14. Kemelut Hati Reyhan - 1

1433 Kata
Reyhan bangkit dari duduknya, meninggalkan Luna dengan segala rencana yang bersarang di kepalanya. Reyhan tak peduli. Saat ini dia masih begitu menyayangi Windy. Diam-diam, mata elangnya mencari keberadaan Windy. Hampir di tiap sendi rumah tak menunjukkan tanda-tanda keberadaan Windy. "Ma, lihat Windy, nggak?" tanya Reyhan. "Windy? Di teras nggak ada? Luna mana?" Reyhan tak menjawab, langkahnya pasti menuju beranda rumah. Raungan sepeda motor memekakkan telinganya. Sepeda motor Chandra. Reyhan berdiri di balik jendela, dia singkap sedikit gorden putih untuk mencuri pemandangan yang terjadi antara Windy dan Chandra. Ketika hati Windy digerogoti kecemburuan, Chandra-lah pengalih hatinya. Cinta yang berusaha dia tanam pada Reyhan akan berakhir dengan kekecewaan -jika nanti Reyhan akan bertunangan dengan adiknya. Satu-satunya cara terjitu adalah mengembalikan hatinya yang utuh untuk Chandra. Bagi Windy, perasaannya pada Reyhan belakangan ini mungkin hanya sekadar perasaan bangga sebagai gadis karena telah dicintai pria lain. Itu hanya sugesti bahwa dia juga membalas cinta yang sama pada Reyhan. Dia yakinkan lagi hatinya bahwa dia hanya mencintai Chandra. "Sayang, ada apa?" tanya Chandra penasaran. Windy segera larut dalam pelukannya. Dia membuat ekspresi manja dengan membulatkan bibirnya, pipi chubby-nya jadi sedikit menggembung. Betapa gemasnya Chandra melihat ekspresi imutnya itu. "Kenapa apa? Aku kangen. Apa aku harus bikin alasan untuk meluk kamu, Chan?" "Hei, kamu masih sensitive, tapi kamu terang-terangan meluk aku. Kupikir kamu masih marah." "Maaf untuk sikapku." Reyhan tak mampu beranjak dari posisinya. Takdir itu begitu kejam dengan membuat dirinya tertegun agar matanya puas menangkap aksi romantis antara Chandra dan Windy. Chandra mengajak Windy duduk di beranda. Gadis itu meletakkan kepalanya di bahu Chandra. "Apa yang kamu minta untuk kado Anniversary kita?" tanya Chandra. "Aku udah punya kamu, jadi aku nggak butuh apa-apa lagi." Chandra tertawa kecil, meminta Windy menatapnya. "Hei, kamu baru aja ngegombal, ya? Wah, udah bisa romantis, nih! Kupikir kamu cuma bisa cemberut." Windy tersenyum, segera memeluk Chandra. "Beberapa hari ini kamu nyebelin banget. Kamu terlalu cemburuan. Aku salah dikit aja, kamu langsung emosi. Kecemburuan kamu itu udah stadium akhir. Kamu nggak takut aku berontak?" Chandra menyentuh kedua pipi Windy dengan telapak tangannya, memberikan satu kecupan manis di dahi Windy. "Kamu tau? Aku akan bikin seribu alasan supaya tetap menahan kamu di sisiku. Jadi, salahkan diri kamu kenapa bisa bikin aku jadi segila ini ke kamu!" Windy tertawa bahagia di sisi Chandra, seperti itulah yang dilihat Reyhan. Reyhan menutup gorden putih itu. Saat ini cinta 8 tahunnya akan berusaha dia kikis ketika sebuah perjodohan dihadapkan padanya. Bukan maksud hati untuk jatuh cinta pada gadis lain, karena takkan ada yang mampu merobohkan pondasi hati yang begitu kokoh yang dia bangun selama ini pada Windy. Reyhan hanya berusaha mengikis harapan di hatinya, harapan agar Windy berbalik menatapnya. Reyhan meninggalkan senyuman manis yang terukir di bibir Windy. Bibir itu tersenyum, tetapi ada luka yang tertinggal di dalam hatinya. Chandra takkan pernah tahu bahwa ada goresan luka yang menyayat di hati