali seorang lelaki mengecup keningku. “Tidurlah, kamu pasti lelah,” ucapnya pelan. Sorot matanya teduh membingkai wajahku. Aku mengernyitkan dahi. “Tidur?” tanyaku spontan. “Kenapa? Kamu menginginkannya malam ini?” tanyanya sambil tertawa menggoda. Aaahhh, mulut, kenapa pakai bertanya dengan nada heran plus terkejut begitu? Wajahku memanas malu. Barangkali sudah ada rona merah mewarnai pipi. 'Bukan masalah ingin, tetapi menyangkut hak dan kewajiban.' Ingin kusampaikan demikian. Akan tetapi, aku bisa hanya menunduk. Jujur saja jika ditanya ingin atau tidak, untuk saat ini aku belum menginginkannya. Aku belum siap. “Tidurlah. Semua bukan sekedar perkara hak dan kewajiban. Tapi tentang hati,” ucapnya seolah mendengar kata hatiku. Tangannya terangkat mengusak kepalaku lembut. Kembali ada suatu getaran halus merambat di hatiku diperlakukan demikian lembut olehnya. Amat terasa bahwa aku sangat disayang olehnya. “Aku tidak akan memaksamu. Semua akan terjadi hanya jika kita berdua menginginkannya dan dilandasi dengan cinta. Beritahu aku kalau kamu siap untuk itu,” lanjutnya. Aku hanya mengangguk. Dia begitu tulus. Aku semakin takut untuk menyakitinya. Ya Robbi, hadirkanlah segera cinta di hati ini untuknya. *** Samar-samar aku merasakan usapan hangat pada pucuk kepala. Lalu beberapa kali kecupan lembut hinggap pada dahi. Sesuatu yang membuatku merasa sangat nyaman sehingga memutuskan untuk kembali melanjutkan tidur. Aku mengencangkan tarikan selimut. "Bangun, Ay. Sudah mau subuh. Kenapa ditarik lagi selimutnya?" Satu suara yang tidak lagi asing terdengar lembut menyapu telinga. Sesaat aku memilih abai pada ucapannya, lebih menikmati rasa nyaman yang baru saja hadir. Akan tetapi, tiba-tiba alam sadar membawaku mengingat sang pemilik suara. Aku terlonjak. "Zain!" pekikku. Aku terlonjak, buru-buru merapikan rupa diri yang terasa sangat berantakan, meluruskan rambut dengan tangan seadanya, lalu mengusap muka. Aku merasakan ada yang basah dan terasa lengket pada kedua ujung bibir. Pelan dan perlahan, berusaha untuk tidak kentara, coba kuhapus dengan bertaruh segenap rasa malu. Laki-laki di depanku tertawa lucu. Ya Allah .... Ingin sembunyi di bawah kolong ranjang saja rasanya. "Bangun. Sudah mau subuh," ucapnya setelah tawanya reda. Ia membantuku membersihkan kedua ujung bibir tanpa sungkan. "Tidak apa-apa. Mau seperti apapun kamu, tetap saja cantik di mata Abang." Lalu tangannya mengusak pucuk kepalaku. Hatiku berdesir. Ucapannya begitu menyejukkan. "Mandi, gih. Abang tunggu," ucapnya kemudian. Setelah itu dia mendahului ke kamar mandi, hanya sebentar. Sepertinya untuk berwudhu. Selanjutnya ia menghampar dua sajadah, depan dan belakang. Lalu duduk pada bagian depan dengan berbekal Qur'an kecil. Tidak berapa lama ayat-ayat suci terdengar merdu mengalun dari bibirnya. Hatiku bagai ditetesi embun. *** Pagi ini dia harus tetap bekerja. Untuknya, pernikahan ini dadakan jadi tidak sempat mengajukan cuti nikah. Dia mengajar di salah satu SMP Negeri kota ini. Sebenarnya bisa saja ijin. Aku yakin pihak sekolah pasti mau mengerti. Namun, dia yang merasa tidak nyaman. Apalagi katanya ada janji quiz dengan para siswa. “Sarapan dulu, Bang,” ucapku sambil menata piring di meja makan. Dia keluar dengan tas kerja di tangan. Hari Senin, tubuhnya dibalut pakaian dinas pemda berwarna kaki. Baju itu terlihat pres dan mampu menonjolkan tubuhnya yang bidang. Kuakui, dia terlihat sangat gagah dan memesona. “Iya, Sayang,” balasnya sambil mengambil salah satu kursi. Aku menghentikan aktivitasku, menatapnya yang telah santai duduk di kursi. Binar di matanya cerah dan juga sedang menatapku. Untuk sejenak kami beradu pandang. Kedua ujung bibirnya tertarik mengukir keindahan. Lembut sekali dia memanggilku sayang, membuatku tercekat. Aliran darahku berdesir. Getarannya merambat ke seluruh penjuru sel tubuh. Cepat kualihkan kembali pandanganku pada piring yang kutata. Terus terang baru kali ini aku merasa dicintai laki-laki. Maklum aku tidak pernah punya pacar. Sejak aku remaja, orang tuaku selalu menekankan untuk tidak menjalin hubungan khusus dengan lawan jenis sebelum menikah. Dicintai laki-laki itu ternyata rasanya seperti ada manis-manisnya. Namun, efeknya seolah ada rasa hangat yang tiba-tiba menyapu pipi. Aku merasakan bahagia dan malu seolah beradu. Sedikit bergetar kuletakkan nasi goreng buatanku di piringnya. Sengaja kubuatkan nasi goreng agar hangat. Sebab menu sisa resepsi tadi malam belum dipanaskan. “Cukup?” tanyaku gugup. Aku mengeluh dalam hati mengapa harus gugup padanya. Biasanya aku santai mencomot makanan yang ada di piringnya. Bahkan jika makanan itu adalah suapan terakhir dan aku menginginkannya, tak segan aku memintanya. Lalu, tanpa protes dia akan memberikannya padaku. Namun, mengapa sekarang aku merasa gugup untuk meletakkan makanan dipiringnya? Sementara dulu untuk mengambil makanan dari piringnya aku tak pernah sungkan. “Cukup, sayang. Terima kasih,” jawabnya sambil mengambil piring dari tanganku. Kemudian mulai menyantap dengan lahap. “Enak. Kamu yang masak?” tanyanya di sela suapannya. “Huum. Cuma nasi goreng,” sahutku sambil tersenyum. Senang rasanya masakanku dibilang enak dan disantap dengan lahap. “Wah, ada kemajuan. Biasanya juga kamu hanya bisa masak mie rebus. Itu pun sampai mekar,” balasnya dengan senyum meledek, tetapi hangat. “Ish." Aku merengut kesal. Kejadian itu ketika kami masih kuliah. Dia main ke kos dan lapar sehingga minta dibuatkan mie rebus. Namun, saat itu aku keasyikan mengobrol sama teman yang sama-sama masak di dapur umum kos, sehingga mie yang merupakan stok terakhir itu terlampau masak dan mengembang. Dia kembali tertawa melihat tampang kesalku. Sungguh tidak sopan menertawakan kekesalan istri. Akan tetapi jujur, aku merasa senang. Ledekannya membuat suasana kaku mulai mencair. “Umak sama Abah, enggak sarapan?” Ia menanyakan kedua orang tuaku. “Abah kalau pagi hanya minum kopi. Kalau Umak memang enggak terbiasa makan pagi,” terangku. Dia hanya mengangguk-anggukan kepala. “Masih ada nasi gorengnya, Dek?” tanyanya ketika nasi di piringnya tersisa sedikit. Dek? Dia memanggilku, Dek? Terdengar canggung, tetapi entah kenapa aku suka juga. “Masih,” jawabku singkat, “Mau tambah?” Aku memberanikan diri menatapnya. “Bukan tambah,” sahutnya sambil memasukkan suapan-suapan terakhir sarapannya. “Biasanya Abang malas mau makan di kantin kalau pas jam istirahat,” lanjutnya. “Abang, bekal?” tanyaku ragu. Ia mengangguk. “Kenapa gak bilang dari tadi? 'Kan aku bisa menyiapkan yang lebih baik,” ucapku penuh sesal. Apa aku kurang mendalami peran seorang istri? Seharusnya 'kan aku bertanya, nanti siang makan di mana? Mau dibawakan bekal tidak? Atau tidak perlu ditanya, melainkan langsung saja disiapkan bekal sebagai tanda perhatian dari seorang istri. “Enggak apa-apa, nasi goreng ini saja sudah enak banget,” balasnya. “Sebentar.” Aku berlalu menuju dapur, menyiapkan nasi goreng dan air putih untuknya. Kemudian kembali ke meja makan. Aku memasukkan bekal itu ke dalam ransel yang menjadi tas kerjanya. “Terima kasih.” Ia menyambut tas itu dariku, “Antar sampai depan, ya," Ia beranjak, meraih pinggangku, lalu berjalan menggandengku ke depan. Hatiku lagi-lagi berdesir oleh sikapnya. "Ehem ... ehem ...." Beberapa kerabat yang menginap di rumah untuk bantu-bantu acara resepsi berdeham menggoda. "Pengantin baru, mesra euy," ucap salah satu dari mereka. "Mestinya enggak usah kerja dulu. Ngeram dulu di kamar," timpal yang lain. Wajahku menghangat mendengarnya. Sementara dia, hanya tertawa ringan, melewati para kerabat itu dengan santai Sesampai di depan, ia mengeluarkan sepeda motor besarnya dari garasi kemudian men-starternya. “Abang berangkat, ya,” ucapnya. Aku mengangguk kemudian mencium punggung tangannya takzim. Sebagai balasnya, dia melayangkan satu kecupan di keningku. Kemudian berlalu melajukan motornya, meninggalkanku yang berdiri terpaku. Meraba jejak basah di kening dengan hati yang berdesir. 'Inikah yang kamu maksud akan membuatku nyaman sehingga akan mencintaimu, Zain?' Hatiku bertanya. Ya, segala sikapnya demikian manis. Dia tidak menunjukkan kecewa atau marah karena malam pertama terlewat begitu saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN