Pengkhianatan

1020 Kata
Hamil? Hamil? Bianca menggelengkan kepalanya tidak percaya. Dia yakin jika itu tidak benar. Bianca sangat percaya jika Daviendra tidak akan mungkin bermain di belakangnya. Bianca percaya bahwa hati Daviendra hanya untuknya. Daviendra hanya mencintainya. Tidak mungkin pria itu berani menyakitinya. Bahkan melihat ujung telunjuknya yang tergores saja, Daviendra tidak tega. Lalu bagaimana mungkin pria itu bisa menyakitinya dengan memiliki anak dari wanita lain? Bianca langsung menggelengkan kepalanya lagi. Berharap apa yang dikatakan wanita tadi itu tidak benar sama sekali. Pandangan Bianca kini kembali pada ponsel Davi yang ada di genggamannya saat ini. Wanita itu kembali menelepon, namun Bianca langsung menolak panggilan tersebut. Ibu jarinya dengan lihai menekan aplikasi chat untuk mencari pesan dari wanita itu. Keyakinan Bianca mulai goyah, saat mengetahui bahwa chat dari wanita itu berada di bagian arsip. “Sengaja mau menyembunyikan ini dari aku Mas?” monolognya lirih. Selama ini, Bianca selalu menghargai privasi telepon genggam milik Daviendra. Bianca bukanlah tipe wanita yang suka curigaan. Dia benar-benar menaruh kepercayaan yang begitu besar pada Daviendra. Tapi ternyata, tidak taunya pria itu berhubungan dengan wanita lain. Bahkan sampai menamai kontak wanita itu dengan 'Klien'. Dengan jantung yang berdegup kencang, Bianca membuka pesan dari wanita itu. Bianca sulit berkata-kata, saat mendapati sebuah gambar testpack dengan hasil positif dikirimkan pada suaminya. Bianca sudah tidak dapat lagi menahan diri. Pandangannya sudah mengabur, akibat liquid bening yang mulai muncul. Bianca merasakan dadanya sesak bukan main. Sakit sekali dengan pengkhianatan yang sudah sang suami lakukan padanya. Bianca memukuli dadanya lagi dan lagi. Kenyataan pahit ini benar-benar membuatnya sakit. Bianca tidak tau dimana letak kesalahannya, sampai Daviendra tega mengkhianatinya. Wanita itu mengira, jika perlakuan manis yang Davi berikan padanya sangat tidak mungkin sampai hati menyakitinya. Tapi nyatanya itu hanya perkiraannya saja. Hanya dalam pikirannya saja. Buktinya pria itu diam-diam bermain dengan wanita lain. Tidak! Dia tidak boleh lemah sekarang. Bianca dengan cepat menghapus air matanya sendiri. Wanita itu menegakkan tubuhnya dengan raut wajah datar. Dia tidak boleh lemah, meskipun sakitnya bukan main. Sementara itu, Daviendra yang baru saja keluar dari kamar mandi, berjalan santai mendekat ke arah Bianca yang saat ini sedang duduk di tepi ranjang. “Sayang, kamu belum nyiapin baju—” Plaak! Satu tamparan keras mendarat pada pipi Daviendra, begitu Bianca bangkit dari duduknya. Pria itu menatap Bianca dengan tatapan bingung bercampur kesal juga. Dia tidak tau apa-apa, tapi Bianca main menamparnya begitu saja. “Kamu nampar aku Bi? Kenapa tiba-tiba nampar aku? Salah—” Plaak! Satu tamparan kembali mendarat pada pipi Daviendra yang lainnya. Mata Davi mulai memicing, sebab dia mulai emosi juga. “Nampar aku lagi?! Salah apa aku sampai kamu nampar aku dua kali begini, Bi?” “Kenapa? Sakit? Baru dua tamparan kamu sudah emosi begini Mas? Lebih sakitan mana sama yang dikhianatin pasangan sendiri, hah?!” “Apa sih maksud kamu Bi? Kenapa jadi begini ngomongnya? Kamu—” “Ini!” sela