Windy karena Reyhan. Entah apa sebabnya. * Suasana makan malam tampak begitu ramai ketika kedua keluarga berkumpul. Dua keluarga yang akan membentuk satu ikatan baru seakan mengikat dunia Reyhan dalam genggaman mereka. Mama Raya menyodorkan semangkuk sup pada Windy. Dengan kedua tangannya, Windy menerima mangkuk itu sambil mengangguk. "Makasih, Tan." "Apa kamu udah mulai belajar masak, Win?" tanya Mama Raya. Windy tertegun. Dia sedikit malu hingga membuat seisi ruang tamu tersenyum. Tak menjawab, Mama Wenny justru menjawab pertanyaan sahabatnya itu. "Jangan tanya Windy, Mbak. Dia ini super manja. Kalau ingin menantu, Luna lebih ideal. Dia mandiri, masakan buatannya sangat enak," puji Mama Wenny, membanggakan Luna yang selama ini jauh dari Indonesia. Hanya bermaksud bercanda, Windy pun tak merasa sakit hati. Mereka tahu jelas bagaimana Windy. Begitu pun Mama Raya. Beliau hanya mengangguk, menanggapi pujian sahabatnya itu. "Wah, menantu yang sempurna! Sup buatannya ini aja enak. Kamu harus belajar dari adikmu, Windy," kata Mama Raya. Luna tampak tersenyum bahagia saat disinggung hal seperti itu. Entah yang lainnya menyadari atau tidak, tetapi jelas terlihat guratan kekecewaan di wajah Windy dan Reyhan. Makan malam menjadi tidak berselera. Ucapan-ucapan dua keluarga itu seperti bunyi petasan yang meledakkan hati mereka. "Hm ... H-14 menuju pertunangan. Ada banyak yang harus dikerjakan. Sudah kejar dateline!" sahut Mama Wenny. Wanita cantik itu menatap dengan mata berbinar-binar menanggapi pembicaraan sahabatnya. "Wah, nggak sabar jadi mama mertuamu, Luna!" Luna tersipu malu karena Mama Raya menggodanya dengan tatapan manis. "Tante Raya! Aku dan Kak Reyhan masih tunangan. Kalau pun mau nikah, tunggu selesai SMU, 'kan?" ujar Luna tersenyum sambil melirik Windy. Windy terlihat terus menunduk, sesekali menggigit bibir bawahnya. Haruskah Windy bicara dan menolak pada rencana perjodohan itu? Tidak, Windy tidak mempunyai alasan untuk itu. Chandra dan ketidakjelasan hatinya terhadap Reyhan yang membuat Windy bungkam saat ini. "Tan, sampai kapan kalian menginap di rumah ini?" tanya Reyhan. Suasana makan malam hening sejenak mendengar pertanyaan serius Reyhan. "Reyhan, jaga bicaramu!" tegas Papa Pramana. "Kamu ini kenapa? Apa bicara kamu nggak bisa sopan sedikit?" timpal Mama Raya. Mama Wenny dan suaminya menoleh bersamaan. Windy tampak terkejut dengan ucapan dingin sahabatnya itu. "Aku yakin Tante Wenny paham yang aku maksud," tandas Reyhan. Mama Wenny tersenyum. Dia paham maksud ucapan Reyhan. Reyhan mungkin mulai merasa risih dengan kehadiran Windy di rumahnya. Cinta bertepuk sebelah tangannya tentu akan semakin terasa jika di terus menatap gadis itu tanpa bisa disentuh atau dimiliki. "Besok pagi kita akan balik ke rumah. Benar, kan, Windy?" ucap Mama Wenny. "Hah?" Windy mengangkat pandangan, mengalihkan wajahnya dari sorot mata Reyhan. "Ya, Ma." "Ma, aku boleh tetap tinggal di sini, nggak? Biar gimana pun, aku harus lebih dekat ke calon tunanganku. Adaptasi gitu, lah," tanya Luna dengan nada manja. Senyuman kaku terukir di bibir Luna, lirikan sinisnya kini dapat dimengerti oleh Windy. Reyhan bungkam, tak ingin lagi menanggapi perkara hubungan mereka. "Wah, itu ide bagus. Ya sudah, Luna tinggal di sini saja. Kamu setuju, kan, Rey?" tanya Mama Raya dengan senyum cerianya. Reyhan membisu, hanya sebuah anggukan yang dia sajikan untuk mereka. "Ga!" Windy mengeluarkan pendapatnya, menolak permintaan Luna. Reyhan terkejut, Luna tampak cuek, sedangkan dua keluarga itu tampak mengurai senyum karena tahu akan mendapat reaksi seperti ini dari Windy. "Biar gimana pun, Luna dan Reyhan belum punya hubungan. Aku sebagai kakak nggak akan biarin adikku tinggal serumah sama cowok asing. Kalau dia ngelakuin yang nggak-nggak ke Luna, gimana?" Ultimatum dari Windy membuat wajah Reyhan kesal. Luna cuma bisa tersenyum dan mengangguk menyetujui ucapan kakaknya. "Kamu nggak percaya sama Rey, Win?" tanya Papa Adrian, ayah Windy. "Kalau gitu, kamu juga ikut tinggal di sini untuk mengawasi mereka. Kalau mereka kelewat batas, itu tanggung jawabmu, Windy!" sahut Papa Pramana. Windy tersenyum lega, Reyhan justru keki sambil melahap makan malamnya seolah hilang kendali. Mata sipitnya yang membola malah mendapat juluran lidah dari Windy. Gagal sudah usaha Reyhan untuk menyingkirkan Windy dari sisinya. Luna ingin sekali melepas tawa melihat tingkah dua kakaknya ini. "Siap, Om! Serahkan semuanya ke Windy!" ucap Windy. "Oh iya, Tan, gimana soal birthday party-nya Kak Rey?" Reyhan mengangkat pandangannya, menatap satu per satu raut bahagia mereka hingga tepat berhenti di pandangan Windy. "Tahun ini ... tolong jangan ada yang ganggu aku di hari itu. Bisa, 'kan?" Reyhan buka suara. Mereka saling menatap heran, ekspresi Reyhan sangat serius. Tiap tahun, tentu saja kedua keluarga ini sibuk jika mendekati hari ulang tahun anak-anak mereka. Tidak biasanya Reyhan enggan merayakan hari bersejarah itu. "Kamu bicara apa, Rey? Bukannya setiap tahun kita merayakannya?" "Ma! Turuti permintaanku, atau aku batalin pertunangan ini." Reyhan begitu tegas terhadap permintaannya. Mereka hanya bisa saling pandang dengan raut tak mengerti. Begitu besar dampak penolakan yang dilakukan Windy waktu itu hingga membuat putra tunggal dari Keluarga Pramana itu menjadi sedingin salju di winter. "Kenapa harus gitu, Sayang? Mama nggak bisa melewatkan hari ulang tahunmu tanpa birthday party, juga-" "Ga ada birthday party ataupun surprise. Kalau kalian tetap nekat ngasih surprise party ke aku, aku akan tolak perjodohan itu. Terserah kalau kalian tetap bersikeras!" Reyhan tampak kesal. Dia segera menggeser kursi dan meninggalkan meja makan. Semua tampak tertegun dengan keputusan sepihak Reyhan. Windy memandang punggung itu hingga menghilang di balik dinding. Mama Raya merasa cemas. Beliau urung melanjutkan makan malam, tatapannya beralih pada suaminya itu. "Gimana ini, Pa? Rey, kan, putra kita satu-satunya," seru Mama Raya. "Sudahlah. Jangan bersikeras. Kamu tahu sifat Reyhan. Kalau dia sudah menetapkan satu hal, takkan goyah sekalipun rumah kita runtuh. Seberapa keras kepalanya dia. Ga ada satu pun yang bisa menggoyahkan dia, kecuali ...." Krek! Windy menggeser kursi, memberi senyum manis untuk diberi izin meninggalkan meja makan. Mereka mengangguk mengizinkan Windy pergi. "Nah, itu! Kecuali Windy," sambung Papa Pramana. "Windy itu terlihat samar-samar. Sebenarnya bagaimana perasaannya ke Reyhan? Kamu tahu, Luna?" Mama Wenny pada putrinya. Luna tersenyum pasti. "Aku akan cari tau. Ini seru banget, 'kan?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN