"Mama nemu di mana orang semacam Mas Radit itu?"
Saat jam pulangnya tiba, Tari bergegas pulang ke rumah. Tari langsung menghampiri Mamanya yang tengah berada di kamarnya. Langsung menanyakan perihal Radit pada Mamanya. Ia jujur penasaran dengan sosok Radit yang ditemuinya tadi siang.
Mamanya yang tengah mengotak-atik ponselnya mendongak dan menatap Tari yang memandangnya penasaran.
"Nemu? Emang Radit itu kucing? Nemu ..." Mamanya memutar bola matanya jengah. "Kan mama udah bilang kalau Radit itu anak teman kuliahnya Mama," sahut Mamanya. Ia kebingungan oleh pertanyaan dari putri semata wayangnya itu. Sedetik kemudian ia penasaran alasan Tari yang bertanya dengan anehnya.
"Kenapa memangnya?"
Tari mengedik bahunya. "Baru pertama kali ada orang yang baca seratus pertanyaan itu dan menyanggupi untuk menjawab semuanya, Ma. Aneh kan?" tanya Tari dengan alis bertaut.
"Aneh gimana, nak?" Mamanya menyingkirkan ponselnya ke samping badannya dan mulai menatap Tari. "Bukannya bagus ya ada laki-laki yang mau jawab keseratus pertanyaan konyol bikinan kamu itu?" Mamanya bersidekap. "Lagian ngapain sih kamu pakai bikin seratus pertanyaan itu? Heum, buat apaan?" gerutu Mamanya lagi.
Melati, Mama Tari itu langsung beranjak dari rebahannya dan duduk. Wanita paruh baya itu bersidekap memelototi putri semata wayangnya itu.
"Ya ..." Tari menggantung kalimatnya. Ia sebenarnya sudah sering menjawab pertanyaan dari mamanya ini. Namun ia juga selalu bingung menjawab dan berujung menjawab dengan asal. "... gitu pokoknya. Aku pengen lebih kenal sama orang yang akan menikah denganku kelak." Akhirnya hanya itu yang dapat katakan.
Gadis itu melangkah dan menduduki ranjang Mamanya. "Tapi dia kelihatan baik loh, ma."
Melati terkekeh. "Kan udah mama bilang, Radit itu tampan dan soleh. Sesuai kan dengan tipe idaman kamu?"
Tari menggelengkan kepalanya. "Tari cuma ingin punya suami yang tanggungjawab dan setia, ma. Masalah ganteng itu bonus. Soleh juga bisa bareng-bareng belajar agama," jelasnya. Lalu menopang dagunya. "Eh, soleh harus deng. Ya udah berarti yang penting soleh, tanggungjawab, dan setia," ucapnya sembari mengacungkan ketiga jari tangannya.
Melati mengangguk-anggukkan kepalanya. "Iya, iya. Mama lihat si Radit tuh orang yang gitu kok. Plus ditambah bonus kalau dia ganteng." Mamanya terkikik di akhir kalimatnya.
"Mama nih. Yang mau nikah kan aku." Gadis itu hanya menggelengkan kepalanya memandang Mamanya yang tengah tersenyum-senyum sendiri.
Lalu Tari putuskan keluar dari kamar orangtuanya itu. Berbicara hanya berdua dengan mamanya memang selalu membuat Tari pada akhirnya mengalah. Bukan karena ia takut dikutuk menjadi batu seperti malin kundang. Melainkan karena akhirnya Tari menyadari kalau perkataan Mamanya itu benar.
Dan Tari akui itu.
°°°°
"Jadi gimana pertemuan dengan laki-laki yang mau dijodohin denganmu itu?"
Tari menatap layar ponselnya yang menampilkan wajah kedua sahabatnya lewat sambungan video call. Sahabat sejak masa kuliah Tari. Kedua sahabatnya itu adalah Nida dan Esti. Mereka saat ini terpisah jarak yang cukup jauh dengan Tari. Tepatnya mereka ini tinggal di Bandung dan Jogja. Dan tidak pernah bertemu lagi sejak reuni bulan November tahun lalu. Sehingga mereka hanya dapat berbincang lewat telepon atau sambungan video call seperti sekarang ini.
Tari menghela napasnya. "Ya gitu," ucapnya lirih. Lagi-lagi menghela napas.
Esti menggelengkan kepalanya memandang wajah lesu Tari. "Gitu gimana? Kamu suka gak?"
"Iya, gimana? Orangnya kayak apa?" Nida menimpali. Rupanya mereka benar-benar penasaran.
"Aku belum tahu suka atau gak ... tapi yang jelas, dia itu kelihatan orang baik." Tari menopang dagunya memandang kedua sahabatnya itu. Kemudian sedikit menyeringai. "Aku takut pas suka sama dia, ternyata dia kabur kayak cowok-cowok yang sebelumnya," gerutunya. Ia menggelengkan kepalanya menepis ingatan tentang beberapa pemuda yang dikenalkan oleh Mamanya.
Beberapa dari mereka bahkan sudah sampai ke tahap bertukar nomor telepon dan chating-an dengan Tari. Dulu Tari memang sengaja mengajak berkenalan terlebih dahulu dan saling mengirim chat, baru setelahnya Tari akan memberinya dengan kertas HVS berisi seratus daftar pertanyaan itu. Lalu setelah diberi kertas berisi daftar pertanyaan itu, mereka akan kabur. Paling parah sampai memblokir nomornya.
Jika diingat lagi, Tari menyesal karena membuat mereka pada akhirnya kabur. Tetapi kan bukan salahnya juga. Tari kan hanya ingin memilih calon suami yang tepat.
Sehingga, pada pertemuan pertamanya dengan Radit, ia langsung to the point dan tidak ingin menguras waktu keduanya. Tidak ingin menaruh harapan tinggi pada pertemuan pertama mereka.
"Ganteng gak?"
Pertanyaan tiba-tiba dari Nida membuat Tari tersedak ludahnya sendiri.
"Iya, ganteng? Aku lihat i********:-nya sini. Pengen lihat!" Esti ikut menyahut.
Kedua sahabat Tari itu menyeringai aneh. Tari tampak menerawang. Ia mengingat-ingat tentang pertemuannya dengan Radit kemarin siang. Jika dipikir lagi, Radit itu laki-laki yang tinggi, kulitnya putih dan badannya tegap khas orang-orang yang sering workout. Radit juga memiliki mata belo, hidung mancung, dan bibirnya ...
Tari menggelengkan kepalanya mengingat hal sensitif.
Jika dari sekilas orang-orang memang akan menilai Radit itu ganteng. Jadi akan Tari simpulkan-
"Lumayan," sahut Tari singkat. Ia menggelengkan kepalanya mengingat wajah manis Radit. Ia hanya tidak ingin terlalu berharap jika mungkin pada akhirnya Radit akan seperti pemuda-pemuda yang sebelumnya. "Intinya aku gak mau terlalu berharap banget sih ke dia."
Kedua sahabatnya itu mengerti akan kerisauan hati Tari. Mereka menatap Tari dengan tatapan prihatin. Lalu memberi kalimat-kalimat penyemangat untuk Tari.
Hari sudah sangat larut, dan Tari putuskan untuk mengakhiri percakapan dengan dua sahabatnya yang akan disibukkan dengan kehidupan rumah tangga mereka masing-masing. Iya, kedua sahabatnya itu sudah menikah, dan hidup bahagia. Tinggal Tari sendirian yang masih jomblo.
Kini akan menjadi tugas Tari dalam pencarian jodohnya.
°°°°
"Tari, kamu masih belum punya pacar kan?"
Pagi-pagi sekali setelah brifing pagi, tiba-tiba atasan Tari, Pak Fero, mengajaknya mengobrol.
Biasanya Pak Fero akan langsung masuk ke ruangannya sendiri sehabis brifing, dan baru akan Tari temui saat jam istirahat. Tidak seperti pagi biasanya, kali ini Pak Fero tampak ingin lebih akrab dengan Tari.
Tari terkejut saat Pak Fero menanyakan hal yang cukup sensitif padanya secara mendadak. Jadi gadis itu hanya bisa terkekeh aneh. "Iya, Pak. Kenapa memangnya?"
Pak Fero mendekatinya perlahan namun tiba-tiba senior Tari yang juga Customer Service di meja lain, menarik tangan Tari. "Kita bicara saat istirahat saja, ya." Setelah mengucap itu, Pak Fero kembali ke ruangannya.
Laki-laki paruh baya itu tampak mencurigakan di mata Tari pagi ini.
"Udah, jangan ditanggepin. Dia kayaknya mau jodohin kamu sama keponakannya." Wanita ber-nametag Gita itu membisikkan sesuatu pada Tari.
Mata Tari sontak mendelik. "Keponakan? Mbak tahu dari mana?"
"Kemarin sore Pak Fero tanya ke aku, terus pas sadar aku sudah punya tunangan, dia mundur deh." Gita mengedik bahu. "Gak nyangka kalau dia bakal tanya ke kamu gitu." Gita berkata begitu sambil memberesi meja kerjanya. Lalu mulai beraktivitas menyapa nasabah saat pintu utama dibuka.
Tari terdiam di duduknya. Apa isu tentang dirinya yang masih lajang di usia yang sudah tidak lagi muda sudah menyebar kemana-mana? Mengapa sepertinya Tari tampak menyedihkan karena tidak mempunyai pacar atau calon suami di usianya yang 26 tahun ini?
Huft, menyebalkan!
"Mbak, nasabah sudah masuk. Kenapa melamun?"
Seorang satpam membuyarkan lamunan Tari. Ia kembali tersadar dan bergegas memanggil para nasabah yang sudah menunggu.
"Ibu, silakan ke Customer Service 02." Tari tersenyum. Aktingnya dimulai.
Ia harus berakting terus ramah dan sabar menghadapi nasabah. Melayani dengan senyuman yang terus tercetak jelas di wajahnya. Meskipun setiap hari ia tidak dalam kondisi mood yang baik, ia harus selalu berakting penuh senyuman.
Seorang lelaki memasuki bank. Ia berjalan ke arah kursi tunggu yang disediakan, lalu duduk di sana. Tatapannya mengedar. Lalu menemukan sesosok gadis di meja Customer Service nomor urut dua. Gadis itu ... Tari. Sudut bibirnya tertarik. Ia tersenyum, ingin hati menghampirinya, namun tidak dapat ia lakukan, karena gadis itu tengah sibuk melayani nasabah lainnya. Selain itu ia juga tidak mempunyai urusan dengan Customer Service hari ini. Ia hanya akan berurusan dengan Teller.
Jadi lelaki itu putuskan hanya terdiam, sesekali melirik Tari. Tanpa berani menyapa. Dan sampai nomor antriannya dipanggil, lelaki itu pun masih belum berani menghampiri Tari. Akhirnya ia putuskan untuk keluar ruangan, tanpa menyapa Tari sedikitpun.
Bahkan saat gadis itu melihatnya. Tari bahkan mengira jika penglihatannya salah. Radit tidak mungkin ada di bank sepagi ini. Namun ia juga tidak mungkin salah lihat. Lelaki yang mengenakan kemeja biru muda itu pasti Radit.
Namun mengapa Radit tidak menghampirinya untuk sekadar menyapanya?
Tiba-tiba hati Tari mencelos. Ia jadi tidak fokus saat nasabah di depannya terus berkeluh kesah padanya. Tari mendadak tidak dapat mendengar ucapan nasabah itu dengan baik. Pikirannya tertuju pada Radit. Mengapa Radit tidak menyapanya?
Apa jangan-jangan ... Radit sengaja tidak menyapanya karena Radit akan menjadi seperti pemuda lain yang menolaknya?
Apa Radit mundur setelah Tari memberinya seratus pertanyaan itu?
Bahkan setelah kemarin Radit menyatakan akan sanggup mengisi keseratus pertanyaan itu?
°°°°