Bianca seraya mengembalikan ponsel milik pria itu dengan kasar. Daviendra lekas menatap layar ponselnya yang masih menyala dan menunjukkan halaman chat yang tiga hari lalu sudah dia baca. “Sial!” umpat Daviendra dalam hati. Pria itu buru-buru menatap kembali sang istri yang sudah dipenuhi dengan amarah. Sumpah demi Tuhan, Davi tidak pernah membayangkan jika situasi ini akan terjadi. “Aku bisa jelasin Bi—” “Mau jelasin apa kamu Mas?! Mau jelasin gimana gilanya kamu di belakang aku? Iya?! Sakit Mas! Tega kamu mengkhianati aku!” Daviendra menggeleng dengan cepat. “Enggak Bi, aku nggak mungkin tega mengkhianati kamu. Aku bisa jelasin semuanya Bi. Ini nggak seperti yang kamu—” “Apa sih Mas?! Jelas-jelas sudah ada buktinya! Perempuan itu hamil anak kamu! Dan sekarang kamu bilang kalau ini nggak seperti yang aku pikirin gitu? Kamu kira aku bodoh Mas?!” Bianca menepis kasar tangan Daviendra yang hendak meraih lengannya. “Nggak usah pegang-pegang aku!” “Dengerin dulu bisa nggak Bi? Jangan pancing kemarahan ku.” “Oh, udah salah masih bisa ngomong gitu kamu Mas? Kamu sadar nggak sih kalau udah selingkuh di belakang aku Mas?” “Bi—” “Aku punya salah apa sih sama kamu Mas? Kurangnya aku juga di mana sampai kamu tega nyakitin aku kayak begini! Kamu main di belakang aku, bahkan perempuan itu sampai hamil anak kamu! Sejauh itu Mas kamu mengkhianati aku? Kamu begini apa karena aku belum bisa ngasih kamu anak Mas? Sebegitu pengennya kamu punya anak, sampai-sampai minta ke perempuan lain? Jahat kamu Mas! Beneran nggak punya perasaan!” Sungguh, Bianca sebenarnya kesulitan untuk mengatakan semua yang ada di dalam kepalanya saat ini. Sesak sekali dadanya, tapi harus menahan diri agar tidak pecah tangis di hadapan Daviendra. “Sekarang jawab, siapa perempuan itu?” “Bi, kita bisa ngomong baik-baik. Jangan pakai emosi begini.” “Beneran udah gila kamu Mas! Kamu pikir setelah aku tau perselingkuhan dan pengkhianatan yang kamu lakukan, aku masih bisa bicara baik-baik sama kamu?! Kamu nggak mikirin perasaan aku sama sekali ya Mas? Cuma orang bodoh yang diem aja saat tau suaminya selingkuh!” “BIANCA!” Bianca tercekat begitu suara Daviendra mengeras, pun tatapan mata pria itu berubah menjadi lebih tajam. “Kenapa bentak aku?! Nyatanya omongan aku benar kan? Kamu selingkuh! Tinggal jawab siapa perempuan itu bisa kan? Jawab Mas! Siapa perempuan yang jadi selingkuhan kamu itu?!” “Kamu beneran mancing emosi aku Bi. Aku nggak selingkuh!” Bianca tersenyum miris, “mana ada sih maling yang mau ngaku maling? Nggak selingkuh, tapi bisa ngehamilin anak orang?” “Jaga mulut kamu Bi! Aku beneran nggak selingkuh dari kamu! Itu cuma—” “Cuma apa? Cuma jajan di luar dan apesnya itu perempuan hamil anak kamu, gitu? Terus apa bedanya Mas?! Sama aja kamu mengkhianati aku! Nyakitin aku!” “Bi—” “Semakin kamu membela diri, semakin aku tambah benci sama kamu Mas! Sakit banget sialan!” teriak Bianca tepat di depan pria itu. “Kamu, ibu dan adik kamu ternyata semuanya sama aja! Nyakitin!” “Apa maksud kamu Bi?” Bianca tak menjawab. Wanita itu lebih memilih untuk keluar dari kamar tersebut. Mengabaikan panggilan Daviendra yang semakin keras. “BI! BERHENTI AKU BILANG! BIANCA!!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN