Meeting yang penting.
***
Sehabis makan siang, benar saja, ruang meeting sudah terbuka lebar-lebar, menyedot beberapa orang di posisi yang penting di perusahaan ini, salah satunya perempuan dengan pakaian berwarna putih serta rok kentat berwarna hitam, kata Anda, Avita seperti anak yang baru praktik kerja saja, karena pakaian itu.
Avita mencoba fokus dengan apa yang disampaikan Pak Eddy di depan layar proyektor, tapi masih saja, semuanya hilang karena bayang-bayang Drew, yang menyelinap di otak Avita.
Avita sendiri tak meyangka Drew bertindak semanis itu, dan ia pun sama, tidak menyangka bahwa akan bertindak sekejam itu. Tapi, apalagi yang bisa Avita lakukan selain itu, ia mesti tegas dengan keputusan yang ia ambil, ia tidak bisa membayangkan nantinya bagaimana kalo Salsa atau pun Tante Mirna mengetahui perasaanya dan apa yang ia lakukan dengan Drew, Avita benar-benar mendadak merasa tidak pantas bersanding dengan Drew.
Apa lagi yang bisa ia banggakan saat menjadi benalu di hubungan Drew dan Salsa? Apakah Avita tak mempunyai pikiran dan perasaan, ia perempuan dan bodohnya merebut hak perempuan lain, ayolah Avita, hidup hanya sekali, jangan menjdi orang yang natinya akan dibenci.
Saat polpen yang sedari tadi dimainkan Avita direbut oleh Ibu Aisha dari divisi kelayakan kantor dan barang-barang, Avita baru tersadar bahwa sudah tiga puluh menit ia dalam ruangan yang berisi orang-orang penting ini, matanya pun jatuh kepada lak-laki yang sekarang mengganti posisi Pak Eddy itu.
Entah apa yang dikatakan laki-laki itu sejak tadi, tapi demi Tuhan, Avita tak mengerti bahkan ia tak mendengar apa yang dikatakan laki-laki itu. Sepertinya Avita benar-benar harus keluar dari ruangan ini.
“Baik lah, hanya itu yang bisa disampaikan oleh perusahaan kami Pak,” kata laki-laki bertubuh tegap itu, rambutnya tertata rapi, badannya pun cukup membuat mata segar.
“Baik, Pak Sandy terima kasih,” balas Pak Eddy saat melihat Pak Sandy selaku Arsitektur yang ditunjuk untuk menangani renovasi perusahaan tempat Avita bekerja.
Saat semua orang yang ada di ruangan itu membersihkan mejanya saat mendengar kata penutupan yang terucap dari mulut Mbak Rini, Avita pun tak mau kalah, ia mesti menetralkan pikirannya, agar semua pekerjaannya bisa ia handle dengan baik, tanpa mecampurkan urusan pribadi dan perasaannya yang tengah kacau.
Setelah Avita benar-benar meninggalkan ruangan itu, mata Avita jatuh pada jam di lingkaran tangannya, satu setengah jam ia berada di dalam ruangan itu, tidak terasa, hingga membuat perut Avita keroncongan lagi.
Sebelum masuk ke dalam sarangnya lagi, Avita memilih berjalan ke luar kantor, mencari udara segar diantara udara yang penuh polusi di kota Banjarmasin ini, selain berniat mencari udara Avita juga berniat membeli jajanan yang ada di depan kantornya.
Bukan OB yang tengah banyak pekerjaan, tapi Avita kapok saat menitipkan belajaannya ke OB, kala itu ekpitasinya hancur lebur, tidak sesuai dengan keinginanya, karena menurut Avita makanan itu adalah satu hal paling penting dalam hidupnya.
Saat langkah Avita berjalan kecil di bawah terik matahari, di sudut taman kantornya ia menemukan Adik kecil – dia lagi, adik kecil yang pernah ia temui waktu ke makan Ibu dan Ayahnya, tengah mengambil bunga kertas yang ada di taman itu.
Masalah bunga kertas, itu ,adalah bunga yang paling ditakuti Avita sekarang, karena dulu, dulu sekali, Avita sama seperti anak perempuan itu, suka memetik bunga, rumput bahkan benda apa pun ia pegang, tapi saat berusia enam tahu, Avita terkena duri kecil di batang itu membuat ia menjadi takut, sampai sekarang.
Tubuh anak kecil itu berdampingan dengan tubuh seorang laki-laki yang berpenampilan rapi, membuat Avita ragu-ragu ingin menegur, tapi saat mendengar adik kecil itu terbatuk-batuk tanpa henti membuat Avita tanpa ragu melangkah untuk menghampirinya.
Ia mendekat dan menyodorkan botol minumnya, Avita tadi berniat membeli ice cream hingga perempuan itu membawa botol airnya, ai tidak mau terkena batuk setelah memakan ice cream.
Laki-laki yang berada di dekat anak kecil tadi tak terkejut dengan apa yang dilihatnya, ia sudah mengawasi Avita dari jauh, dan sudah pernah melihat Avita, kala di Tempat Pemakaman Umum waktu itu.
“Hallo, Dek, ingat kakak, ini minum dulu,” dan sebagai penjaga putri tunggal Sandy Adiatma, Arsitek terkenal, Pak Aamond Chandra, yang akrab dipanggil Chandra hanya menatap Avita, mengawasi gerak-gerik perempuan itu, ia tak boleh lengah, walau Sandy sudah mengatakan Avita bebas mendekati anaknya.
Hingga muntahan kecil Sadira, yang tengah duduk berpangkun Avita pun membuat mata Avita terbelalak, pun ekpresi yang ditampilkan Pak Chandra sama terkejut dengan Avita.
Sadira, gadis kecil itu tengah dalam keadaan tubuh tidak fit, hingga ia ikut dengan Ayahnya kemana pun Ayahnya pergi, dan sialnya Sandy tak bisa membatalkan satu janji hari ini – ke kantor Avita, Sadira sebenarnya tengah sangat rewel meminta ini dan itu, dan sayangya pekerjaan Sandy di kantor Avita begitu menguntungkan hingga Sandy tak bisa mengatur ulang meeting hari ini.
Pakaian Avita nan putih kini penuh bercak kuning, muntahan Sadira, Avita yang tak tega melihat adik kecil itu menangis pun mengelus punggung Sadira, membiarkan pakainnya kotor akan muntahan Sadira yang lagi-lagi keluar dari mulut kecil itu.
Pak Chandra segera bertindak dengan memanggil supir melalu alat pembicaraan yang tersambung di telinga Sandy, Supir pribadi Sandy, dan Haden -- orang ke dua yang sangat dipercayai Sandy selain Pak Chandra, dan sekrang bertugas menyusun pertemuan Sandy, serta pekerjaan Sandy.
Sandy membasahi mulutnya, setelah meeting itu selesai, ia tak langsung pulang, ia masih meninjau beberapa bagian di perusahaan itu, tapi suara dari alat pendengar di telinganya membuat tatapannya menajam dan mengangguk seketika, walau Chandra tak melihat.
Haden langsung mengakhiri pembicaraan antara Pak Eddy dan Sandy, mereka bergegas berjalan ke arah lift untuk segera ke lantai satu dan membawa Sadira ke rumah sakit.
Kini, baju putih itu sudah ternodai dengan muntahan Sadira, bahkan Sadira yang masih duduk di pangkuan Avita sudah tergolek lemas, Avita tidak melepaskan adik kecil itu, saat ia sudah muntah di taman bunga kantor Avita, Avita langsung menggendongnya, dan membawa ke mobil yang sudah disediakan oleh Pak Chandra.
Sandy yang baru tiba dan melihat mobilnya sudah menunggunya pun langsung membuka pintu mobil di bagian penumpang, tatapannya terlihat sedih saat melihat Sadira tergolek lemas dalam pelukan Avita, sedangkan Pak Haden mengalah, mobil mewah itu sudah penuh dengan empat orang dewasa beserta dengan Sadira yang dalam pangkuan Avita.
“Tak ada handuk kecil kah di mobil ini atau tisu? Kamu juga kenapa diam saja, cepat ke rumah sakit! Kan Bapaknya sudah dating!” Bentak Avita saat melihat Sandy hanya diam saja.
Dia persis dengan Nadira – Ibunya Sadira perempuan yang menyukai anak kecil, bahkan Nadira dulu senang sekali ke panti asuhan, melihat anak-anak kecil yang selalu memanggilnya dengan sebutan “Kakak cantik,” batin Sandy bersuara.
Nadira anak tunggal dari Orangtua yang perekonomiannya tidak terlalu berada, dan syukurnya perempuan itu begitu pintar, otaknya begitu encer, itulah yang Sandy tahu dari Nadira dulu.
Hingga suatu tugas membuat Sandy harus berkenalan dan selalu mengerjakannya dengan Nadira, banyak sifat Nadira yang mencuri hati Sandy, salah satunya, ia pantang menyerah dengan keadaan yang sedang menekannya.
Biaya kuliah serta biaya hidup bukan hal yang enteng bagi Nadira, memang ia mendapattkan beasiswa, dibebaskan dari biaya semester, tapi, untuk jajan, uang buat nge-print, fotocopy, hungout, serta lainnya, bukan lah satu perkara yang mudah buat dihindari.
Akibat terlalu mengingat Nadira, Sandy bahkan tak memperhatikan anaknya yang lemas, serta ... astaga pakaian perempuan itu begitu kotor, akibat anaknya.
“Haden,” suara Sandy membuat Avita melirik laki-laki yang tenggah menempelkan ponselnya ke telinga. “Belikan pakaian buat Nona Avita, serta kabari Ibu , Sadira kita opname di rumah sakit,” ucapnya dengan jelas.
Setelah melakukan itu, ia mencoba mengambil Sadira dari pangkuan Avita, Avita Valencia, wanita yang kini sudah naik jabatan dari admin biasa ke kepala Divisi Adminitrasi itu menggelen pelan sambil memijit punggung Sadira, saat menunggu Sandy datang, Chandra memberikan minyak kayu putih untuk Sadira.
“Nanti kalo Bapak yang mangku Adik kecil ini, pakaian Bapak kotor,” jawab Avita dengan senyuman.
Senyum itu membuat Sandy mengedip lalu berpaling, gejolak itu ternyata masih ada, walau Sandy sudah memiliki harta seberharga Sadira.
Baru saja berpaling, Sadira kembali memuntahkan isi perutnya yang sudah terkuras habis, membuat ia turun dari panggkuan Avita, hingga basahnya baju Avita dapat terlihat jelas, menembus tubuhnya hingga bagian paling dalam.
Sedangkan Avita memikirkan bagaimana kehidupannya setelah ini, kerjaan itu belum dibelainya, dan juga, pakaiannya benar-benar bau sekarang.
Setibanya di rumah sakit, Chandra lebih dulu mencari perawat untuk membawa Sadira., Sandy dan Avita pun menyusul di belakang, Sandy kini sudah tak mengenakan jas hitamnya lagi, lengan kemeja biru malam itu sudah digulung, tubuh kekarnya semakin terlihat, hingga tiba di depan UGD, Sandy masuk ke dalam ruangan itu bersama Sadira yang sudah ditolong perawat, sedangkan Avita mencari toilet, untuk membersihkan diri.
“Nona Avita,” baru saja kaki Avita melangkah keluar toilet, perempuan itu kembali dikagetkan dengan laki-laki yang juga ada di ruangan meeting kantornya, namanya ... Avita tak tahu. “Ini dipakai, pakaian dari Pak Sandy,” uluran tangan itu membuat Avita ragu untuk mengambilnya, tapi kalau tak diambil, ia juga tak mungkin memakai baju sekotor itu, bukan hanya kotor tapi juga bau.
Avita kembali masuk ke dalam toilet, ia melihat isi pakaian itu, sama, kemeja putih dan rok hitam, dan untungnya, tidak sependek dan sekecil yang dikhuwatirkan Avita.
Sepuluh menit dari itu Avita mendapatkan informasi, bahwa Sadira sudah bisa dijenguk di ruangan inap, Avita benar-benar terkejut, karena setahunya bila masuk UGD dan mencari ruangan itu cukup sulit, tapi Sandy, laki-laki itu bisa membuktikan kalau ada uang semua urusan lancar.
Kamar VVIP, nomor dua, pemandangan dari luar saja semua sudah terasa elegan, di balik kaca besar yang ada di hadapannya Avita bisa melihat Sandy berdiri menatap anaknya itu, tak bisa dipungkiri, Sandy terlihat begitu khuwatir.
Benar-benar, Ayah dan juga suami yang bisa diandalkan, menurut Avita.
***