"Zam, nanti malam jam tujuh jangan lupa hadir ke acaranya Bu Rosanty. Ibu sama Icha dah beli baju bagus buat dipakai ke acara itu."
"Baik, Bu. Aku ajak Lili dulu, biar dia juga ikut siap-siap."
"Alaaaah, gak usah. Buat apa ngajak istrimu yang udik itu, yang ada malah malu-maluin kita."
"Tapi, Bu--"
"Tidak, titik. Kita berangkat bertiga, ibu, Icha sama kamu saja. Lili biar urus rumah aja. Seharian kerjanya rebahan terus gak ada geraknya. Rumah aja dibiarkan berantakan kayak begini!"
Deg! Kenapa ucapan ibu seperti itu? Padahal aku tahu di rumah inilah Lili yang paling capek. Pagi-pagi sekali Lili sudah bangun, dan mengerjakan semuanya. Padahal ia tengah hamil, usia kandungannya delapan bulan. Kata ibu, dia harus banyak gerak, gak boleh manja, biar persalinannya lancar.
Walaupun ibu sering bersikap ketus, tapi Tak ada bantahan apapun dari Lili, dia memanglah istri penurut.
Aku menghempaskan nafas kasar. Ibu sudah bangkit dari tadi dan menuju ke kamar. Aku menoleh, kudapati Lili berdiri di balik pintu ruang tengah. Tanpa sengaja kulihat gerakan tangannya menyapu pipi. Apakah Lili menangis?
Segera kukejar sosoknya, namun ia sudah masuk ke dalam kamar. Kamar kami berada di belakang, lebih sempit dan pengap, sebenarnya ini kamar pembantu. Ya, Lili memilih mengalah. Kamar utama ia serahkan untuk ibu. Rumah minimalis yang baru kubeli satu tahun silam ini hanya mempunyai 4 kamar saja, yaitu satu kamar utama, satu kamar tamu yang sekarang digunakan oleh Icha, satu kamar kugunakan untuk gudang ruang kerjaku, serta satu kamar pembantu yang sekarang aku tempati berdua dengan Lili.
Sejak kedatangan ibu dan adik sepupuku itu, ibu yang mengatur kendali rumah ini. Awalnya aku ingin merekrut pembantu agar Lili ada yang bantu. Tapi ibu menyanggahnya, katanya buang-buang uang, mending uangnya ditabung buat biaya persalinan.
Lili tak pernah protes dengan perkataan ibu. Dia hanya mengangguk dan selebihnya diam.
"Li, Li, buka pintunya dek," kupanggil namanya disertai ketukan pintu.
Lama menunggu, akhirnya pintu terbuka. Kulihat matanya memerah, aku tahu dia habis menangis.
"Dek, apa kamu gak apa-apa kalau ditinggal sendirian?"
Lili hanya mengangguk.
"Atau kamu mau ikut? Nanti aku bujuk ibu."
Lili menggeleng. Ia merebahkan diri diatas kasur dan membelakangiku.
"Li, Li!" teriak ibu dari luar, kalau sudah seperti ini pasti ibu ingin menyuruh sesuatu.
"Ada apa, Bu?" tanyaku sambil melongokkan kepala saat pintu separuh terbuka.
"Mana istrimu itu? Kenapa gak masak makan malam?"
"Lho, katanya kita mau ada acara di tempat Bu Rosanty, pasti disana makan kan?""
"Tapi sekarang ibu sudah laper."
"Tapi kasihan Lili bu, dia kecapekan--"
"Biar saya masakin, Mas. Ibu mau makan apa?" sela Lili, ia bangkit menghampiri kami.
"Mie goreng aja deh buat ganjal perut, jangan lupa teh manisnya. Sekalian bikinin buat Icha juga, kasih telor dan irisan bakso."
"Bu, itu kan mudah. Icha juga bisa bikin sendiri sekalian bikinin ibu, kenapa harus nyuruh Lili?"
Lili menarik ujung kemejaku agar tak membantah perintah ibu.
"Mas mau dibikinin juga?" tanyanya, menatapku dengan wajah yang sendu.
"Tidak usah, mas gak laper."
Ia mengangguk, kemudian berlalu menuju dapur, menyalakan kompor dan mengambil bungkus mie instan di lemari penyimpanan.
Tangannya bergerak cekatan, selain menunggu mie matang ia membuatkan teh manis.
Aku memperhatikannya tak jauh dari dapur, sembari bersandar di dinding. Sesekali kulihat ia mengurut pinggangnya yang mungkin terasa pegal.
"Biar mas yang bawakan," tukasku.
"Jangan mas, nanti ibu marah lagi."
"Ibu sering marah-marah sama kamu kalau mas gak ada?"
Lili menggeleng. Ia tetap membawa nampan berisi mie goreng dan teh manis itu ke meja makan.
Ibu dan Icha sudah menunggu, mereka berbincang dan cekikikan gak jelas. Entahlah sejak kedatangan Icha disini, ibu jadi makin sering nyuruh-nyuruh Lili.
Kasihan Icha, dia baru datang dari kampung, baru beradaptasi disini. Selalu begitu kata-kata ibu.
Ya, awalnya niat Icha datang kemari karena ingin mencari pekerjaan. Beberapa lamaran ia layangkan ke perusahaan, namun saat ada panggilan interview ia malah tidur dengan alasan lupa. Nyatanya sudah tiga bulan ia belum juga bekerja, aku sebenarnya tak masalah toh dia adikku. Tapi harusnya dia peka, ikut membantu Lili mengerjakan pekerjaan rumah.
"Cha, kamu kan bisa bikin mie sendiri dan bikinin ibu sekalian, jangan malas gitu dong, kasihan Lili!" tegurku saat mereka enak-enakan makan.
"Kamu ini! Icha itu tamu disini, jadi harus dilayani. Sudahlah Lili aja gak masalah, kenapa kamu yang protes!" sela ibu.
Kalau sudah begitu ibu tak bisa dibantah. Ya, ibu memang keras kepala. Semenjak kepergian almarhum bapak, perasaan ibu jadi lebih sensitif. Menyinggung sedikit perasaannya saja dia menangis.
*
"Ayo Zam, ibu sudah siap."
"Aku antar kalian aja ya, nanti langsung pulang. Kasihan Lili sendirian."
"Terus nanti kami pulang sama siapa? Pokoknya kamu harus tetap disana sampai acara selesai. Lili kan di rumah aja, dah gak usah khawatir. Ayo cepat Zam, ibu tunggu di mobil."
Ibu dan Icha sudah melenggang pergi keluar rumah. Aku berpamitan pada Lili yang saat ini sedang merapikan baju.
"Mas berangkat dulu ya, dek. Kalau ada apa-apa hubungi mas ya!"
Dia hanya mengangguk saja, tanpa salam sapa seperti biasanya. Ada yang aneh dengan istriku, apa dia merahasiakan sesuatu?
*
Di Rumah Bu Rosanty acara begitu meriah. Banyak tamu undangan datang. Ah ternyata ini acara lamaran anak bungsunya. Tapi mereka gelar secara besar-besaran.
Ibu dan Icha tampak berbincang dengan Bu Rosanty, lamat-lamat kudengar arah pembicaraannya menjelek-jelekkan istriku. Untung saja dia tak ikut, jadi tak mendengar ucapan menyakitkan ini.
Sudah satu jam disini, perasaanku bertambah khawatir memikirkan Lili di rumah. Tak pernah kurasakan kecemasan seperti ini sebelumnya.
Tiba-tiba ponselku berdering, sebuah panggilan dari nomor rumah. Ya selama ini Lili tak punya handphone, aku hanya menyediakan telepon rumah agar ia bisa berkomunikasi denganku. Awalnya memang punya tapi kujual karena dia boros menggunakan pulsa. Bisa habis lebih dari seratus ribu sebulan, padahal di rumah saja. Entah ia gunakan untuk apa.
"Halo, ada apa Li?" tanyaku. Suaranya tidak terdengar jelas karena disini sangat ramai, ada alunan musik yang menghiasi suasana.
"Mas, bisa pulang sekarang? Perutku sakit sekali--" suara dari ujung telepon terdengar seperti sedang menahan sesuatu.
"Sakit? Kenapa? Ya sudah. Tunggu ya, mas segera pulang."
Kumatikan panggilan telepon lalu menghampiri ibu.
"Bu, ayo Bu kita pulang sekarang, perut Lili sakit katanya Bu, aku khawatir sama dia."
"Azzam, acaranya belum selesai kok. Tunggu sebentar lagi. Itu pasti cuma alasan istrimu saja! Dah gak usah digubris."
Ingin rasanya membantah ibu, tapi ini ditempat keramaian, aku tak ingin mengundang masalah.
Tapi pikiranku melayang ke rumah. Apa Lili baik-baik saja?
Aku jadi merasa bersalah, selama ini aku telah mengabaikannya. Tak pernah memberi perhatian untuknya, karena kupikir aku sudah lelah bekerja, sedang dia di rumah saja ada hiburan televisi atau main ke tetangga. Lagi pula ada ibu yang bisa jadi teman ngobrolnya.
Sekitar jam sebelas malam barulah kami pulang, acara itu baru saja selesai.
"Mewah banget ya acara lamaran anaknya Bu Rosanty," celetuk ibu dengan takjub. Icha juga menanggapinya dengan antusias.
Sampai di rumah, suasana begitu sepi.
Bel pintu kutekan berkali-kali, namun tak ada sahutan dari Lili. Apa dia sudah tidur?
"Gimana sih istrimu itu, malas banget, apa dia sudah tidur? Padahal baru jam sebelas malam!" tukas ibu dengan nada kesal.
"Biar kurobrak pintunya Bu."
"Nanti rusak."
"Gak apa, biar besok dibenerin sama tukang, memangnya ibu mau tidur di luar?"
Satu dua tiga. Dengan sekuat tenaga berulang kali kudobrak, akhirnya pintu terbuka. Aku merangsek masuk sambil memanggil Lili, namun tak ada sahutan. Sampai di ruang tengah, di meja telepon, kutemukan tubuhnya meringkuk di lantai. Dan, darah segar mengalir dari bagian bawahnya.
"Astaghfirullah hal'adzim. Li, Li, bangun dek! Apa yang terjadi denganmu?!