"Enggak bisa 'kan?" Lagi-lagi ia menggoda.
Argh!
Kenapa laki-laki ini berubah jadi menjengkelkan begini. Sebal rasanya. Ingin kuketuk kepalanya, takut kualat.
Apa sekarang dia sengaja memanfaatkan statusnya sebagai suami untuk menjahiliku agar aku tak bisa berkutik untuk membalas?
"Bisa, kok," ucapku tidak mau diremehkan.
"Bisa bagaimana? Tangannya pegang pisau sampai gemetaran begitu." Dari ekor mata, aku melihat ia meruncingkan bibir seksinya, menunjuk ke arah tanganku.
"Sudah. Sini Abang saja. Nanti malah luka tangannya." Ia hendak meraih pisau dari tanganku.
Entah sengaja atau tidak, sedikit jari kasarnya menyentuh jariku. Refleks aku menarik tangan.
Pasti dia sengaja. Modus mau pegang-pegang. Aku mendengkus.
Akan tetapi, apa ini yang terasa 'serrr' di d**a saat jariku tersentuh tadi? Rasanya geli, seperti ada yang menggelitik, tetapi efeknya membuat senang di hati. Aku menggelengkan kepala, menampik makna dari desiran halus yang merambati itu.
Pasti bukan!
"Enggak usah. Aku bisa, kok," tolakku.
Jatuh harga diri kalau sampai di hari pertama ini terbukti aku tidak bisa memasak bahkan hanya menumis kangkung. Mau ditaruh di mana harkat dan martabatku sebagai perempuan?
"Ehem!" Suara dehaman Abah mengejutkan kami, sekaligus menyelamatkanku dari gangguan Zain.
Kami sama-sama menoleh, mendapati Abah dan Umak menuju meja makan, menarik kursi masing-masing sambil senyam senyum penuh makna.
"Duhai senangnya pengantin baru. Masak berdua, bersenda gurau." Dari bibir Abah mengalun lagu pengantin baru yang liriknya sedikit dipelesetkan. Setelah itu mereka berdua terkekeh menggoda.
Ah ..., malunya!
Aku menatap Zain sembari bersengut, "Makanya disuruh duduk di sana nurut aja," ucapku pelan menahan geram.
Bukannya simpati, laki-laki itu justru terkekeh. Pasti dia lucu melihat entah seperti apa warna mukaku sekarang. Yang jelas, rasanya panas.
"Iya ... iya. Abang duduk di sana. Tapi benaran bisa 'kan potong bawangnya?" Ia masih sempat melempar kelakar sambil tersenyum jahil. Aku berdecak sebal.
Eh, sebal, tapi kok, rasanya senang, ya?
Setelah dia duduk bersama Abah dan Umak, aku melanjutkan giat memasakku dengan lancar dan cekatan tanpa gangguan darinya.
Zain memang tahunya aku tidak bisa memasak, sebab waktu kuliah aku memang jarang dan malas masak. Seringkali biaya memasak untuk kebutuhan sendiri lebih besar dari pada beli nasi Padang. Satu bungkus hanya sepuluh ribuan, dapat banyak dan enak.
Hanya beberapa menit, cah kangkung buatanku selesai. Segera aku membawanya ke meja makan setelah menuangkannya di piring saji.
Demi bakti seorang istri untuk mencari Ridha suami, aku mengambil nasi untuk Zain. Sudah lama mengenalnya, sudah sering makan bersama di luar, aku tahu seberapa porsi makannya.
"Terima kasih, Sayang," ucapnya lembut ketika kuulurkan sepiring nasi yang sudah lengkap dengan lauk, sayur, dan sambal.
"Sama-sama." Aku mengangguk, lalu mengambil nasi untuk diri sendiri. Sementara Abah, ada Umak yang melayani.
"Enak banget. Ternyata sekarang kamu sudah pinter masak," pujinya setelah mencicipi sesendok makanannya,
"Kalau begini Abang mesti rajin-rajin olahraga." Ia melanjutkan ucapannya di sela-sela suapannya.
Aku mengernyitkan dahi, "Apa hubungannya?" tanyaku tidak mengerti.
"Bisa gemuk Abang punya istri yang pinter masak. Masak kangkung aja bisa enak begini," sahutnya.
Aku menyeringai penuh kemenangan. Baru tahu dia!
Zain terlihat begitu semangat menyantap isi piringnya. Aku tersenyum bahagia. Senang sekali melihat ia makan dengan lahap hasil masakanku.
"Tuh, nasi gorengnya katanya juga mau dimakan." Aku menunjuk wadah bekal yang ia lupakan.
"Eh!" Dia terhenyak. Tampak ekspresi wajahnya bingung dan penuh rasa bersalah.
"Kalau memang sudah kenyang, enggak apa-apa enggak usah dimakan. Enggak juga mubazir 'kan kalau untuk makan ayam?" ucapku.
"Iya. Abang sebenarnya mau saja makan. Tapi memang sudah kenyang," sahutnya cengengesan.
"Ya, sudah. Enggak usah dimakan."
"Maaf, ya, Dek. Kamu sudah repot-repot masak, tapi malah enggak dimakan. Abang benar-benar lupa tadi." Ia meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Aku tercekat.
"Mak, ternyata benar kata orang." Abah yang sedari tadi diam, tiba-tiba berbicara.
"Kata orang tentang apa?" tanya Umak.
"Kalau orang sedang jatuh cinta, dunia terasa milik berdua. Yang lain cuma ngontrak. Seperti kita ini, Mak. Cuma ngontrak."
Aku segera menarik tangan yang digenggam Zain. Lalu tertunduk. Wajahku kembali terasa panas.
Dalam hati aku mengumpat, dasar Zain tidak bisa menempatkan situasi. Jika saja dia bukan suamiku, masih sahabatku, sudah ku 'hih!' karena pegang-pegang tangan seenaknya, di depan orang tua lagi.
Sayang sudah jadi suami. Bisa kualat kalau di 'hih'.
"Maaf, Abah." Zain cengengesan sembari menggaruk kepalanya.
"Tidak apa-apa. Namanya juga pengantin baru," sahut Abah sok bijak. Sementara bibirnya masih menyisa tawa jahil.
"Semoga kemesraan kalian ini tidak hanya saat pengantin baru saja. Tapi langgeng sampai nanti kalian tua." Umak menimpali.
"Aamiin." Abah dan Zain menimpali bersamaan.
"Seperti kita ini, ya, Mak." Abah meraih tangan Umak, lalu mengecupnya, "Mesra sampai tua," ucapnya membuat Umak kaget dan segera menarik tangannya dari Abah. Dapat kulihat Umak pun tersipu malu. Wajahnya sedikit memerah. Aku dan Zain tidak bisa menahan tawa menyaksikan tingkah mereka.
***
Makan siang perdanaku dengan status yang baru berjalan hangat. Setelah beristirahat sebentar, kami segera berangkat memenuhi undangan keluarga Zain.
Menurut mereka, acara memang dimulai bakda Asar. Akan tetapi, kami datang lebih awal.
Sebelum menikah denganku, Zain tinggal bersama kedua orang tua dan adiknya di sebuah ruko yang sekaligus menjadi tempat usaha mereka, tepatnya usaha Zain.
Zain memulai bisnis berjualan pakaian murah di kota ini dan ternyata berkembang pesat. Orang tuanya yang sebelumnya membuka warung kelontong kecil-kecilan, beralih mengurus usaha Zain saat putranya itu lebih memutuskan fokus mengejar cita-cita sebagai guru.
"Hanya selamatan sederhana untuk memberi tahu tetangga dan saudara," terang orang tua Zain ketika kami datang.
"Sebenarnya ingin mengadakan pesta yang besar juga, sebab Zain anak pertama. Cuma ini terlalu mendadak, jadi, ya, begini saja," lanjut mereka sembari terkekeh.
Aku tersenyum miris, merasa sangat tidak nyaman sebab keinginan mereka merayakan pesta yang besar untuk Zain tidak terlaksana lantaran harus menikahiku secara mendadak.
"Maafkan kami, jika keinginan Bapak dan Ibu pupus lantaran Nak Zain harus menikahi putri kami demi menutup rasa malu kami." Bapak seolah paham isi hatiku. Atau mungkin apa yang kami pikirkan sama?
"Tidak. Justru kami sangat bersyukur pernikahan Cahaya batal. Maaf. Tapi itu jadi membuka jalan bagi putra kami untuk menikahi Cahaya. Dia sempat terpukul saat Cahaya mengatakan akan menikah, walaupun dari luar terlihat baik-baik saja, hatinya benar-benar terluka." Ibu Zain menyahut.
Aku menganjur napas lega. Alhamdulillah. Kukira mereka tidak setuju dengan pernikahan dadakan ini, tetapi ternyata satu frekuensi dengan anaknya.
"Maksudnya?" Bapak bertanya tidak mengerti. Dahinya mengernyit.
"Zain sudah lama menyukai Cahaya. Bahkan sempat meminta kami untuk datang melamar, tetapi terlambat. Cahaya waktu itu lebih dulu dilamar Andra."
Aku melirik laki-laki yang duduk di sampingku itu sekilas. Benarkah dia sudah punya niat untuk melamar?
Ternyata dia juga sedang melihat ke arahku. Begitu pandangan kami beradu, ia melempar senyum yang entah kenapa kadar kemanisannya tiba-tiba meningkat tajam. Seketika aku yang biasanya melihat senyumnya biasa-biasa saja, jadi berdebar tidak karuan.
Seerrrr! Debaran itu merambat ke seluruh sel tubuh.
Lekas aku mengalihkan pandangan darinya. Akan tetapi, tiba-tiba tubuhku terasa kaku saat merasakan tangan kekarnya meraih tanganku, menyalurkan percikan-percikan strum yang membuat tubuhku terasa bergetar.